
Setiap kebaikan di sistem kapitalis termasuk utang luar negeri pasti berharap timbal balik, baik itu berupa riba atau intervensi kebijakan.
Oleh. Tri Silvia
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Untuk kesekian kalinya, utang luar negeri (ULN) Indonesia terpantau melesat. Sebagaimana yang diberitakan Kontan.co.id (15-11-2024) bahwa ULN Indonesia meningkat 8,3% dari jumlahnya pada periode yang sama tahun lalu.
Adapun jumlah utang Indonesia pada kuartal ke III tahun ini, yakni sejumlah US$204,1 miliar atau Rp3.247,6 triliun. Dengan penambahan tersebut maka total ULN Indonesia saat ini adalah US$427,8 miliar atau Rp6.807 triliun.
Penarikan pinjaman luar negeri dan peningkatan aliran modal asing yang masuk dalam bentuk surat berharga negara (SBN) domestik disinyalir menjadi faktor yang memengaruhi peningkatan utang luar negeri saat ini. Alhasil untuk memperbaikinya, pemerintah berkomitmen untuk menjaga kredibilitas dalam menunaikan kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang tepat waktu.
Adapun terkait peruntukan ULN saat ini dimanfaatkan guna mendukung sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 21,0%, administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 8,9%, jasa pendidikan 16,8%, konstruksi 13,6%, serta jasa keuangan dan asuransi 9,1%.
Masa Depan Utang Luar Negeri Indonesia
Utang sebesar US$427,8 miliar tentunya bukan jumlah yang sedikit dalam mengawali masa kepemimpinan baru di republik ini. Hal ini seharusnya menjadi PR besar bagi pemerintahan ke depan agar utang tersebut bisa diselesaikan secepatnya. Namun, apakah pemerintahan baru kali ini memiliki visi untuk segera menyelesaikan utang-utang tersebut?
Nyatanya tidak ada satu visi negara pun dari presiden baru terkait ULN. Bahkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto disebutkan akan menambah utang dengan kisaran Rp700—800 triliun. Di mana hal tersebut telah tercantum dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang baru disahkan.
Jika kita melihat rencana ataupun program kerja mereka, tambahan utang Rp700 triliun tentunya masih kurang dan akan terus bertambah. Pemerintah pun mengharapkan adanya refinancing dan reinvestasi atas utang-utang yang telah jatuh tempo. Artinya, pemerintah tidak memiliki fokus untuk menghapuskan utang negara.
Selain itu, pernyataan beliau saat debat capres pada Januari lalu lebih menguatkan asumsi ini. Terlihat bahwa presiden tidak memiliki intensi untuk menyelesaikan atau minimal memperkecil persentase utang negara atas PDB (produk domestik bruto) yang ada saat itu. Bahkan yang bersangkutan menyebut angka perbandingan 50% sebagai angka yang masih aman.
Hal tersebut sejalan dengan yang acapkali diungkap oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Ia menyebut bahwa jumlah ULN Indonesia saat itu masih terkendali dan aman dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Alhasil pemerintahan saat ini disinyalir akan menambah beban utang yang dimiliki Indonesia. Terlepas bagaimana strategi mereka untuk menyelesaikannya.
Dapat dibayangkan jika saat ini saja jumlah utang negara kita sudah besar, bagaimana dengan kondisi ke depannya. Jika penduduk Indonesia sekarang berjumlah 282.477.584 orang, setiap individu rakyat menanggung utang Rp24 juta lebih. Bagaimana jika bertambah? Apakah kita sanggup menanggung itu semua?
Lantas apa yang dimaksud dengan istilah "aman"? Apakah benar standar 50% dari PDB itu masih menandakan jika ULN kita tergolong aman?
Standar Keamanan Utang Negara
Besaran US$427,8 miliar tentu bukan jumlah yang sedikit. Namun, jumlah tersebut ternyata masih dianggap terkendali dan sehat oleh Bank Indonesia. Mereka beralasan bahwa 99,9% ULN memiliki tenor pembayaran jangka panjang. Rasionya terhadap produk domestik bruto (PDB) pun masih dianggap aman, yakni sebesar 31,1%. Jika 31,1% rasio ULN terhadap PDB masih dianggap aman, lantas berapa standar ambang batas kerentanan utang negara?
PDB memang kerap dijadikan tolok ukur tentang aman atau tidaknya utang sebuah negara. Terkait dengan besarannya, jika bersandar pada konsensus internasional yang kemudian diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas aman rasio utang terhadap PDB adalah 60%. Besarannya tidak boleh lebih besar dari itu.
Lantas, apakah rasio perbandingan antara PDB dan ULN ini cukup sebagai standar keamanan utang sebuah negara? Yusuf Wibisono, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies mengungkapkan indikator rasio perbandingan antara ULN dan PDB tersebut dapat menyesatkan bila kemampuan pemerintah dalam membayar utang tidak diperhitungkan. Menurutnya, indikator yang lebih tepat untuk menilai beban utang adalah rasio antara bunga utang serta cicilan pokok utang dan penerimaan perpajakan. Sebabnya, hal tersebut lebih mencerminkan pendapatan pemerintah yang sesungguhnya.
Tingkat Kerentanan Utang
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara pun menyatakan bahwa dalam mengukur tingkat kesehatan utang, tidak bisa sekadar membandingkan rasio ULN terhadap PDB, untuk kemudian dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Ada faktor pendukung lain yang membedakan tingkat kerentanan utang setiap negara.
Di antara faktor pendukung lain yang membedakan tingkat kerentanan ULN suatu negara, yakni kepemilikan utang negara, apakah berasal dari investor dalam negeri atau justru asing. Jika tingkat kepemilikan surat utang tersebut didominasi oleh asing atau pinjaman luar negeri, tingkat kerentanan terhadap fluktuasi nilai tukar dan tren suku bunga global menjadi lebih tinggi.
Selain itu, tingkat produktivitas utang dan dampaknya terhadap perekonomian pun menjadi hal yang wajib diperhitungkan. Hal ini dapat diukur dari realisasi pertumbuhan ekonomi dan PDB yang dihasilkan.
Lalu apakah pertambahan jumlah utang negara sesuai dengan realisasi pertumbuhan ekonomi? Ekonom Center of Economic and Reform Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengimbuhkan, jika melihat dinamika kondisi perekonomian beberapa tahun terakhir dan mengecualikan kondisi pandemi, peningkatan perekonomian justru tidak lebih besar daripada peningkatan nominal utang yang dilakukan oleh pemerintah. (tempo.co, 26-1-2024)
Dari pemaparan di atas maka dapat kita simpulkan, penggunaan rasio ULN terhadap PDB sebagai satu-satunya standar kerentanan utang negara adalah tidak tepat. Hal tersebut akan sangat mengganggu bahkan memiliki risiko besar ke depannya. Terutama terkait kedaulatan negara.
Apa Kabar Kedaulatan Bangsa?
Kedaulatan bangsa akan menjadi taruhan terbesar dari melesatnya utang luar negeri suatu negara. Bagaimana tidak, kemungkinan gagal bayar akan menjadi titik awal kehancuran dan pengambilalihan kekuasaan.
Utang luar negeri seakan menjadi jalan pintas suatu bangsa untuk menyelesaikan sebuah masalah. Pada faktanya, alih-alih bisa menyelesaikan masalah, ia justru menambah masalah baru. Memang ada fakta di mana sebuah negara bisa selamat dari kebangkrutan dengan utang luar negeri. Namun, ada lebih banyak kasus di mana sebuah negara kehilangan kekuatan dan kedaulatannya usai mengalami gagal bayar utang luar negeri.
"Tidak ada makan siang gratis" kiranya menjadi istilah yang tepat bagi sikap menolong yang ditunjukkan negara di dalam sistem kapitalisme. Artinya, setiap kebaikan termasuk utang luar negeri pasti mengharapkan timbal balik. Entah berbentuk tambahan uang (riba) ataupun yang bersifat manfaat berupa intervensi kebijakan.
Jerat Riba dan Intervensi Kebijakan
Dua-duanya adalah hal yang sangat berbahaya. Pertama, terkait dengan dosa riba dan jeratannya. Kedua, terkait intervensi kebijakan yang pastinya akan mengganggu kedaulatan. Untuk negara-negara yang cerdas dan mampu melihat jauh ke depan, ia akan menjauhi utang luar negeri dan lebih memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki.
Intervensi kebijakan jelas merupakan hal yang sangat serius. Pasalnya, dengan berbagai intervensi yang dilakukan maka negara akan kehilangan sedikit demi sedikit kekuasaannya, terutama dalam menjaga kepentingan rakyat. Negara akan cenderung bersikap masa bodoh dengan nasib rakyat. Sebaliknya, mereka akan bersikap ramah luar biasa dan memfasilitasi penuh segala kepentingan para pemberi utang. Sampai akhirnya mereka berada di titik ujung pengambilalihan kekuasaan.
Selain itu, negara pengutang pun akan sedikit demi sedikit kehilangan kewibawaannya di kancah internasional. Negara-negara super power termasuk negara pemberi utang akan cenderung meremehkan negara pengutang, selama mereka belum melunasi utangnya.
Alhasil, ULN jelas harus dijauhi karena bisa membahayakan bagi kedaulatan negara, apalagi ketika kita melihat dari sudut pandang Islam. Utang luar negeri yang dilakukan suatu negara adalah terlarang, kecuali dalam hal-hal yang bisa membawa kemudaratan besar, semisal bencana alam dan wabah penyakit.
Baca juga: Utang Meroket, Negara Kian Terjerat
Utang Luar Negeri dalam Pandangan Islam
Jika kita lihat lebih mendalam, hampir seluruh utang luar negeri yang diambil oleh pemerintah adalah utang berbunga. Artinya, ada riba atau tambahan atas utang di dalamnya. Hal ini jelas-jelas dosa besar, sebagaimana disampaikan dalam Al-Qur'an yang artinya, "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah: 275)
"Riba itu ada 73 pintu, yang paling ringan seperti orang yang berzina dengan ibunya. Dan riba yang paling berat adalah kehormatan seorang muslim." (HR. Hakim 2259 dan disahihkan Adz-Dzahabi)
Begitu pun terkait berkurangnya kedaulatan negara, Islam menyampaikan dalam hadis Rasulullah saw. yang artinya, "… Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa: 114)
Ditambah pula, jika kita mengingat bahwa ketika Islam berkuasa nanti akan ada banyak item penerimaan negara yang bertambah. Baik yang sudah jelas peruntukannya maupun tidak. Negara akan banyak melakukan perombakan transaksi sebagai bentuk konsekuensi dari redefinisi konsep kepemilikan sumber daya alam. Dengan berbagai hal di atas, maka negara akan memiliki banyak sekali pemasukan yang memungkinkannya untuk terlepas dari utang luar negeri dan menciptakan kesejahteraan rakyat.
Berbagai hal ideal di atas akan dan hanya akan terwujud seandainya kekhilafahan kembali tegak di muka bumi. Khilafah akan meluluhlantakkan pemikiran-pemikiran sesat ala kapitalisme dan menggantinya dengan berbagai konsep ideologi Islam.
Sayangnya, hari ini kita masih berjibaku di dalam sistem kapitalisme. Sistem yang menganggap utang luar negeri sebagai satu-satunya penolong selain pajak yang diambil dari rakyat. Alhasil, kesengsaraan pun akan menjadi-jadi. Pasalnya, dengan meroketnya utang luar negeri maka rakyat akan makin dicekik untuk memperoleh tambahan pajak. Seluruh pemasukan rakyat sekecil apa pun akan dikuliti dan segera diambil pajaknya. Wallahualam bissawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Para pemimpin negara tidak peduli akan nasib bangsa yang sesungguhnya, terus bergantung pada hutang luar negeri yang notabenenya berbasis ribawi hanya akan mengantarkan pada kesengsaraan.
Utang luar negeri menjadikan negara semakin lemah karena akan mudah diatur negara pemberi utang