Kebijakan Tarif AS, Bukti Lemahnya Kapitalisme

kebijakan tarif AS

Kebijakan tarif Trump ini sebetulnya bertentangan dengan prinsip kapitalisme yang diusung negara adidaya ini. Sebab dalam ekonomi kapitalis mengusung konsep pasar bebas dan tidak boleh ada intervensi dari negara mana pun.

Oleh. Nabilah Rohadatul Aisy, S.Ag
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru pada tanggal 2 April 2025. Kebijakan ini diberlakukan oleh Trump dalam rangka "timbal balik", karena menurutnya AS telah menjadi korban tarif dagang yang tidak adil. Kebijakan tersebut telah menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai negara yang selama ini menjadi mitra dagang AS. Di antara berbagai reaksi tersebut, ada yang memilih cabut dari AS, ada yang secara langsung menolak dan membalas kenaikan tarif impor seperti Cina. Ada pula yang memilih langkah negosiasi demi meminimalisasi dampak ekonomi bagi negara dan rakyatnya, seperti salah satunya adalah Indonesia. (Kompas.id, 14-4-2025)

Dalam perdagangan internasional, Amerika Serikat merupakan sebuah negara yang memiliki posisi strategis. Ia merupakan salah satu pasar terbesar dunia. Oleh karena itu, kebijakan tarif impor yang tinggi akan menghambat negara-negara pengekspor dalam memasarkan produk mereka. Kondisi ini akan mengganggu rantai pasok global lintas negara. Para pelaku usaha akan mengalami ketidakpastian karena sulit memprediksi arah kebijakan perdagangan global dalam jangka panjang. Dengan tarif tinggi, bisa jadi akan mengakibatkan turunnya permintaan sehingga memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai negara.

Imbas Kebijakan Trump

Saat ini posisi Indonesia merupakan salah satu negara yang menjalin hubungan dagang dengan AS. Kebijakan tarif impor pun juga dikenakan bagi Indonesia yaitu sekitar 32%. Kebijakan ini bisa jadi ancaman bagi keberlangsungan ekspor Indonesia ke AS. Tidak bisa dimungkiri bahwa Indonesia memiliki ketergantungan yang besar dalam hubungan perdagangan Internasional dengan pasar AS sebagai salah satu tujuan ekspor terbesar. Oleh karena itu, dengan diberlakukan tarif oleh AS ini dikhawatirkan Indonesia akan mengalami penurunan permintaan terhadap produknya. Sebelumnya, produk Indonesia dapat bersaing dengan harga yang lebih terjangkau, kini dengan diberlakukan tarif, harga produk Indonesia harus bersaing dengan produk dari negara lain yang dikenakan tarif tidak setinggi Indonesia sehingga mereka dapat dengan mudah mengambil alih pangsa pasar. Dari situlah Indonesia dikhawatirkan akan kembali mengalami gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kebijakan tarif ini dibuat oleh Donald Trump dalam rangka proteksionisme. Dalam sistem kapitalis, proteksionisme bukan hanya digunakan untuk kepentingan dalam negeri. Melainkan bisa juga sebagai alat geopolitik. Negara-negara maju menjadikan kenaikan tarif, hambatan nontarif, juga kebijakan subsidi untuk membatasi akses dari negara berkembang, tetapi tetap mengekspor produk mereka ke negara-negara tersebut. Sikap ini telah memperlihatkan egoistis dan hegemoni negara maju terhadap negara berkembang. Bukannya menjunjung keadilan, malah justru menambah ketimpangan dalam sistem perdagangan internasional sebab negara yang punya power bertindak sepihak sementara negara lemah menjadi korban.

Kelemahan Ekonomi Kapitalisme

Apabila kita cermati lebih dalam, kebijakan tarif Trump ini sebetulnya bertentangan dengan prinsip kapitalisme yang diusung negara adidaya ini. Sebab dalam ekonomi kapitalis mengusung konsep pasar bebas dan tidak boleh ada intervensi dari negara mana pun. Konsep pasar bebas ala kapitalis menggunakan mekanisme harga yang terbentuk di pasar. Proses ini berjalan dengan kekuatan tarik-menarik antara produsen dan konsumen yang kemudian harga tersebut diposisikan sebagai pengendali distribusi kekayaan di negara yang menerapkan sistem kapitalisme.

Baca: Rupiah Anjlok, Negara Bangkrut, Rakyat Terpuruk

Hal ini menegaskan lemahnya sistem ekonomi kapitalis. Dalam ekonomi kapitalis hari ini, para penguasa tampil untuk merealisasikan 'pesanan' para pemodal. Terlihat dari dominasi produsen (pengusaha) atas konsumen. Para pemilik modal memiliki kuasa dalam memberi hak kepada penguasa melakukan intervensi harga dalam kondisi tertentu dengan alasan melindungi ekonomi dalam negeri.

Ini tentu sangat berbeda dengan Islam. Proteksionisme dalam Islam memang diperbolehkan, tetapi tidak untuk mengeksploitasi negara lain seperti yang terlihat hari ini. Prinsip dalam Islam adalah keadilan ('adl) dan kemaslahatan (maslahah). Proteksi diperbolehkan dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi, menopang stabilitas politik, serta menjalankan tanggung jawab besar yaitu mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Keunggulan Sistem Ekonomi Islam

Berdasarkan sistem ekonomi Islam yang tercantum dalam kitab Nizhamu Al-Iqtishadiy fi Al Islam karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, tarif impor/bea cukai bukanlah sumber utama pendapatan negara sebagaimana posisi pajak dalam kapitalisme. Dalam Daulah Islam, pemasukan kas negara berupa zakat, ganimah, fai, kharaj, usyr, jizyah, khumus, rikaz, serta harta kepemilikan umum seperti sumber daya alam.

Dalam Islam, cukai (maks) ialah harta yang diperoleh dari komoditas yang melewati perbatasan negara Islam. Cukai tersebut diambil dalam rangka kebijakan politik demi melindungi kepentingan umat, bukan dalam rangka sekadar mengumpulkan harta. Hukum perdagangan luar negeri dalam Islam, melihat berdasarkan pelaku bisnisnya. Dapat dipetakan antara lain tiga kelompok. (1) Warga negara Islam, (2) orang kafir mu'ahid, (3) orang kafir harbi.

Warga negara Islam tidak boleh membawa komoditi yang dapat membantu dan memperkuat musuh melakukan perang seperti persenjataan ke Darul Kufr. Akan tetapi, jika barang yang dikeluarkan bukan untuk membantu kafir melawan muslim maka hukumnya mubah. Selain itu, barang yang tidak diperbolehkan juga ialah barang yang masih dibutuhkan di dalam negeri Islam serta jumlahnya terbatas. Hal tersebut berkaitan dengan perdagangan yang dilakukan dengan Darul Kufr yang secara de jure memerangi kaum muslim. Adapun yang secara de facto (seperti Israel) maka melakukan hubungan dagang dengannya hukumnya haram. Adapun berkenaan dengan impor, maka tidak ada satu nas pun yang menyatakan larangan seorang muslim mengimpor komoditi ke dalam negeri.

Khatimah

Satu hal penting yang harus kita ingat, basis yang digunakan Islam dalam menjalin hubungan perdagangan internasional adalah dakwah dan jihad. Di dalam negeri, Daulah Islam akan membuat strategi kemandirian ekonomi dan juga berupaya mendorong kemandirian bagi negara lain. Daulah Islam dengan segala potensinya seperti sumber daya alam yang berlimpah ruah sudah lebih dari cukup untuk menjadikan negara yang independen dan tidak memiliki ketergantungan dengan negara lain. Dengan konsep ekonomi Islam seperti ini maka tidak akan ada ruang bagi negara kafir menghegemoni kaum muslim. Sebab Daulah Islam tegak sebagai negara ideologis dan mandiri yang tidak memiliki ketergantungan dengan negara lain mana pun.
Allahu A'lam Bishowab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Nabilah Rohadatul Aisy, S.Ag Kontributor NarasiLiterasi.Id
Previous
Khilafah Berantas Tuntas Judol
Next
Hanya Khilafah yang Akan Membebaskan Palestina
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram