
Program magang bukan solusi tepat dalam mengatasi pengangguran, tetapi bertujuan memudahkan terjalinnya kerja sama perguruan tinggi dengan para kapitalis.
Yeni Purnama Sari, S.T.
(Kontributor NarasiLiterasi.Id dan Muslimah Peduli Generasi)
NarasiLiterasi.Id--Salah satu permasalahan mendasar yang masih belum bisa diurai di banyak negara adalah tingginya angka pengangguran, termasuk Indonesia. Selain akibat gelombang PHK bagi ribuan pekerja di berbagai tempat, juga terhadap lulusan perguruan tinggi (fresh graduate) yang tidak langsung mendapat pekerjaan yang layak. Padahal, banyak orang membutuhkan pekerjaan untuk melangsungkan hidup, tetapi semakin ke sini, memperoleh pekerjaan di Indonesia semakin sulit. Bagaimana tidak, lapangan pekerjaan yang tersedia begitu terbatas.
Hal ini disebutkan dalam laporan Bank dunia bahwa kondisi satu dari tujuh anak muda di Cina dan Indonesia kesulitan mendapatkan pekerjaan. Dalam artian, gangguan rantai pasok serta fluktuasi permintaan atau peningkatan hambatan impor di pasar-pasar utama telah mempengaruhi lapangan kerja, terutama di kalangan pekerja dengan keterampilan rendah dan informal. (Cnnindonesia.com, 08-10-2025)
Di lain sisi, pemerintah mengeluarkan program magang nasional bagi lulusan baru perguruan tinggi yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Ketengakerjaan, Yassierli, bahwa program ini dibagi menjadi dua tahap pendaftaran, dengan kuota peserta magang sebanyak 20.000 tahap awal, dan 80.000 kuota di tahap kedua hingga akhir tahun. Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menjanjikan para peserta magang ini akan diberi gaji setara dengan upah minimum provinsi (UMP) di daerah masing-masing. (Kontan.co.id, 13-10-2025)
Sebelumnya, kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 8 Tahun 2025, sebagai dasar hukum pelaksanaan bantuan pemerintah untuk program pemagangan yang disahkan pada 30 september. Kemudian direspons oleh Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof Zuly Qodir.
Beliau memandang Program Magang Nasional merupakan bentuk upaya pemerintah memperkuat konektivitas antara dunia pendidikan dan dunia industri. Dengan begitu, perguruan tinggi harus menyiapkan lulusannya agar memiliki daya saing tinggi di hadapan pemilk modal, sehingga tidak jatuh dalam jebakan eksploitasi tenaga kerja. (Detik.com, 29-9-2025)
Magang Bukan Solusi
Adanya program magang ini dinilai memberikan kabar gembira bagi anak muda yang baru keluar dari gerbang pendidikan. Seolah mereka menemukan jalan impian menuju masa depan yang menjanjikan. Meskipun sementara, setidaknya status magang menjadi babak baru memperoleh pengalaman dan penghasilan sebelum menghadapi dunia kerja sesungguhnya. Selain itu, bagi pemerintah pun ini merupakan langkah strategis untuk mempersempit kesenjangan antara pendidikan dan pasar kerja. Artinya, membantu dunia usaha mendapatkan talenta yang siap pakai.
Memang benar, jika dilihat dari Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran nasional turun menjadi 7,28 juta orang (4,76 persen) per Februari 2025. Namun, dibalik fakta itu, angka pengangguran pada kalangan berpendidikan tinggi justru meningkat 17,3 % dibanding Agustus 2024. Dengan demikian, masalah pengangguran belum benar-benar terselesaikan. Program magang nasional yang diluncurkan pemerintah hanya memberikan solusi jangka pendek, belum efektif menjamin masyarakat keluar dari jurang masalah.
Pasalnya, tingginya angka pengangguran terjadi karena minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak dan merata. Kondisi dunia industri saat ini justru sedang dilanda badai pemutusan hubungan kerja (PHK), akibat tekanan ekonomi global, efisiensi biaya, maupun dampak digitalisasi. Sehingga, lowongan yang tersedia tidak sebanding dengan banyaknya jumlah pencari kerja.
Baca: Generasi Muda Terperangkap Krisis Tenaga Kerja
Negara Hanya Sebagai Fasilitator
Ini menunjukkan negara hanya bertindak sebagai fasilitator bagi para pemilik modal untuk menjalankan industrinya. Adapun urusan kesejahteraan rakyat dan lapangan kerja diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar dan perusahaan swasta. Sama saja, negara lebih mengutamakan bisnis dibandingkan untuk mencerdaskan bangsa, sehingga pendidikan diarahkan untuk mencetak generasi sebagai tenaga kerja yang siap pakai.
Jelaslah, program magang bukan solusi tepat dalam mengatasi pengangguran, tetapi bertujuan memudahkan terjalinnya kerja sama perguruan tinggi dengan para kapitalis. Akibatnya, aktivitas ekonomi macet dan melambat karena harta hanya dikuasai segelintir orang, tidak berputar pada seluruh rakyat. Tidak hanya itu, timbul ketimpangan distribusi kekayaan karena negara membuka ruang yang luas bagi para investor untuk memegang kendali pengelolaan sumber daya alam.
Inilah akibat penerapan sistem Kapitalisme yang melegitimasi politik para pemilik modal untuk menguasai sumber daya alam yang melimpah, bukan menyejahterakan rakyat melainkan demi keuntungan segelintir orang saja. Negara tidak berpihak pada rakyat dan lebih fleksibel dengan swasta untuk mengatur industrialisasi. Alhasil, lapangan kerja pun terbatas dan rakyat terus berada dalam lingkaran pengangguran dan kemiskinan.
Paradigma Islam
Negara yang menerapkan sistem Islam akan menjalankan perannya sebagai pengurus rakyat. Dalam penerapan sistem ekonomi yang berlandaskan Islam, negara bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan rakyat, seperti menciptakan kesempatan kerja yang luas. Negara akan memperhatikan rakyat dalam hal pendidikan yang berkualitas, memberikan bantuan modal, industrialisasi, penyediaan tanah, dan lain-lain. Alhasil, pemenuhan kebutuhan rakyat terpenuhi secara merata.
Dengan demikian, pengangguran tidak akan terjadi karena negara menjadi pihak yang mengelola sumber daya alam yang melimpah secara mandiri, tidak akan memberikan izin usaha kepada individu/swasta. Hasilnya akan menjadi sumber pendapatan baitulmal, selain diperoleh dari pemasukan zakat, jizyah, kharaj, fai, dan ganimah.
Nantinya, akan digunakan untuk kemaslahatan rakyat, sehingga ini bisa menjadi lahan pekerjaan bagi para laki-laki seperti pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan dan lainnya. Sebagaimana dalam pandangan Islam, pemenuhan nafkah berada pada pundak laki-laki.
“Kewajiban ayah untuk menanggung nafkah dan pakaian mereka secara layak.” (TQS. Al-Baqarah: 233)
Tentunya negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang mampu menciptakan keadilan dalam distribusi kekayaan, dengan cara melarang sistem riba, penimbunan barang maupun eksploitasi ekonomi agar tidak terjadi penumpukan kekayaan pada sekelompok orang saja. Akhirnya, peluang usaha tersebar lebih luas dan adil bagi seluruh rakyat.
Berdasarkan firman Allah Swt.,
“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian…" (TQS. al-Hasyr: 7).
Oleh karena itu, hanya dengan sistem Islam dalam negara Khilafah yang akan memberikan arah perbaikan dan solusi atas semua permasalahan. Selain negara sebagai pemimpin dan pelindung, juga akan menghadirkan rasa keadilan dan kesejahteraan menyeluruh bagi rakyat.
Wallahu a’lam bishawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com


















