Polemik Sertifikasi Halal: Meresahkan dan Membahayakan

polemik sertifikasi halal meresahkan

Polemik nama yang kontroversial ini sejatinya menambah keresahan di tengah masyarakat. Apalagi terkait kehalalan makanan.

Oleh. Kintan Jenisa, S.Pd
(Kontributor Narasiliterasi.id & Aktivis Islam)

Narasiliterasi.id-Ramai diperbincangkan terkait ditemukannya produk pangan dengan penamaan yang kontroversial seperti Tuyul, Tuak, Beer, dan Wine yang bersertifikat halal. Hal ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, dikarenakan nama produk tersebut lazimnya digunakan untuk produk tidak halal.

Perlu diketahui, Indonesia telah memiliki dua metode sertifikasi halal, yakni Audit Reguler dan Self Declare. Metode Audit Reguler adalah metode yang telah berlangsung selama puluhan tahun melalui proses audit Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), kemudian dikeluarkan sertifikatnya oleh Komite Fatwa Produk Halal MUI. Adapun metode Self Declare adalah metode yang baru berlangsung sejak 2022 lalu. Metode ini dijalankan untuk membantu UMKM. Mekanisme jalur ini adalah dengan pengakuan dari pelaku usaha, divalidasi, kemudian dikeluarkan sertifikatnya oleh Komite Badan Penyelenggara Jaminan Produk (BPJPH) Kementerian Agama tanpa adanya audit dari LPH. Adapun untuk persoalan penemuan produk halal bernama Tuyul, Tuak, Beer, dan Wine adalah hasil dari metode self declare.

Benarkah Produk Tuyul, Tuak, Beer, dan Wine Halal?

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin menyampaikan bahwa polemik yang terjadi hanya berkaitan dengan penamaan produk yang terdapat kesalahan dalam pengetikan dan perbedaan standar penamaannya. Adapun terkait kehalalan bahan dan prosesnya, sudah sesuai mekanisme yang berlaku. Beliau mengimbau masyarakat agar tetap tenang dan tak meragukan kehalalan produk tersebut.

Muhammad Aqil selaku Kepala BPJPH menyampaikan bahwa telah ditemukan 151 produk yang sudah mengantongi sertifikat halal. Namun, bermasalah pada penamaannya. Contohnya pada produk katering rumahan yang seharusnya bertuliskan “beef” yang berarti daging, tetapi menjadi “beer” karena salah dalam pengetikan. Kemudian adalagi produk yang bertuliskan “red wine” yang merupakan salah satu nama warna dalam dunia perindustrian kosmetik, bukan merupakan nama bahan dari pembuatan produknya.

Untuk menyelesaikan segala polemik penamaan produk bersertifikat halal, BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa kemudian mengadakan pertemuan pada Selasa (8-10-2023). Ketiga pihak berkomitmen untuk segera melakukan identifikasi dan analisis terhadap 151 produk yang bermasalah dalam segi penamaannya.

Baca: Sertifikasi Halal "Beer dan Wine" Diragukan, Mengapa?

Resah dan Bahaya Akibat Sistem Kapitalis

Polemik nama yang kontroversial ini sejatinya menambah keresahan di tengah masyarakat. Apalagi terkait kehalalan makanan merupakan hal yang sensitif dan berbahaya. Sensitif karena ini menyangkut perkara akidah yang mengharamkan. Dosa menanti jika muslim melanggarnya. Belum lagi mengonsumsi suatu yang diharamkan merupakan salah satu sebab ditolaknya doa. Sebagaimana Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam pernah berpesan kepada Sa’d radliyallahu’anhu : “Wahai Sa’d, perbaikilah makananmu, niscaya doamu akan mustajab. Demi zat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang melemparkan satu suap makanan yang haram ke perutnya, maka tidak diterima amalannya selama empat puluh hari.” (Sulaiman ibn Ahmad, Al-Mu’jam Al-Ausath, Jilid 6, hal. 310). 

Selain itu, zat-zat yang telah Allah haramkan telah terbukti secara ilmiah berbahaya untuk tubuh manusia. Seperti bangkai dan darah yang merupakan sarang kuman, bakteri, dan penyakit. Zat haram yang tak kalah berbahaya lainnya adalah minuman keras beralkohol yang akan menyebabkan peminumnya kehilangan akal sehingga berbahaya bukan hanya untuk si peminum, melainkan juga untuk orang lain.

Maka dari itu, jikalau ternyata ditemukan suatu produk yang mencurigakan kehalalannya, masyarakat senantiasa mendesak untuk meminta validasinya. Karena memang tak dimungkiri, rasa aman dalam mengonsumsi pangan di sistem kapitalisme ini sangat sulit dirasakan. Sistem saat ini membuat masyarakat waswas setiap kali ada sertifikat halal untuk produk-produk yang dikenal haram, baik dari segi penamaan maupun zatnya. 

Pasalnya pernah terjadi pada Agustus 2023 lalu, wine beralkohol merek Nabidz kedapatan mencantumkan logo halal di kemasannya. Produk haram tersebut telah mendapatkan sertifikat halal dari jalur Self Declare (tanpa audit) yang dikeluarkan oleh BPJPH juga. Setelah ditelusuri, pelaku usaha berinisial BY dan pendamping PPH berinisial AS telah sengaja memanipulasi data bahwa produk tersebut adalah jus atau sari buah, padahal faktanya adalah produk minuman beralkohol. Karena itu, polemik sertifikasi halal ini sangat berbahaya jika terjadi. Apalagi jika memang produk tersebut tidak halal, tetapi tetap diberikan sertifikat halalnya.

Islam Menjamin Kehalalan Produk

Sejatinya, polemik sertifikasi halal seperti ini tidak akan terjadi di dalam sistem Islam. Dalam sistem Islam, jaminan kehalalan produk merupakan hak rakyat atas pemimpinnya. Negara akan sungguh-sungguh memvalidasi produk-produk yang didaftarkan untuk mendapat sertifikasi halal. Memastikan hingga seluk beluknya, baik dari segi zat, proses, penamaan, dan lain sebagainya. Tidak cukup sampai di situ, negara dalam sistem Islam akan meminta para qadhi hisbah untuk pergi ke pasar, swalayan, warung, maupun tempat perbelanjaan lainnya, untuk melakukan pengecekan setiap hari. Tak lupa juga tempat-tempat seperti pemotongan hewan, industri, pabrik, dan lain sebagainya dipastikan sesuai dengan prosedur kehalalan. Para qadhi akan mengawasi seluruh rangkaian produksi hingga distribusi produk demi memastikan kehalalan produk tersebut. Segala bentuk kecurangan dan kamuflase dipastikan tidak terjadi di tengah proses sertifikasi.

Proses sertifikasi ini akan dilaksanakan dengan waktu singkat tetapi ketat. Hal ini karena semua qadhiserta pegawai negara yang bertugas, bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanahnya. Segala mekanisme sertifikasi juga gratis, pelaku usaha tidak akan dipungut biaya sedikit pun. Maka dengan ini, akan terjaminlah segala kehalalan produk yang beredar di masyarakat. Keresahan serta keberbahayaan produk tidak halal, tidak akan dirasakan kaum muslimin yang hidup di dalam sistem Islam. Alhasil rakyat tenang hidup dalam sistem Islam karena hak-haknya terpenuhi oleh negara. Semua ini tentu dapat dirasakan jika sistem Islam diterapkan dalam kehidupan kita. Wallahua’lam bishshowaab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kintan Jenisa, S.Pd Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Polemik Produk Halal Berlabel "Haram"
Next
Antre Berobat, Nasib Rakyat Kecil
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Maya Rohmah
Maya Rohmah
1 month ago

Hanya di sistem Islam, negara akan sungguh-sungguh memvalidasi produk-produk yang didaftarkan untuk mendapat sertifikasi halal.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram