
Program MBG ini tidak lain hanya solusi tambal sulam untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya.
Oleh. Ni'matul Afiah Ummu Fatiya
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)
NarasiLiterasi.Id--Ungkapan "Tidak ada makan siang gratis" sepertinya bukan sekadar ungkapan tanpa bukti. Bukan suatu kebetulan, jika sejumlah siswa dan guru mengalami keracunan secara bersamaan setelah menikmati makan bergizi gratis. Bahkan jumlahnya mencapai ratusan. Di Kecamatan Gemolong, misalnya. Di wilayah yang masuk ke dalam Kabupaten Sragen, Jawa Tengah ini, dikabarkan sekitar 196 orang mengalami keracunan seperti yang dilansir oleh CNN Indonesia, Rabu (13-08-2025).
Banyaknya kasus keracunan makanan yang menimpa siswa maupun guru, mengindikasikan bahwa program makan bergizi gratis ini bermasalah. Bahkan, kegiatan MBG di Kabupaten Lebong dihentikan sementara oleh Helmi Hasan selaku gubernur Bengkulu, kompas.com (30-08-2025).
Program Populis
Sebagaimana kita ketahui, program MBG ini merupakan salah satu program unggulan capres cawapres Prabowo Gibran waktu itu. Program ini diyakini bakal mampu mengatasi problem malnutrisi dan stunting bagi anak-anak dan ibu hamil. Selain itu diharapkan mampu meningkatkan kualitas SDM serta mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Namun, dalam perjalanannya, program ini banyak menuai masalah. Mulai dari pendanaan, unit yang melaksanakan program, dalam hal ini diampu oleh satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG), serta SOP yang berkaitan dengan MBG. Pada akhirnya banyak kasus keracunan makanan setelah menyantap MBG. Dari sini terlihat bahwa program MBG ini terkesan dipaksakan, belum terencana dengan matang. Maka tidak keliru kalau ada anggapan bahwa program MBG ini tidak murni karena dorongan tanggung jawab negara dalam rangka menyejahterakan rakyat, melainkan program populis demi pencitraan semata. Alih-alih makan bergizi gratis, yang ada malah makan beracun gratis.
Solusi Tambal Sulam
Sejatinya, pemberian MBG dan proyek sosial lain yang sejenisnya bukanlah watak dasar dari ideologi kapitalis. Karena sistem ekonomi kapitalis menafikan peran negara dalam memenuhi hajat hidup masyarakat. Bahkan program semacam itu tidak serta-merta meningkatkan gizi masyarakat secara keseluruhan apalagi secara permanen. Program MBG ini tidak lain hanya solusi tambal sulam untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya.
Faktanya, tidak semua siswa atau ibu hamil bisa menikmati MBG. Juga tidak sembarang pemilik warung makan atau pengusaha katering bisa menjalin kerjasama sebagai penyedia MBG. Ada syarat-syarat tertentu yang hanya bisa dipenuhi oleh mereka yang punya modal besar dan koneksi orang dalam. Akhirnya, alih-alih meningkatkan ekonomi rakyat, MBG justru menjadi bisnis baru para konglomerat.
Baca juga: Benarkah MBG untuk Cegah Stunting?
Sistem Kapitalis Biang Keladi
Sesungguhnya, apa yang terjadi di Indonesia dan negara-negara lain di dunia saat ini adalah akibat dari diterapkannya sistem demokrasi kapitalis. Ini bukan sekadar tuduhan. Kapitalisme nyata-nyata telah menimbulkan berbagai kerusakan di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi.
Sistem kapitalis telah memberikan kebebasan kepada individu masyarakat untuk meraih kekayaan dan kekuasaan tanpa batas dengan menghalalkan segala cara. Akibatnya, yang kuat akan menjadi penindas sementara yang lemah makin terpuruk.
Rakyat dibiarkan sendiri mencukupi kebutuhan pokoknya. Negara tidak memiliki peran selain sebagai regulator yang membuat aturan dan undang-undang. Ekonomi dikendalikan oleh para pemilik modal. Maka, ketika pemerintah turun tangan memberikan bantuan sosial seperti MBG yang nilainya tidak sebanding dengan jumlah SDA kemudian diambil oleh para konglomerat. Hal itu tidak lain hanyalah cara mereka menutupi kebobrokan sistem serta menjaga eksistensi sistem yang ada.
Islam Punya Solusi
Permasalahan malnutrisi dan stunting sebenarnya adalah permasalahan yang tidak datang secara tiba-tiba. Buruknya akses distribusi yang diterapkan oleh sistem ekonomi kapitalis adalah penyebab utamanya. Ketika segala sesuatu diukur dengan materi (uang), maka hanya mereka yang memiliki uang banyak saja yang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, bahkan kebutuhan sekunder, dan tersier. Sementara untuk kalangan rakyat kecil, jangankan kebutuhan sekunder dan tersier, kebutuhan pokok saja yang berupa sandang, pangan, dan papan masih jauh dari kata layak.
Islam, memiliki prinsip dasar bahwa penguasa atau negara adalah ra'in. Ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya. Maka negara akan melakukan periayahan dengan mekanisme yang sesuai syariat demi kesejahteraan rakyatnya.
Penguasa menjalankan mekanisme yang bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, termasuk makanan. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara:
Pertama, secara tidak langsung seperti menyediakan lapangan kerja bagi kaum pria, sehingga mereka bisa menunaikan kewajiban memberi nafkah. Memberikan edukasi tentang makanan bergizi yang sesuai syariat yakni halalan thayyiban.
Kedua, secara langsung dengan menyalurkan harta dari baitulmal yang berasal dari harta kepemilikan umum kepada rakyat yang benar-benar membutuhkan. Memberikan lahan pertanian kepada siapapun yang tidak memiliki lahan namun mampu mengelolanya.
Semua dilakukan oleh penguasa dengan kesadaran bahwa jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Bukan karena pencitraan seperti yang terjadi pada sistem hari ini. Wallahualam bissawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
