
Program MBG sebenarnya sedang mengonfirmasi kegagalan negara dalam menjamin pemenuhan gizi rakyatnya.
Oleh. Sri Haryati
Kontributor NarasiLiterasi.Id
NarasiLiterasi.Id--Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program andalan Presiden Prabowo Subianto yang digadang-gadang mampu memberi banyak keuntungan dan memberikan dampak signifikan bagi perekonomian masyarakat. Hal ini diperkuat oleh Bupati Bandung, Dadang Supriatna yang menyebut program MBG tidak hanya meningkatkan kualitas gizi, tetapi juga mampu menekan angka pengangguran secara bertahap.
Dadang menjelaskan, ribuan tenaga kerja baru akan terserap melalui program MBG yang terintegrasi dengan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Menurutnya keberadaan MBG juga memberikan efek luas pada sektor pertanian, perikanan, dan peternakan di tingkat lokal. (koran-gala.id, 1-10-2025)
Tidak dimungkiri dengan adanya program MBG setidaknya mampu menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran. Namun, sangat disayangkan pemerintah hanya melihat dari sisi kemanfaatan secara parsial saja, tetapi akibat buruknya tidak diperhatikan dan cenderung dianggap sepele. Padahal akibat buruk program MBG salah satunya keracunan sampai ada yang meninggal, bahkan menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) dan masih terjadi sampai saat ini.
Sisi Negatif Program MBG
Menelan Biaya yang Sangat Besar
Untuk mendanai program MBG dalam APBN 2025, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp71 triliun. Dengan target 19,47 juta penerima manfaat, yang menyasar peserta didik mulai dari jenjang PAUD hingga SMA/sederajat, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.
Sungguh menelan biaya yang sangat fantastis, dan pastinya rawan dikorupsi. Padahal dana tersebut diperoleh dari berbagai macam pungutan pajak yang dibebankan kepada masyarakat.
Biaya Makin Besar karena Keracunan
Banyaknya siswa yang keracunan menyebabkan biaya makin besar karena semua pembiayaan ditanggung pemerintah. Dalam catatan JPPI hingga 21 September 2025 terdapat 6.452 kasus keracunan MBG. Kasus terbanyak (2.012 kasus) terjadi di Jawa Barat, DIY (1.047 kasus), Jawa Tengah (722 kasus), Bengkulu (539 kasus), dan Sulawesi Tengah (446 kasus). Serta baru-baru ini di Kecamatan Cipongor, Kabupaten Bandung Barat terjadi kasus keracunan yang menelan korban lebih dari 1.000 orang dan ditetapkan menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa). Lonjakan ini membuktikan kegagalan sistemik MBG dalam menjamin keamanan pangan anak.
Sarat Praktik Korupsi
Program MBG rawan menjadi bancakan politik. Pemilihan mitra dapur bermasalah, konflik kepentingan kental, dan SPPG di banyak daerah tidak menerima pembayaran tepat waktu.
Dengan anggaran yang sangat besar, program MBG menjadi potensi korupsi baru. Praktik korupsi tersebut tidak hanya berpotensi menurunkan kualitas menu yang diberikan, juga menimbulkan potensi kerugian (potential lost).
Mengingat besarnya nilai akumulatif pemotongan yang terjadi secara masif dan sistemis. Dampaknya, penerima manfaat dipaksa mengonsumsi makanan basi, tidak layak konsumsi, bahkan minim karena dikorupsi.
Merusak Ekosistem Sekolah dan Komunitas
MBG mengacaukan ekosistem sekolah, karena pendidik terbebani tugas tambahan mengelola distribusi makanan, mencatat alergi siswa, hingga menangani keracunan. Kantin sekolah mengalami kerugian karena kehilangan pendapatan, dan komunitas/orang tua tersisih dari pemenuhan gizi anak.
Jauh dari Prinsip Kedaulatan Pangan
Program MBG belum sepenuhnya mencerminkan prinsip kedaulatan pangan nasional. Fakta yang terjadi di lapangan menunjukan bahwa, menu MBG masih menggunakan Ultra Processed Food yang tidak sesuai dengan prinsip gizi seimbang. Belum berfokus pada pemanfaatan dan pemberdayaan pangan lokal dan kesejahteraan petani serta pelaku UMKM lokal.
Jauh dari Ideal
Pelaksanaan MBG masih jauh dari kata ideal, sehingga butuh evaluasi ulang dan harus dihentikan. Sebagaimana disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Kanti Rahmilah, M.Si., bahwa kebijakan populis ini sudah saatnya dihentikan karena gagal mencapai tujuan. Hal itu disampaikan kepada MNews, Ahad (28-9-2025). Beliau menuturkan, jika ketiga tujuan MBG dievaluasi, di antaranya memenuhi gizi seimbang, meningkatkan prestasi, dan menggerakan ekonomi, maka semuanya gagal. Buktinya ribuan anak malah keracunan.
Dengan program MBG sejatinya prestasi anak tidak dapat ditingkatkan, sebab proses belajar mengajar justru terganggu dengan sibuknya para pendidik dalam mengatur distribusi MBG. Begitupun dengan tujuan menggerakkan ekonomi, program MBG tidak bisa menggerakkan ekonomi masyarakat lokal. Hal ini nampak pada Investigasi Tempo dalam acara Bocor Alus (19-4-2025) yang menemukan bahwa, mayoritas yayasan yang melakukan MoU dengan BGN merupakan kroni penguasa. Artinya peningkatan ekonomi hanya berputar pada segelintir orang, bukan pada masyarakat lokal.
Baca juga: Ironi Tragedi Keracunan Massal MBG
MBG Bukan Solusi
MBG bukan solusi fundamental untuk mengatasi gizi buruk dan stunting. Jika pemerintah ingin mengurangi dan menyelesaikan persoalan gizi buruk dan stunting, seharusnya negara mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Ketika negara menjamin setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan dan penghasilan yang layak, maka mereka mampu memenuhi gizi keluarganya.
Program MBG sebenarnya sedang mengonfirmasi kegagalan negara dalam menjamin pemenuhan gizi rakyatnya. Dengan banyaknya korban keracunan hingga mengakibatkan korban meninggal, bukankah rakyat yang dikorbankan dan menanggung kerugian. Bagaimana dampak psikologis anak-anak dan keluarga yang menjadi korban keracunan, apakah negara memperhitungkannya dengan matang?
Program yang diterapkan pemerintah selama ini bukan untuk kemaslahatan umat melainkan pencitraan semata. Dalam sistem politik demokrasi hal itu menjadi suatu keniscayaan, sebab penguasa hanya fokus pada pencitraan daripada memenuhi kebutuhan rakyat. Peran negara hanya sebagai regulator bagi korporasi. Kemaslahatan rakyat tidak pernah menjadi prioritas utama, penguasa hanya sibuk membuat aturan dan kebijakan yang menguntungkan korporasi dan kelanggengan kekuasaan mereka saja.
Sistem Islam Menjamin Pelayanan kepada Rakyat
Islam bukan sekadar agama yang mengatur ibadah saja, melainkan sebuah mabda (ideologi) yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Penguasa dalam Islam diperintahkan Allah Taala untuk mengurus rakyat dengan penuh amanah dan tanggung jawab, sesuai dengan aturan-aturan syariat.
Sistem Islam memiliki mekanisme untuk memenuhi gizi rakyat. Di antaranya : Pertama, terjaminnya kebutuhan primer setiap individu secara layak. Negara wajib memberikan kemudahan bagi rakyat dalam mengakses kebutuhan primer dan menyediakan pangan dengan harga murah.
Kedua, negara wajib membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Dengan tersedianya lapangan pekerjaan bagi orang tua, maka setiap keluarga akan mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya. Meskipun negara memberikan makan bergizi di sekolah, anak-anak tetap mendapatkan makan bergizi seimbang di rumahnya.
Ketiga, sistem politik Islam tidak akan melahirkan penguasa populis. Penguasa dalam sistem Islam berfungsi sebagai raa’in, yaitu mengurus dan melayani segala kebutuhan masyarakat dengan amanah. Mereka memahami bahwa setiap perbuatan dan kepemimpinan mereka akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Kepentingan umat menjadi prioritas utama, sehingga seluruh program-program dan kebijakannya akan direncanakan dan dipersiapkan secara matang serta diawasi secara menyeluruh.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.“ (HR. Bukhari)
Khatimah
Dengan penerapan sistem Islam, setiap keluarga dapat menjamin kesejahteraan pangan dan gizi keluargannya. Negara akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi penanggung nafkah, sehingga rakyat tidak akan pusing memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan ekonomi dan pemenuhan gizi keluarganya. Sungguh, kesejahteraan, keadilan, dan keberkahan benar-benar nyata dalam sistem Islam. Wallahualam bissawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
