Sekuler-kapitalisme benar-benar telah berhasil menyetir arah pandang masyarakat tentang kehidupan. Impitan ekonomi yang membelenggu saat ini, mendorong masyarakat melakukan berbagai cara demi mencari cuan
Oleh. Ni'matul Afiah Ummu Fatiya
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Cuan oh cuan! Di mana ada hajatan, di situ ada cuan. Ya, hajatan atau syukuran saat ini sudah mengalami pergeseran nilai, bukan lagi sebagai wujud syukur shohibul bait. Hajatan malah jadi cara baru untuk mendapatkan cuan (uang). Bukan maksud untuk menjustifikasi atau menggeneralisasi, tetapi heran dengan pola pikir sebagian besar masyarakat saat ini. Fakta bahwa banyak masyarakat hari ini yang menggelar pesta hajatan adalah hal lumrah. Meskipun, kadang-kadang dananya berasal dari utang.
Dahulu, saya sempat merasa heran ketika pertama kali mendapat undangan sunatan dengan tiga buah permen. Kok kesannya enggak sopan, seperti main-main. Kemudian di lain waktu, juga dapat undangan dengan sebungkus kopi, kalau di kampung malah dengan sebungkus indomie. Lama-kelamaan hal seperti itu jadi sebuah tradisi.
Hajatan dan Amplop
Dahulu juga saya heran, kenapa kondangan saja amplopnya harus diberi nama? 'Kan kita niatnya mau menyumbang, tidak mengharap kembali. Lebih mengherankan lagi, ternyata ada tradisi yang amplopnya langsung dibuka di depan orangnya dan disebutkan nominalnya menggunakan pengeras suara sehingga terdengar semua tamu. Bahkan, ada teman suami, dia punya satu anak perempuan. Anaknya masih usia SD. Jadi, kalau mau hajatan masih jauh, kecuali mau dinikahkan dini. Nah, singkat cerita, kondisi ekonominya lagi merosot, sampai berhenti jualan karena tidak punya cuan untuk modal. Utang sana sini belum terbayar, eh malah mau menggelar hajatan.
"Lo, 'kan enggak punya cuan?" tanyaku heran. Justru, kata suami, dengan hajatan nanti bakal dapat modal. Jadi, semua bahan buat hajatan seperti beras, minyak, daging, dan lain-lain, minta sumbangan ke teman-teman dan tetangga juga kerabat (memaksakan diri ya).
“Bagaimana cara mengembalikannya?" tanyaku lagi.
“Ya, nanti kalau selesai hajatan, 'kan dapat beras dan uang,” jawab suami. Aku cuma bisa tepuk jidat.
“Lah, terus dia mau hajatan apa, 'kan anaknya masih kecil?” tanyaku lagi.
“Mau sunatan ponakannya."
“Hmm ... niat banget ya mau hajatan.”
Hajatan demi Mencari Cuan
Sampailah hari “H” dia hajatan. Lucunya, sampai sekarang (sudah 2 bulan) dari dia hajatan, ponakannya itu belum juga disunat. Alasannya karena anaknya belum mau. Lah …jadi kemarin hajatan itu hajatan apa? Jadi benar, cuma mau mencari modal? Terlalu! (kata Bang Roma).
Bagaimanapun alasannya, menurutku itu merupakan bentuk pembohongan publik. Namun, itulah faktanya kondisi masyarakat kita saat ini. Sistem sekular kapitalisme benar-benar telah berhasil menyetir arah pandang masyarakat tentang kehidupan. Impitan ekonomi yang membelenggu masyarakat saat ini, mendorong masyarakat melakukan berbagai cara memenuhi kebutuhan pokoknya. Bahkan, sebagian besar masyarakat sudah tidak peduli bagaimana mereka mencari cuan, halal atau haram, terpuji atau tercela, yang penting dapat uang. Tujuan hidup bukan lagi untuk beribadah kepada Allah, tetapi untuk mencari materi sebanyak-banyaknya (cuan). (suaraislam.id, 2-12-2019)
Semua kerusakan itu terjadi akibat diterapkannya sistem sekuler. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini menjadikan manfaat sebagai asas dalam setiap perbuatan. Asal ada manfaat untuk diri mereka, semua akan dilakukan. Tidak peduli lagi apakah merugikan orang lain atau tidak, dibolehkan atau dilarang oleh agama. Tambahan lagi, ide kebebasan berbuat atau bertingkah laku sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat saat ini. Walhasil, semakin menambah rusaknya tatanan kehidupan.
Baca : Generasi Rusak, Buah Sekularisme Pendidikan
Islam Mengatur Cara Mencari Cuan
Berbeda dengan Islam yang menjadikan terpuji tercela serta halal dan haram sebagai tolok ukur dalam melakukan setiap aktivitas atau perbuatan. Dengan demikian, berbohong untuk mendapatkan cuan termasuk ke dalam perbuatan yang dilarang, pelakunya dihukumi telah melakukan perbuatan dosa.
Bagi kaum muslim yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, ia harus mengimani pula adanya hari pembalasan. Semua manusia pada hari itu akan dihisab amal perbuatannya dan akan diberi balasan sesuai yang pernah dia lakukan ketika di dunia, tidak dikurangi ataupun ditambah sedikit pun.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur bagaimana hubungan seorang hamba dengan dirinya sendiri seperti cara makan dan cara berpakaian, termasuk cara mendapatkan cuan. Islam juga mengajarkan bagaimana seorang muslim berhubungan dengan Allah melalui ibadah mahda, juga mengatur hubungan hamba dengan orang lain seperti dalam bermuamalah.
Dalam Islam, kewajiban mencari uang dibebankan kepada laki-laki sebagai kepala keluarga. Karena itu, laki-laki harus bekerja untuk mendapatkan cuan. Pekerjaannya pun tidak asal-asalan, tetapi harus pekerjaan yang halal. Tidak boleh melakukan penipuan dalam pekerjaannya seperti kasus di atas.
Khatimah
Semua aturan ini hanya bisa diterapkan dengan sempurna ketika ada institusi yang menaunginya, yakni dalam bingkai negara Islam atau Daulah Khilafah Islamiah. Khilafah akan menerapkan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Tujuan pendidikan dalam Khilafah adalah membentuk manusia yang berkepribadian Islam. Memiliki pola pikir dan pola sikap Islam yang menghasilkan manusia-manusia bertakwa dan takut melakukan kebohongan sekecil apa pun, dengan motif apa pun untuk mendapatkan cuan.
Allah Swt. telah berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 96, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Jadi, masihkah kita mempertahankan sistem yang telah membawa kerusakan? Atau berharap meraih keberkahan dengan diterapkannya sistem Islam? Wallahualam bissawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com