
Cancel culture bisa menjadi alat untuk menuntut keadilan sosial, tetapi tidak jarang jadi bentuk penghakiman yang tidak adil.
Oleh. Siska Juliana
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.Id-Sob, akhir-akhir ini istilah cancel culture sering muncul di media sosial. Hal ini berawal dari meninggalnya aktris Korea Kim Sae-ron yang diduga mengalami tekanan mental akibat cancel culture semasa hidupnya. Jadi, apa itu cancel culture?
Pengertian Cancel Culture
Cancel culture merupakan kondisi seseorang, biasanya figur publik yang melakukan kesalahan atau membuat pernyataan yang menyinggung, kemudian masyarakat di media sosial bereaksi keras dengan memboikot.
Konsep ini mulanya dikenal sebagai call out culture, pelaku kesalahan diberi kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri. Akan tetapi, dalam cancel culture seperti tidak ada ruang untuk klarifikasi.
Cancel culture ini adalah evolusi dari boikot yang telah lama dikenal dalam sejarah. Dikutip dari Pew Research Center, cancel culture mulai populer pada 2017 saat terungkapnya skandal pelecehan seksual Harvey Weinstein. Semenjak itu, figur publik yang terlibat skandal serupa diboikot massal oleh masyarakat.
Banyak alasan yang menyebabkan seseorang mengalami cancel culture, yaitu terlibat skandal, pernyataan kontroversial, karya yang tidak sesuai dengan norma dan budaya, hingga tindakan tertentu yang bisa menyakiti negara atau komunitas. (tempo.co, 20-02-2025)
Dampak Cancel Culture
Sob, ternyata dampak yang ditimbulkan dari fenomena ini tidak bisa dianggap enteng. Cancel culture bisa menjadi alat untuk menuntut keadilan sosial, tetapi tidak jarang jadi bentuk penghakiman yang tidak adil.
Orang yang dicancel bisa kehilangan pekerjaan, penolakan sosial, tekanan mental, bahkan dalam beberapa kasus menyebabkan depresi berat sampai berujung bunuh diri. Sementara dampak bagi masyarakat yaitu kesadaran terhadap isu sosial meningkat, tetapi di sisi lain bisa berujung pada terhambatnya kebebasan berbicara.
Kontroversi Cancel Culture
Meski tujuan cancel culture untuk meminta pertanggungjawaban seseorang atas tindakannya, tetapi sering kali dianggap sebagai cyberbullying atau persekusi digital. Menurut Psikolog Koentjoro dari Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa fenomena ini dapat berkembang menjadi tindakan main hakim sendiri di media sosial sehingga berpotensi merusak mental individu yang terkena dampaknya.
Seseorang yang mengalami cancel culture akan merasa dikucilkan dan tersingkir secara sosial, sampai merasa sangat kesepian. Dalam tinjauan kesehatan mental, kesepian kerap dikaitkan dengan tingkat kecemasan, depresi, dan mendorong tindakan percobaan bunuh diri.
Orang yang mengalami cancel culture merasa seolah-olah semua orang menyerangnya, bahkan sebelum meminta maaf. Alih-alih melakukan diskusi untuk menguak tindakan korban menyakiti orang lain, orang yang memboikot malah menutup komunikasi.
Melansir dari situs web Therapy Group DC, kekhawatiran terhadap cancel culture bisa memengaruhi munculnya ketakutan bahwa setiap kata akan dipermasalahkan. Kecemasan ini memicu orang memilih untuk diam. Akhirnya, rasa takut ini membebani mental dengan perasaan bersalah atau tidak berdaya karena tidak mampu membela diri.
Ulah Aturan Buatan Manusia
Mungkin sebagian orang menganggap bahwa urusan nasihat menasihati hanya dilakukan oleh mereka yang gabut dan kepo urusan orang lain. Itu salah besar, Sob. Sebaliknya, itu adalah bentuk kepedulian yang hakiki. Sikap individualis telah menutup celah masuknya nasihat dari sesama manusia.
Dengan dalih menghargai privasi, kita jadi berdiam diri atas dosa yang dilakukan orang lain. Amar makruf nahi mungkar dianggap melanggar kebebasan. Alhasil, maksiat pun tumbuh subur.
Di sisi lain, sebagian masyarakat terkadang reaktif terhadap peristiwa yang terjadi. Tanpa berpikir panjang, tanpa mengklarifikasi kebenarannya, langsung turut menghukum pelaku. Sikap semacam ini tentu merugikan berbagai pihak.
Peristiwa buruk yang sering terulang membuktikan bahwa sistem sekuler tidak bisa mewujudkan individu dan masyarakat yang bertakwa. Standar benar dan salah bukan berdasar pada halal dan haram, serta sanksi yang diterapkan tidak tegas.
Tanda Cinta
Dalam Islam, segala sesuatu punya timbangan yang jelas, yaitu hukum syariat. Hukum ini tidak mengikuti rasa suka dan tidak suka pada manusia, tetapi mengikuti ketetapan Allah. Jadi, yang menentukan baik dan buruk, terpuji dan tercela hanyalah Allah.
Allah telah menurunkan Al-Qur’an dan sumber hukum syariat lainnya, yakni Sunah, ijmak sahabat, dan kias. Oleh karenanya, manusia wajib mengikatkan dirinya pada aturan Sang Pencipta. Saat ada pelanggaran syariat, Allah memerintahkan manusia untuk saling menasihati. So, ketika mendapat nasihat, sikap terbaik adalah menerimanya dengan ikhlas.
Adab dalam Menasihati
Sob, Islam merupakan agama sekaligus ideologi (mabda) yang memiliki aturan sempurna. Dalam hal menasihati, Islam juga memiliki aturannya, yaitu:
Pertama, tabayyun (klarifikasi). Islam memerintahkan kita untuk memeriksa benar tidaknya suatu berita sebelum menyebarkannya atau mengambil tindakan. (lihat: QS. Al-Hujurat ayat 6)
Kedua, menasihati dengan lembut dan penuh hikmah. Islam mengajarkan bahwa nasihat dilakukan dengan niat untuk memperbaiki, bukan menjatuhkan atau mempermalukan.
Ketiga, menjaga kehormatan orang lain. Menyebarkan aib atau kesalahan orang lain adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam. (lihat: QS. Al-Hujurat ayat 12)
Keempat, memberi kesempatan untuk bertobat. Islam memberikan ruang bagi siapa saja yang berbuat salah untuk memperbaiki diri dan bertobat.
Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Kembali pada Hukum Islam
Islam telah memberikan aturan bagi seluruh aktivitas manusia berdasarkan hukum syarak. Seandainya seseorang melanggar hukum-hukum tersebut, maka ia terkategori telah berbuat cela (al-qabih) sehingga bisa dikatakan juga ia telah berbuat kejahatan (al-jarimah).
Jadi, dibutuhkan sanksi bagi tindakan kejahatan sehingga seseorang dapat menjalankan setiap perintah-Nya dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Syariat Islam telah menjelaskan bahwa setiap tindakan kejahatan akan dikenai sanksi di dunia dan akhirat. Akan tetapi, keputusan terhadap orang-orang yang berdosa urusannya dikembalikan pada Allah. Jika Dia menghendaki, maka akan menjatuhkan azab atau akan mengampuninya.
Mengenai sanksi di dunia, maka pelaksanaannya dilakukan oleh khalifah atau orang yang ditunjuk mewakilinya. Jadi, negara yang melakukannya. Islam memiliki sanksi yang berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir). Pencegah maksudnya mencegah orang lain melakukan tindak kejahatan yang serupa. Sedangkan penebus artinya sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksi di akhirat.
Khatimah
Rasulullah saw. pernah melakukan sanksi sosial kepada tiga sahabat yaitu Ka’b bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Ar-Rabi karena tidak ikut dalam perang Tabuk tanpa adanya uzur. Saat itu, Rasulullah melarang kaum muslim berbicara dengan mereka.
Sebagai muslim, kita perlu waspada agar tidak terjebak pada cancel culture yang merusak. Nasihat yang diberikan haruslah membangun dan memberi dampak positif. Jika terjadi pelanggaran hukum syarak, maka sanksi akan diterapkan dengan tegas. Dengan demikian, kepastian hukum hanya lahir dalam sistem Islam. Wallahu’alam bishawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
