Tata Bahasa Informasi: Keteraturan Membentuk Kehidupan dan Kesadaran 

Tata bahasa informasi

Sama seperti sebuah puisi: meskipun tersusun dari aturan gramatikal, ia bukan sekadar rangkaian kata, melainkan karya yang bisa menggugah hati dan pikiran.

Oleh. T.H. Hari Sucahyo
(Kontributor NarasiLiterasi.Id dan @Pegiat Forum Lintas Ilmu “Sapientiae”)

NarasiLiterasi.Id--Jeremy Campbell dalam karyanya Grammatical Man: Information, Entropy, Language, and Life menawarkan sebuah gagasan yang menggugah: bahwa kehidupan pada dasarnya dapat dipahami melalui sebuah tata bahasa, sebuah aturan mendasar yang sama dengan cara kita memahami bahasa manusia, komputer, maupun DNA. Ia menyuguhkan pandangan bahwa di balik kerumitan dunia, baik dalam organisme hidup maupun dalam komunikasi manusia, terdapat struktur informasi yang memandu keteraturan dan memungkinkan kehidupan bertahan. 

Ide ini bukan sekadar metafora puitis, tetapi berakar pada teori informasi Claude Shannon, serta keterkaitannya dengan entropi, bahasa, dan kompleksitas sistem. 

Membaca Campbell, kita seakan diajak untuk menyingkap misteri terbesar: apakah kehidupan, kesadaran, dan budaya hanyalah hasil dari tata bahasa kosmik yang jauh lebih luas daripada yang kita pahami?

Teori informasi Shannon memberi kita kerangka untuk memahami bagaimana pesan dapat dikirim, diterima, dan dipertahankan dalam kehadiran gangguan atau kebisingan. Pada tingkat teknis, teori ini berbicara tentang bit, probabilitas, dan reduksi ketidakpastian. Sementara Campbell melangkah lebih jauh: ia menghubungkan prinsip-prinsip matematis ini dengan bahasa manusia dan bahkan kode genetik. 

Manusia Gramatikal

Jika dalam komunikasi kita bergantung pada aturan tata bahasa agar makna bisa dipahami, demikian pula sel-sel hidup bergantung pada tata bahasa DNA untuk menerjemahkan instruksi genetik menjadi protein dan akhirnya membangun organisme. Maka, “manusia gramatikal” yang dibicarakan Campbell bukan hanya makhluk berbahasa, melainkan makhluk yang hidup karena tunduk pada aturan tata bahasa informasi yang menyusun alam semesta.

Pandangan Campbell memunculkan kesadaran bahwa hidup bukanlah chaos total, meskipun selalu dikepung entropi. Entropi, dalam pengertian termodinamika maupun informasi, adalah kecenderungan menuju ketidakteraturan. Justru di tengah ancaman entropi itulah kehidupan muncul sebagai upaya mengatur, memelihara, dan mereplikasi informasi. DNA bekerja sebagai teks yang ditulis, disalin, dan diterjemahkan. 

Sistem Simbol

Bahasa manusia bekerja sebagai sistem simbol yang mengikat makna, menciptakan kebudayaan, dan menghubungkan generasi. Bahkan komputer pun, dalam perannya sebagai mesin informasi, bergantung pada tata bahasa logis yang memungkinkan instruksi diterjemahkan ke dalam operasi. Dengan demikian, kehidupan pada semua tingkat dapat dilihat sebagai drama kosmik di mana tata bahasa informasi menjadi aktor utama yang melawan kehampaan entropis.

Di balik gagasan elegan ini muncul pula pertanyaan filosofis yang dalam. Apakah dengan mengurai kehidupan ke dalam teori informasi, kita sedang mereduksi makhluk hidup menjadi sekadar algoritme? Apakah cinta, seni, dan spiritualitas hanyalah hasil keluaran dari tata bahasa informasi yang sama dengan DNA? Campbell sendiri tidak jatuh pada reduksionisme kaku. Ia lebih menekankan bahwa memahami kehidupan sebagai tata bahasa bukan berarti meniadakan keajaibannya, melainkan justru mengakui keteraturan yang memungkinkan keajaiban itu terjadi. 

Sama seperti sebuah puisi: meskipun tersusun dari aturan gramatikal, ia bukan sekadar rangkaian kata, melainkan karya yang bisa menggugah hati dan pikiran. Demikian pula kehidupan: meski dibangun di atas tata bahasa informasi, makna dan misterinya tidak dapat dikurung sepenuhnya dalam rumus.

Relevansi teori Campbell semakin jelas ketika kita memandang perkembangan zaman ini. Di era digital, kita semakin sadar bahwa informasi adalah fondasi peradaban modern. Identitas kita di media sosial, rekam jejak kita di data besar, bahkan cara kita bekerja dan berinteraksi, semuanya dijalin oleh informasi. 

Dalam arti tertentu, manusia abad ke-21 hidup lebih “gramatikal” daripada sebelumnya: kita bergantung pada aturan algoritmik mesin pencari, platform media, dan kecerdasan buatan untuk menyalurkan dan memahami informasi. DNA sosial kita pun seakan sedang ditulis ulang oleh mesin yang tak pernah tidur. Pandangan Campbell seolah telah menubuatkan era di mana informasi menjadi bukan hanya medium komunikasi, melainkan ekosistem kehidupan itu sendiri.

Mutasi Linguistik

Meski demikian, gagasan Campbell juga membawa peringatan. Jika kehidupan dan kebudayaan adalah soal tata bahasa informasi, maka ancaman terbesar bukan hanya kerusakan ekologis atau politik, melainkan kerusakan tata bahasa itu sendiri. Hoaks, manipulasi data, dan disinformasi dapat dilihat sebagai bentuk “mutasi linguistik” yang merusak keteraturan komunikasi manusia. 

Sama seperti mutasi genetik yang bisa menghasilkan penyakit, mutasi informasi yang liar bisa menimbulkan krisis sosial. Dengan memahami bahwa kita adalah makhluk gramatikal, kita diingatkan untuk menjaga kebersihan informasi, mengelola entropi sosial, dan memastikan tata bahasa kehidupan tetap memberi makna, bukan kebingungan.

Apa yang menarik adalah bahwa gagasan Campbell memperluas cakrawala interdisipliner: biologi, linguistik, filsafat, dan ilmu komputer menjadi satu medan dialog. Kita bisa melihat bagaimana DNA sebagai bahasa kehidupan paralel dengan bahasa manusia. Misalnya, dalam linguistik kita mengenal konsep sintaksis, semantik, dan pragmatik. DNA pun memiliki “sintaksis” berupa susunan nukleotida, “semantik” berupa makna biologis gen, dan “pragmatik” berupa ekspresi nyata dalam bentuk protein dan perilaku organisme. 

Kompleksitas muncul dari aturan sederhana.

Analogi ini bukan hanya indah, tetapi juga produktif: ia membuka jalan bagi pemahaman baru tentang bagaimana kompleksitas muncul dari aturan sederhana. Begitu pula, pemrograman komputer yang mengikuti aturan ketat tata bahasa kode dapat melahirkan sistem cerdas yang mampu belajar dan mencipta. Semua ini menunjukkan bahwa tata bahasa, dalam arti luas, adalah kunci bagi kemunculan keteraturan dari ketidakteraturan.

Penting juga untuk tidak tergesa-gesa menganggap bahwa segala sesuatu dapat dipetakan ke dalam teori informasi. Ada dimensi kehidupan yang mungkin melampaui bahasa, bahkan bahasa DNA sekalipun. Kesadaran manusia, misalnya, masih menjadi misteri yang belum bisa dijelaskan sepenuhnya oleh teori informasi. 

Apakah kesadaran hanyalah pola informasi yang kompleks? Atau ada sesuatu yang tak terukur, sebuah kualitas fenomenologis yang tidak bisa direduksi? Di sinilah filsafat tetap berperan, mengingatkan kita bahwa bahasa, meskipun kuat, tetap terbatas. Tata bahasa kehidupan memberi kita kerangka, tetapi bukan jawaban final atas misteri keberadaan.

Meski begitu, kekuatan teori Campbell justru terletak pada daya inspirasinya. Ia mengajarkan bahwa keberagaman disiplin ilmu dapat disatukan dalam visi yang menyeluruh. Kehidupan, bahasa, dan budaya tidak berdiri terpisah, melainkan saling menyinggung dalam sebuah jaringan informasi. Kesadaran akan hal ini bisa menumbuhkan sikap rendah hati sekaligus rasa kagum. 

Rendah hati, karena kita menyadari bahwa kita hanyalah bagian dari tata bahasa kosmik yang lebih besar. Kagum, karena kita melihat bagaimana aturan sederhana bisa melahirkan kompleksitas yang luar biasa. Dari bit menjadi kata, dari nukleotida menjadi organisme, dari simbol menjadi peradaban; semuanya adalah bukti keagungan tata bahasa kehidupan.

Baca juga: Menyelamatkan Karakter Bangsa yang Kian Pudar

Tanggung Jawab Informasi

Dalam konteks etika, pemahaman ini juga mengandung konsekuensi. Jika hidup adalah teks, maka manusia adalah penulis sekaligus pembaca. Kita menulis masa depan melalui keputusan, teknologi, dan nilai-nilai yang kita anut. Tetapi kita juga pembaca, yang harus terus belajar menafsirkan teks kehidupan dengan bijaksana. Kesalahan membaca bisa membawa bencana, sementara tafsir yang arif bisa membawa kehidupan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Maka, menjadi manusia gramatikal bukan hanya soal menguasai informasi, tetapi juga soal bertanggung jawab atas informasi. Kita dipanggil untuk merawat tata bahasa kehidupan, bukan sekadar memanfaatkannya. Grammatical Man karya Jeremy Campbell memberi kita cermin untuk melihat siapa kita sebenarnya. Kita bukan hanya makhluk biologis atau makhluk sosial, melainkan makhluk gramatikal: entitas yang hidup dalam dan melalui aturan informasi. 

Kesadaran ini menuntun kita untuk mengakui bahwa keberlangsungan hidup bergantung pada bagaimana kita menjaga tata bahasa itu, baik pada tingkat genetik, linguistik, maupun digital. Kehidupan bukanlah chaos tanpa arah, melainkan teks besar yang terus ditulis ulang oleh alam, sejarah, dan manusia itu sendiri. Dan dalam teks itu, kita menemukan bukan hanya struktur, tetapi juga makna: bahwa di balik kerumitan dunia, ada keteraturan yang memberi ruang bagi kehidupan, cinta, dan harapan.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

T.H. Hari Sucahyo Kontributor NarasiLiterasi.Id
Previous
Rakyat Terjerat Kemiskinan
Next
Pola Pendidikan Ibu vs. Kenakalan Remaja
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram