Polemik di Balik Minuman "Beer" dan "Wine" Halal

Polemik di Balik Minuman Beer dan Wine Halal

Produk seperti Beer atau Wine identik dengan minuman beralkohol yang haram, jika produk tersebut memenuhi semua kriteria halal, maka sertifikat halal dapat diberikan

Oleh. Vega Rahmatika Fahra, SH
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Perkembangan industri makanan dan minuman halal di Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam beberapa tahun terakhir. Produk-produk yang dulunya dianggap tidak mungkin memiliki sertifikat halal, kini mulai dijamin dengan jaminan halal dari lembaga otoritas seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Contoh produk yang menarik perhatian adalah minuman seperti Tuyul, Beer, dan Wine, yang mungkin secara nama terdengar kontroversial, namun kini telah berhasil mendapatkan sertifikat halal. Hal ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, baik yang menyambut baik maupun yang menyisakan keraguan.

Beberapa produk minuman seperti Tuyul, Beer, dan Wine halal kini hadir di pasaran. Perbedaan mendasar dari produk-produk ini dengan minuman beralkohol yang umum dikenal adalah komposisi dan proses pembuatannya. Minuman yang menyematkan nama-nama tersebut, tetapi memiliki sertifikat halal, tidak mengandung alkohol atau bahan-bahan yang diharamkan dalam Islam. Sebagai contoh, Beer halal merujuk pada minuman yang memiliki tampilan dan rasa yang mirip dengan bir, namun tidak mengandung alkohol sama sekali. Demikian pula dengan Wine halal, yang merupakan minuman fermentasi tanpa alkohol yang sering diidentikkan dengan anggur non-alkohol. 

Berdasarkan data dari LPPOM MUI, produk-produk yang mendapatkan sertifikasi halal harus melewati serangkaian proses audit yang ketat, termasuk pemeriksaan bahan baku, proses produksi, hingga distribusi. Setiap tahapan harus mematuhi standar halal yang telah ditetapkan agar produk tersebut dapat dinyatakan halal sesuai hukum Islam. LPPOM MUI memastikan bahwa produk yang disertifikasi halal tidak hanya bebas dari kandungan alkohol, tetapi juga terbebas dari zat-zat haram lain, seperti bahan yang berasal dari hewan yang tidak disembelih secara syar'i dan mengandung bahan-bahan yang najis.

Tanggapan MUI tentang Beer dan Wine

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang berwenang dalam memberikan sertifikat halal memberikan klarifikasi bahwa sertifikasi halal diberikan bukan berdasarkan nama produk, tetapi pada proses produksi, bahan baku, dan metode pengolahan produk tersebut. MUI menegaskan bahwa meskipun nama produk seperti Beer atau Wine identik dengan minuman beralkohol yang haram, jika produk tersebut memenuhi semua kriteria halal, maka sertifikat halal dapat diberikan.

Terkait kekhawatiran masyarakat akan penggunaan nama-nama yang biasanya diasosiasikan dengan produk haram, MUI mengimbau agar masyarakat lebih memahami isi dari sertifikasi halal itu sendiri. Dalam pandangan MUI, yang harus menjadi perhatian utama adalah substansi produk, bukan hanya penamaannya. MUI juga menekankan bahwa nama produk tidak boleh menyesatkan konsumen dan harus disertai dengan keterangan yang jelas mengenai kandungan dan status kehalalan produk tersebut.

Mamat Salamet Burhanudin, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH mengatakan, produk-produk tersebut telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapat ketetapan halal sesuai mekanisme yang berlaku. Beliau mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya karena telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku. (cnbcindonesia.com, 05-10-2024)

Pro Kontra Beer dan Wine

Meskipun MUI telah memberikan sertifikasi halal, tidak dapat disangkal bahwa penamaan produk halal dengan nama yang identik dengan minuman beralkohol masih memicu keresahan dan kesejahteraan di tengah masyarakat. Penamaan ini bisa menimbulkan persepsi negatif, terutama bagi konsumen yang kurang mendalami proses sertifikasi halal atau yang lebih terfokus pada aspek nama produk.

Dalam masyarakat, nama-nama seperti Beer dan Wine secara tradisional selalu dikaitkan dengan minuman yang mengandung alkohol dan haram untuk dikonsumsi oleh umat Islam. Oleh karena itu, penggunaan nama-nama ini pada produk halal dianggap oleh sebagian pihak sebagai upaya yang dapat menimbulkan kebingungan. Ada kekhawatiran bahwa konsumen, terutama yang belum memahami secara menyeluruh mengenai proses kehalalan, akan curiga terhadap status halal produk-produk tersebut meskipun telah memiliki sertifikat halal resmi dari MUI.

Di satu sisi, penggunaan nama-nama tersebut mungkin dipertahankan oleh produsen untuk kepentingan pemasaran, terutama dalam upaya menarik minat konsumen yang terbiasa dengan minuman nonhalal. Namun di sisi lain, ini bisa menimbulkan keraguan pada niat produsen, apakah mereka lebih mengedepankan aspek komersial daripada prinsip kehalalan yang seharusnya menjadi prioritas utama?

Jaminan Kehalalan Produk sebagai Hak Rakyat 

Dalam Islam, jaminan kehalalan produk adalah hak rakyat yang harus dijamin oleh pemimpinnya. Pemimpin memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa segala produk yang dikonsumsi oleh rakyat, terutama umat Islam, telah memenuhi standar halal. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip syariat yang mengatur kehidupan umat Islam, termasuk dalam hal makanan dan minuman.

Namun, dalam sistem kapitalisme yang mendominasi pasar global saat ini, jaminan kehalalan suatu produk masih sering terhalang oleh kepentingan komersial dan kapital. Dalam sistem ini, produsen lebih banyak fokus pada keuntungan finansial, sering kali mengabaikan aspek-aspek kehalalan yang penting bagi konsumen muslim. Tantangan ini menjadi semakin kompleks ketika produsen lebih memprioritaskan branding atau nama produk yang bisa diterima secara global, meskipun secara substansi, penamaannya berpotensi menimbulkan kekhawatiran terkait status kehalalan.

Baca juga:gingiva kuat gigi sehat

Tidak jarang, dalam sistem kapitalisme, proses sertifikasi halal pun bisa dipengaruhi oleh kekuatan pasar. Produk-produk yang dipasarkan dengan nama-nama yang dianggap lebih menguntungkan, meskipun telah memenuhi syarat halal, tetap bisa menimbulkan keraguan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, dalam sistem kapitalisme, jaminan kehalalan tidak selalu dapat dipastikan sepenuhnya.

Jaminan Produk Halal dalam Sistem Islam

Dalam sistem Islam, jaminan kehalalan suatu produk bukan hanya sekadar formalitas atau label, tetapi menjadi tanggung jawab penuh pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk memastikan bahwa setiap produk yang beredar dan dikonsumsi sesuai dengan hukum syariat. Dalam Islam, pemimpin memiliki kewajiban untuk menjaga agar seluruh rakyatnya terhindar dari produk-produk yang diharamkan.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 168 Allah Swt. berfirman : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan,.....”

Ayat ini secara tegas mengingatkan bahwa konsumsi makanan dan minuman harus memenuhi kriteria halal dan tayib (baik). 

Selain itu, Rasulullah saw. juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi: “Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik-baik.”

Hadis ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang dikonsumsi oleh umat Islam harus dipastikan kehalalannya, dan ini menjadi tanggung jawab para pemimpin dalam Islam.

Dalam sistem Islam, tidak ada kompromi dalam hal kehalalan. Pemerintah bertindak sebagai pengawas ketat terhadap seluruh produk yang beredar di pasaran. Setiap produk harus memenuhi standar kehalalan dan ini berlaku secara menyeluruh, mulai dari bahan baku, proses produksi, hingga distribusi. Selain itu, penamaan produk pun harus mencerminkan status kehalalannya dengan jelas, sehingga tidak ada kebingungan atau keraguan di kalangan masyarakat.

Khatimah

Jaminan kehalalan produk, termasuk minuman seperti Tuyul, Beer, dan Wine halal, menjadi isu yang kompleks di tengah masyarakat. Meskipun MUI telah memberikan sertifikasi halal, penggunaan nama-nama yang identik dengan produk haram tetap memicu kekhawatiran dan kecurigaan. Jaminan kehalalan adalah hak umat yang harus dijamin oleh pemimpin, namun dalam sistem kapitalisme, kepentingan komersial sering kali mengaburkan kejelasan ini. Hanya dalam sistem Islam yang sepenuhnya berlandaskan syariat, jaminan kehalalan dapat diwujudkan dengan nyata.

Wallahu'alam bishawab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Vega Rahmatika Fahra, S.H. Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Pernikahan Anak Dicegah, Hidden Agenda di Baliknya?
Next
Kekerasan di Sekolah, Salah Siapa?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Yuli Sambas
Yuli Sambas
3 days ago

Hanya di sistem Islam sajalah, masyarakat demikian tenang dengan setiap produk makanan minuman yg beredar di pasar umum... Halal dan tayiblah standarnya. Syariat panduannya. LiLlahi ta'ala tujuannya.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram