Noktah Tak Bernilai

noktah tak bernilai

Aku ibarat noktah tak bernilai. Hanya sebuah titik di jagat semesta yang mungkin tidak ada nilainya karena tidak menjadi apa-apa.

Oleh. Aniyatul Ain
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Demi masa...
Sesungguhnya, manusia kerugian...
Melainkan, yang beriman dan yang beramal saleh...

Masih ingat lagu di atas? Ya, itu lagu “Demi Masa” yang disenandungkan oleh Raihan, grup nasyid asal Malaysia era tahun 2000-an. Suara vokalisnya yang khas, membelai telingaku. Pagi itu, lagu “Demi Masa” menemani aktivitas rutinku sebagai seorang Ibu Rumah Tangga (IRT).

Jika kita renungi, lagu tersebut memiliki makna yang dalam. Terinspirasi dari hadis Nabi Saw. kita harus bergegas beramal sebelum datang lima perkara: manfaatkan masa sehat kita, sebelum datang sakit. Manfaatkan usia muda, sebelum datang hari tua. Manfaatkan kekayaan kita, sebelum datang takdir miskin kita. Selain itu manfaatkan waktu lapang kita, sebelum datang waktu sempit. Terakhir, manfaatkan masa hidup kita, sebelum ajal (mati) datang.

Sambil menyapu rumah, aku merenung mendengar bait demi bait lagu Raihan tersebut. Semoga waktu dan usiaku yang banyak dihabiskan di rumah, bernilai pahala di sisi Allah Swt.

Embusan Bisikan Setan

Sebagai seorang IRT, yang kesehariannya dominan di rumah aku harus banyak rida dan ikhlas atas takdir peranku saat ini, menjadi seorang ibu dan pengurus rumah tangga. Tidak terasa, peran itu sudah menginjak usia 13 tahun selaras dengan usia pernikahanku. Semenjak menikah, suami meminta keikhlasanku agar berkarier di rumah. Meninggalkan aktivitas mengajar di sekolah, yang selama ini aku tambatkan cita-cita sedari dulu ingin menjadi seorang pendidik. Mimpi itu aku kubur. Aku berusaha menjalankan peran yang kubisa, juga sesuai permintaan suami menjadi IRT.

Merasa nothing dan insecure

Tidak ada yang meragukan kemuliaan peran seorang IRT, aku pun meyakini itu. Namun, ketika aku buka medsos dan terhubung dengan aneka teman juga sahabat di masa lalu, ada yang sukses menjadi pengusaha, ada yang menyandang gelar profesor di pundaknya, sukses menjadi dosen muda. Ada pula yang lanjut study S2/S3, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dll. Beraneka ragam kesuksesan teman-teman dahulu yang pernah kukenal, justru malah membuat aku menjadi insecure. Dibanding mereka yang sudah sukses, aku merasa nothing. Aku ibarat noktah tak bernilai. Hanya sebuah titik di jagat semesta yang mungkin tidak ada nilainya karena tidak menjadi apa-apa.

Baca: Men-challenge Diri dalam Dunia Literasi

Ketika aku menceritakan isi hatiku pada suami, suami langsung menegur! “Jangan teperdaya bisikan setan”, tegur suami dengan tegas. “Astaghfirullah...” aku langsung memohon ampun kepada Allah Swt. atas kekeliruan ini. Benar, setan sangat lihai menggelincirkan hamba-hamba-Nya. Setan tahu betul posisi kita ketika lemah, lalai, dan selalu mengembuskan keragu-raguan ke dalam hati manusia. Tujuannya agar manusia tadi tergelincir, jadi kufur nikmat dan tercerai-berai ikatan pernikahannya. Ingat, setan adalah musuh yang nyata untuk manusia. Setan tidak akan senang ketika kita menjadi manusia taat. Baik taat pada suami maupun taat pada Allah dan Rasul-Nya.

Aku berusaha menghilangkan perasaan-perasaan yang tak beralasan itu. Tekadku ketika menjadi seorang istri adalah taat pada apa yang diperintah suami. Selama suami tidak menyuruh kepada kemaksiatan.

Bukan Noktah, tetapi Akar

Kekeliruan manusia yang hidup saat ini adalah menganggap pencapaian materi sebagai goals tertinggi. Tidak heran, saat ini banyak manusia menjelma seperti itu karena kita hidup terkungkung dalam atmosfer kapitalisme. Di mana materi adalah takhta tertinggi di sistem ini. Hal ini berbeda dengan Islam. Islam menganggap harta dan materi hanya sebagai ujian. Bukan penentu kemuliaan. Manusia dianggap mulia ketika mampu mempersembahkan ketakwaan terbaik kepada Allah Swt., bukan dengan ukuran-ukuran materi yang nisbi.

Pun juga menjadi seorang ibu, itu peran terbaik yang Allah anugerahkan kepada perempuan untuk menyiapkan generasi khoiru ummah (umat terbaik). Peran ibu di era kapitalisme memang dianggap sebelah mata juga tidak bergengsi karena tidak mendatangkan materi. Akan tetapi, Islam justru sebaliknya memuliakan perempuan manapun yang mengambil peran ini. Bahkan, Allah Swt. memberi jaminan perempuan tersebut sebagaimana hadis Nabi saw., perempuan bisa masuk surga dari pintu mana saja ketika  taat pada suami, menjalankan salat lima waktu, juga berpuasa Ramadan. Maha Baik Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya. Dia memberi peran sesuai kodratnya. Ketika perempuan pun ingin ikut bekerja, mengembangkan diri juga ilmu, sehingga mengharuskannya keluar rumah, maka sejatinya peran menjadi ibu dan pengatur rumah tangga tidak boleh sampai terabaikan. Karena peran itulah yang wajib, ditaklifkan di pundak perempuan. Peran yang mulia bukan seperti noktah.

Kebahagiaan seorang muslimah

Dengan ketaatan kita pada Allah Swt., patutlah kita menjadi bahagia. Bahkan, itulah kebahagiaan seorang muslimah sejati. Bahagia ketika tidak melanggar syariat-Nya. Bahagia ketika kita tunduk pada semua syariat-Nya. Tak apa, jika seorang ibu belum seperti kebanyakan orang yang sukses mencapai kariernya menjadi seorang pengusaha, profesor atau dosen, study sampai ke luar negeri, dll. Ibu yang bertakwa akan qana’ah dan bahagia ketika pun hanya menjadi “akar” di keluarganya. Ibarat tanaman, peran akar memang tidak terlihat, tetapi sangat vital dalam menutrisi tanaman dengan air dan unsur hara lainnya, sampai tanaman tadi tumbuh besar dan berbuah. Pun juga seorang ibu tak masalah jika saat ini “belum jadi orang”. Ia bukanlah noktah, tetapi bekerja layaknya akar pada tanaman. Menutrisi keluarganya dengan ilmu dan kasih sayang juga perawatan dengan maksimal. Harapannya, kelak akan lahir generasi umat dambaan Islam sebagai buah yang manis dari pengorbanannya selama ini. So, seorang ibu bukanlah noktah yang tak bernilai.

Wallahu a’lam bi ash-shawaab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Aniyatul Ain Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Mendidik Generasi AI
Next
Semoga Kita Tidak Ikut Gila
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

4 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Novianti
Novianti
1 month ago

Peran dalam rumah, tersembunyi dalam pandangan manusia, tetapi hasil kerjanya tidak untuk keluarga saja, melainkan juga untuk umat. Itulah ibu. Bagai jantung dalam tubuh, mengalirkan energi ke seluruh bagian. Berbahagialah kita para ibu, meski jadi ibu rumah tangga, tetapi bernarga.

Last edited 1 month ago by Novianti
Atien
Atien
1 month ago

Peran seorang ibu begitu penting dalam mendidik generasi muda penerus perjuangan Islam. Sayangnya peran tersebut dikebiri oleh sistem saat ini atas nama memuliakan perempuan. Padahal sejatinya hanya Islam yang mampu memuliakannya dengan sempurna. Barakallah mba@Aniyatul

trackback

[…] baca: Noktah Tak Bernilai […]

trackback

[…] Baca: Noktah Tak Bernilai […]

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram