Penamaan wine, tuak, dan bir ketika dibiarkan akan membuat masyarakat Indonesia terbiasa dengan nama-nama produk haram.
Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
Narasiliterasi.id-Produk dengan merek Beer, Tuyul, Tuak, dan Wine baru-baru ini mengguncang jagat dunia maya. Pasalnya, produk tersebut telah memperoleh sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag). Hal ini sontak mendapatkan sorotan dari berbagai kalangan, mengingat namanya bertolak belakang dengan esensi kehalalannya.
BPJPH pun buka suara terkait kegaduhan ini. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin menjelaskan bahwa polemik yang terjadi di media sosial, yaitu terkait penamaan produk tersebut, bukan dari proses pembuatannya dan kandungan zatnya. Ia juga mengungkapkan, produk tersebut telah melalui proses sertifikasi halal dan memperoleh ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku sehingga masyarakat tidak perlu ragu terhadap produk yang telah bersertifikat halal. Lebih lanjut, terkait penamaannya juga telah termaktub pada regulasi SNI 99004:2021 dan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 (cnbcindonesia.com, 05-10-2024). Lantas, bagaimana tanggapan MUI terkait masalah ini?
MUI Buka Suara terkait Produk Tuak Halal
Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan investigasi, klarifikasi, serta pengecekan terhadap produk tersebut. Hasilnya, produk bernama Beer, Tuak, Wine dan Tuyul itu benar telah bersertifikat halal dan juga terbukti keabsahannya pada websiteBPJPH dan diarsipkan. Hanya saja, sertifikat halal diperoleh melalui jalur self declare tanpa melalui pengujian ketat oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) atau Komisi Fatwa MUI.
Sebagai pengetahuan, jalur self declare merupakan jalur yang diluncurkan oleh BPJPH untuk mengembangkan dan memberdayakan UMKM serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya produk halal. Jalur ini merupakan jalur untuk mendapatkan sertifikat halal melalui pernyataan dari pelaku usaha itu sendiri yang kemudian dilaporkan ke BPJPH.
Selanjutnya, Niam juga menambahkan bahwa MUI tidak bertanggung jawab terhadap klaim kehalalan produk yang sedang viral. Ia juga menjelaskan bahwa penetapan sertifikat halalnya tidak melalui Komisi Fatwa MUI dan melanggar standar fatwa MUI. Hanya saja, pihaknya akan berkoordinasi dengan BPJPH terkait masalah ini. (tempo.co, 03-10-2024)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terjadi ketidaksinkronan antara pernyataan MUI dan BPJPH terkait kasus Beer dan Tuak bersertifikat halal . Kondisi ini sangat berbahaya dan dapat memicu terjadinya kegaduhan di tengah masyarakat, seperti yang sedang viral saat ini sebab semua itu berkaitan dengan syariat Islam tentang makanan yang dikonsumsi umat Islam.
Produk Tuak Halal Picu Kegaduhan
Diketahui bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Oleh karenanya, keabsahan sebuah produk bersertifikat halal sangat penting bagi masyarakat di negeri ini. Dengan adanya sertifikat halal akan memudahkan masyarakat muslim membeli dan mengonsumsi makanan dan minuman sesuai dengan ketentuan syarak.
Islam memiliki aturan jelas tentang makanan dan minuman apa saja yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh umatnya sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan-nya dan penjagaan Islam terhadap umatnya. Misalnya, kaum muslim haram mengonsumsi minuman yang memabukkan, seperti khamar atau dilarang mengonsumsi makanan, seperti daging babi dan sebagainya.
Setiap pilihan kaum muslim untuk mengonsumsi makanan dan minuman sesuai anjuran syarak memiliki konsekuensi bagi mereka, yaitu ketika mereka memakan makanan haram maka dosa sebagai balasannya, begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu, penamaan produk halal dengan menggunakan nama yang lazim digunakan oleh produk haram seperti merek Beer, tuak, dan lainnya jelas berbahaya dan menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi kaum muslim sebab mereka sangat dianjurkan untuk menjaga apa yang harus dikonsumsinya.
Allah berfirman, “Wahai manusia, makanlah yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Bahkan penamaan produk halal dengan menggunakan nama haram juga akan menimbulkan kecurigaan terhadap kehalalan dari produk tersebut. Masyarakat akan bertanya-tanya, apakah produk tersebut benar-benar halal atau haram? Apalagi dalam sistem kapitalisme yang haram menjadi halal dan halal menjadi haram sangat mungkin terjadi.
Tidak hanya itu, penamaan wine, tuak, dan bir ketika dibiarkan juga akan membuat masyarakat terbiasa dengan nama produk-produk haram. Ketika masyarakat sudah terbiasa dengan nama produk haram, bukan tidak mungkin produk haram akan mendapatkan tempat di tengah masyarakat dan membuat masyarakat muslim justru terjerumus untuk mengonsumsi produk haram yang disangka halal.
Oleh sebab itu, penguasa wajib bertindak tegas terhadap masalah ini sebab jaminan kehalalan sebuah produk merupakan salah satu tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Negara wajib memberikan rasa nyaman dan aman kepada masyarakat untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang beredar di pasaran.
Jaminan Halal Sulit Terwujud
Sayangnya, negara dalam sistem kapitalisme sangat sulit untuk mewujudkan jaminan halal bagi masyarakatnya. Hal tersebut terlihat dari sulitnya pelaku usaha halal untuk mendapatkan sertifikat halal dari pemerintah. Sertifikasi halal yang harusnya diberikan kepada rakyat secara gratis, justru dijadikan ladang bisnis. Masyarakat yang ingin mengurus sertifikat halal dibebankan biaya yang tidak murah, padahal saat menjalankan usahanya, mereka sudah terbebani dengan berbagai biaya lainnya seperti pajak, perizinan, dan lainnya. Alhasil, keinginan pedagang untuk mendapatkan sertifikat halal pupus sudah.
Di sisi lain, penguasa seolah-olah berusaha memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM untuk mendapatkan sertifikasi halal tanpa biaya, yaitu dengan jalur self declare. Namun, nyatanya jalur ini bisa menjadi bumerang bagi penguasa. Misalnya, kasus yang tengah viral di atas diakui menggunakan jalur self declare, yaitu jalur perolehan sertifikasi halal atas dasar pengakuan pelaku usaha. Jalur ini tidak melalui pemeriksaan Komisi Fatwa MUI secara ketat sebagaimana jalur reguler. Jalur ini pun rawan disalahgunakan oleh oknum-oknum nakal untuk mendapatkan sertifikat halal, tetapi produk dan penanaman produknya justru melanggar undang-undang. Alhasil, sertifikasi halal pun sangat diragukan.
Selain berbiaya mahal, kebijakan sertifikat halal juga merupakan kebijakan yang ribet dan berbelit-belit. Lihat saja, sertifikat halal merupakan bukti bahwa suatu produk boleh dikonsumsi oleh kaum muslim. Dengan kata lain, jika produk tidak memiliki sertifikat halal, bisa dikatakan produknya haram. Lantas, bagaimana dengan pelaku usaha, seperti penjual gorengan yang tidak memiliki sertifikat halal? Apakah produk mereka haram? Jawabannya jelas tidak sebab zat yang digunakan halal. Dengan demikian, kebijakan ini kian mempersulit masyarakat.
Inilah wajah penguasa dalam sistem kapitalisme. Negara yang harusnya me-riayah urusan rakyat justru hanya berfungsi sebagai regulator. Negara tidak memberikan jaminan halal bagi rakyatnya sebab kepemimpinan dalam kapitalisme bukanlah tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan baik demi kemaslahatan rakyat, tetapi untuk mendulang cuan. Dengan demikian, jaminan halal suatu produk sulit terwujud dalam sistem kapitalisme sehingga butuh sistem yang menjamin kehalalan produk bagi rakyatnya.
Islam Menjamin Kehalalan Produk
Mengonsumsi makanan halal merupakan salah satu perintah Allah kepada hamba-Nya. Sedangkan menjamin produk halal untuk dikonsumsi masyarakat merupakan bagian dari pengurusan urusan rakyat. Dengan demikian, khalifah akan menjalankan tanggung jawab tersebut dengan baik dan amanah sebab mereka paham bahwa setiap kepemimpinan akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. Prioritas kepemimpinan dalam Islam yaitu menyejahterakan masyarakat dengan cara menerapkan syariat Islam kaffah dalam semua sendi kehidupan manusia, bukan untuk ladang bisnis atau mendulang cuan.
Untuk menjamin kehalalan produk, Islam menggunakan mekanisme yang sangat mudah dan tidak berbelit seperti dalam sistem kapitalisme saat ini.
Beberapa langkah yang dilakukan Khilafah untuk menjamin kehalalan produk di antaranya:
Pertama, Khilafah memastikan tidak ada produk haram yang beredar di tengah masyarakat sehingga produk yang beredar hanya produk halal. Produk haram akan diberikan label haram dan hanya beredar di kalangan nonmuslim. Produk haram tersebut juga bukan produk yang dapat menghilangkan akal manusia, seperti khamar. Aktivitas ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar mengirimkan surat kepada para wali yang ada di berbagai wilayah Daulah Khilafah untuk memusnahkan babi-babi yang berasal dari kaum nonmuslim dengan cara membeli babi tersebut kemudian memusnahkannya.
Kedua, Khilafah melakukan pengawasan pangan dari hilir hingga hulu, yaitu mulai dari produksi hingga distribusi. Mekanisme ini dilakukan dengan cara memerintahkan para qadhi hisbah untuk melakukan pengawasan setiap hari di area produksi dan distribusi, seperti pasar, gudang pangan, pabrik, tempat pemotongan hewan, minimarket, dan tempat lainnya. Pengawasan ini memiliki tujuan untuk menjamin setiap produk yang diedarkan halal untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Ketiga, menghidupkan fungsi sosial. Dalam konteks ini, Khilafah memotivasi rakyatnya untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Dengan berjalannya fungsi sosial ini, khalifah akan lebih mudah menjamin kehalalan suatu produk yang beredar di tengah masyarakat sebab seluruh masyarakat menjadi pengawas terhadap bentuk pelanggaran dan kemaksiatan. Jika ada kecurangan atau akal-akalan, seperti mengedarkan produk haram dengan menggunakan nama halal yang luput dari pengawasan qadhi hisbah, masyarakat akan memberikan laporan terkait pelanggaran tersebut kepada khalifah.
Baca juga: Beer dan Wine Bersertifikat Halal, kok Bisa?
Keempat, sanksi tegas. Khilafah akan memberikan sanksi tegas dan keras kepada siapa saja yang mencoba mengakali produk haram dengan menggunakan nama produk halal. Begitu juga dengan sengaja mencampurkan produk halal dan produk haram untuk diperjualbelikan, misalnya daging sapi dicampur dengan daging babi. Dengan beberapa mekanisme di atas, masyarakat akan merasa aman untuk membeli dan mengonsumsi pangan.
Khatimah
Dengan adanya penamaan produk halal dengan menggunakan nama yang lazim digunakan untuk yang haram seperti wine, bir, tuyul, dan tuak kian membuktikan bahwa penguasa lalai terhadap tanggung jawabnya, yaitu menjamin produk halal bagi masyarakat muslim. Hal ini tidak aneh sebab inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme yang menjauhkan peran penguasa sebagai pengurus urusan rakyatnya.
Sejatinya, hanya Islam yang mampu memberikan jaminan halal sebab itu merupakan tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Tidak akan dibiarkan produk-produk haram, seperti khamar dan sejenisnya beredar bebas di tengah masyarakat. Apalagi mengonsumsi khamar diharamkan oleh Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Mai’dah ayat 90.
Wallahualam bissawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
[…] Baca: Produk Tuak Bersertifikat Halal,Bahaya! […]
Hanya dalam sistem Islam, umat Islam terjaga dari segala yang baram. Tak ada celah sedikit pun bagi kemungkaran termasuk zat yang dapat menjadi penghalang bagi terkabulnya doa.