
Utang yang terus bertambah akan membuat suatu negara terjerat ke dalam jebakan utang.Penambahan utang bukanlah hal yang tepat.
Oleh. Arum Indah
(Tim Penulis Inti NarasiLiterasi.Com)
NarasiLiterasi.Com-Utang negara makin meroket dan diproyeksikan akan menembus Rp8,7 kuadriliun pada Desember 2024. Utang ini mayoritas berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), pinjaman dari luar negeri, dan pinjaman domestik. Besarnya pinjaman ini dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Akan tetapi, Presiden Indonesia terpilih Prabowo Subianto justru berencana menambah utang sebesar Rp775,9 triliun guna memastikan APBN tetap dalam kondisi sehat. Pembiayaan ini diwacanakan untuk mendukung percepatan transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. (cnbcindonesia.com)
Berbeda dengan Prabowo, ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri justru mengungkap bahwa penambahan pinjaman negara memang terpaksa harus dilakukan untuk membayar beban bunga yang nilainya sudah mencapai Rp552,9 triliun. Ditambah lagi, pemerintah juga akan dihadapkan dengan kondisi defisit keseimbangan primer (primary balance) pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Faisal juga memprediksi kemungkinan utang negara akan terus meroket hingga mencapai Rp10 kuadriliun. Hal ini disampaikan oleh Faisal di forum diskusi bersama Bright Institute yang mengangkat tema “Reviu APBN 2025, Ngegas Utang!” (tempo.co, 22-8-2024)
Apa pun alasannya, penambahan pinjaman bukanlah suatu hal yang tepat. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia merupakan wujud ketergantungan negara ini terhadap pinjaman. APBN dan utang justru seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Jika tidak ada perubahan paradigma, maka negara akan terus menerus terjebak dalam siklus pembiayaan yang justru makin membebani APBN dan sangat berbahaya dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Negara Kian Terjerat
Utang dan beban bunga yang terus bertambah dan sulit dilunasi akan membuat suatu negara terjerat dan terperosok ke dalam jebakan utang atau debt trap. Awal mula debt trap terjadi saat negara melakukan pendanaan proyek-proyeknya dengan pinjaman dari negara lain ataupun lembaga internasional. Jumlah pinjaman pun terus bertambah tiap tahunnya seiring dengan tuntutan proyek-proyek dan pembangunan infrastruktur dalam suatu negara. Saat pinjaman telah membengkak dan meroket naik, negara akan terjerat dan megalami kesulitan melunasi pinjaman, bahkan mustahil untuk bisa melunasinya.
Pinjaman sangat berbahaya bagi negara baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, pinjaman akan berakibat pada kekacauan ekonomi negara debitur seperti inflasi dan kenaikan harga-harga barang. Hal ini disebabkan karena kurs mata uang negara debitur harus mengacu pada negara kreditur yang nilainya kadang jauh lebih tinggi saat membayar cicilan dan beban bunga yang telah jatuh tempo.
Dalam jangka panjang, kesulitan negara debitur dalam mencicil pinjaman akan berakibat pada hilangnya aset-aset penting negara. Aset negara bisa berpindah tangan ke pihak kreditur dengan harga yang sangat murah atau bahkan cuma-cuma sebagai bentuk pelunasan. Negara yang sulit melunasi tagihannya akan mudah diintervensi dan didominasi oleh negara kreditur, bahkan kehilangan kedaulatan negara.
Utang dalam Sistem Kapitalisme
Sistem ekonomi kapitalisme memang menjadikan utang sebagai salah satu sumber pemasukan negara. Hari ini, hampir tidak ada satu pun negara yang terbebas dari pinjaman. Bahkan, negara-negara maju sekalipun memiliki jumlah pinjaman yang sangat besar. Negara-negara maju ini bahkan menduduki peringkat atas sebagai negara debitur. Berdasarkan data dari CIA, pinjaman Amerika Serikat telah mencapai USD20 triliun. Selanjutnya Inggris USD8,7 triliun dan Prancis USD6,4 triliun.
Dalam teori ekonomi kapitalisme, utang digadang-gadang memiliki manfaat untuk mengerek pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini diibaratkan seperti saat perusahaan memperoleh modal untuk membuat proyek baru yang akan memberikan keuntungan. Pinjaman memang dijadikan sumber dana untuk membangun proyek-proyek yang ada di suatu negara. Dalam kacamata sistem kapitalisme, kedua belah pihak baik debitur atau kreditur sama-sama akan memperoleh keuntungan. Keuntungan pihak debitur adalah perolehan dana yang akan digunakan untuk pelaksanaan proyek negara, sedangkan keuntungan pihak kreditur adalah perolehan bunga dari pinjaman yang diberikannya.
Oleh karena itu, tak mengherankan jika negara-negara maju juga memiliki pinjaman yang sangat besar. Akan tetapi, kondisi negara maju tidaklah dapat disamakan dengan negara yang masih berkembang. Negara maju seperti Amerika Serikat dengan kekuatan kurs mata uang mereka, maka AS dapat menerbitkan SBN dengan bebas demi menggaet para investor dan jaminan suku bunga yang lebih rendah tanpa perlu khawatir negara mereka akan terjebak dalam debt trap. Pihak kreditur pun merasa aman memberikan pinjaman pada AS karena dianggap minim risiko. Apalagi negara-negara ini menguasai aset-aset penting dan kekayaan alam negara berkembang.
Lain halnya dengan Indonesia. Kurs mata uang yang cenderung rendah membuat kondisi negara tidak bisa disamakan dengan negara maju. Saat negara ingin menerbitkan SBN dengan nilai rupiah, investor asing tidak akan tertarik. Indonesia terpaksa menerbitkan SBN dengan standar dolar yang nilainya jauh di atas rupiah. Pinjaman dari lembaga keuangan internasional pun mengacu pada kurs mata uang dolar, akhirnya Indonesia terpaksa membayar kewajiban cicilan ataupun bunga dengan jumlah yang lebih tinggi. Utang dan beban bunga Indonesia pun terus menumpuk dan negara kesulitan melunasi pinjaman. Kondisi ini sering dimanfaatkan pihak kreditur untuk mengintervensi Indonesia.
Kapitalisme Sumber Masalah Utang
Paradigma salah sistem ekonomi kapitalisme telah menjadi sumber masalah bagi perekonomian negara, khususnya di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Negara-negara ini adalah objek jajahan negara Barat. Lewat berbagai kerja sama dan perjanjian bilateral atau multilateral, negara-negara dunia ketiga terpaksa menerima aliran dana pinjaman demi keberlanjutan pembangunan di negaranya, sedangkan kekayaan alam mereka dikuasai oleh negara Barat.
Baca juga : Ekonomi Mengekang, Kasih Ibu Menghilang
Pemerintah Indonesia pun mengikuti arahan negara maju untuk membangun sarana dan prasarana dengan pinjaman. Alih-alih menyelesaikan perkara, utang justru makin membengkak, beban bunganya kian memberatkan, ujung-ujungnya negara tak mampu membayar tagihan, dan harus kehilangan lago aset penting, sumber daya strategis, bahkan kedaulatan negara.
Indonesia harusnya bisa menjadi negara mandiri yang membiayai pembangunannya dengan hasil kekayaan alam yang dimiliki. Apalagi Indonesia memiliki sumber daya alamnya melimpah. Sayangnya, kapitalisme yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia telah meniscayakan kekayaan alam itu dikuasai oleh asing berdalih investasi, padahal keuntungan investasi itu pun mengalir jua ke kantong-kantong para investor, bukan ke rakyat. Rakyat masih tetap ditekan dengan biaya pajak yang tinggi, tetapi minim pendapatan.
Islam Mewujudkan Kemandirian Negara
Islam memiliki mekanisme tersendiri untuk membiayai proyek-proyek yang akan dibangun negara. Praktik ini telah dicontohkan oleh Rasulullah serta para khalifah terdahulu dan terbukti berhasil membangun berbagai infrastruktur tanpa intervensi asing. Kemandirian keuangan dalam Khilafah diwujudkan dalam sistem baitulmal. Baitulmal akan memaksimalkan pos-pos pemasukannya, baik yang berasal dari pemasukan negara seperti fai, ganimah, kharaj, dan jizyah. Juga yang berasal dari pemasukan milik umum, seperti hasil hutan, kekayaan laut, tambang, migas, dan lain sebagainya. Kemudian yang terakhir adalah pengelolaan zakat mal.
Dengan tiga mekanisme ini, keuangan dalam Khilafah selalu surplus dan tidak pernah mengalami defisit sepanjang sejarahnya. Khilafah pun tidak perlu berutang kepada negara atau lembaga lain untuk membangun infrastruktur dan proyek-proyek yang dibutuhkan umat dan negara. Pinjaman sekuat mungkin akan dihindari sebab akan menciptakan ketergantungan dengan pihak lain, sebagaimana hadis Rasul:
“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan utangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi)
Jika Khilafah mengalami kekosongan keuangan, maka pajak yang akan diberlakukan sebagai pilihan terakhir, bukan pinjaman. Pajak akan dikutip dari warga negara yang mampu dan tidak dipukul rata ke seluruh rakyat.
Khatimah
Ekonomi kapitalisme telah membuat negara-negara berkembang jatuh ke dalam jerat utang. Alih-alih ikut menjadi negara maju, kondisi negara justru makin terperosok dan bergantung kepada pinjaman. Kemandirian keuangan suatu negara hanya bisa diwujudkan dengan penerapan Islam. Negara juga akan terbebas dari intervensi dan penjajahan asing. Khilafah Islamiah telah menjadi bukti autentik yang membuktikan kehebatan penerapan Islam selama 1.300 tahun.
Wallahu’alam bishowab []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

[…] Baca: Utang Meroket Negara Kiian Terjerat […]
[…] Baca juga: Utang Meroket, Negara Kian Terjerat […]