Ya, ketenangan itu tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Setelah aku menjalankan salah satu dari sekian banyak syari’at-Nya, dalam hal ini berhijab
Oleh. R. Bilhaq
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tomboi. Ya, inilah penilaian orang terhadapku dulu ketika ku masih duduk di bangku sekolah. Jangan bayangkan penampilanku saat itu layaknya seorang pria, meski dengan potongan rambut pendek dan nyentrik, Kenapa? Ya, karena alhamdulillah sedari kukecil, ibu biasa memakaikan kerudung dan menyekolahkanku di sekolah agama, tepatnya di Kabupaten Sidoarjo. Ya, Sidoarjo, kabupaten yang sebagian wilayahnya rata dengan lumpur panas akibat tragedi Lumpur Lapindo sekitar tujuh belas tahun yang lalu. Hmm.. menyedihkan, tapi, itulah takdir-Nya yang harus diterima dengan ikhlas. Kuberharap semoga Allah Swt. memberi kebaikan dunia dan akhirat bagi para penduduk yang ada di sana, aamiin.
Lanjut bercerita, setelah selesai mengenyam pendidikan dasar selama enam tahun, aku pun melanjutkan sekolah ke pesantren di Jawa Barat. Di sana pastinya para santri dituntut untuk menutup auratnya, termasuk diriku. Berani umbar aurat? Hmm ... siap-siap saja menerima sanksi yang sudah ditetapkan di sana. Sanksi terberat mungkin saja bisa langsung dikeluarkan. Lebih pahitnya lagi, risikonya ya akan dicatat sebagai pelaku maksiat oleh malaikat yang berwenang. Hmm ... jadi berlipat ganda deh ruginya kalau begitu.
Tidak hanya ‘tomboi’ saja yang dulu disematkan padaku. Ya, ketika ku berpindah sekolah ke MTs di kampung halaman sebagai murid baru kelas sembilan, entah bagaimana bisa beberapa teman sekelasku memberi julukan padaku dengan sebutan ‘gaul’. Heran terheran-heran? Pastinya. Hingga Saat itu batinku seolah berkata, “Kok bisa ya dibilang gaul? Padahal pake kerudung, lho.” Jadilah sejak hari pertama masuk sekolah, mereka benar-benar memanggilku dengan sebutan yang sedikit lucu itu bagiku.
Singkat cerita, hari kelulusan pun berlalu dan ijazah MTs pun akhirnya kuterima. Kelanjutannya bagaimana? Ya, selanjutnya aku pun meneruskan belajar di sekolah negeri yang bisa dibilang sekolah favorit hingga saat ini. Sedikit terkejut saat kutahu bahwa di sana pelajaran agama hanya ada satu kali pertemuan dalam sepekan. “Hah? Dikit banget?,” Seperti itu kurang lebih diriku membatin. Mengapa sebegitunya ku terkejut? Ya, karena sedari kecil, saat duduk di bangku sekolah dasar kelas satu hingga kelas sembilan, materi pelajaran agama seperti Nahwu-Shorof, Sejarah Kebudayaan Islam, Akidah-Akhlak, Quran-Hadis, Fikih, Bahasa Arab, PAI, dsb. itu sudah menjadi ‘makanan’ sehari-hari bagiku, dan itu sangatlah menyenangkan. Lantas bagaimana kelanjutannya saat itu? Apakah ku memilih keluar dari sana dan mencoba mendaftar kembali ke sekolah yang lain? Jawabnya tidak. Ya, meskipun hanya ada satu mata pelajaran agama di sana dan itu pun hanya satu pekan sekali, tapi setidaknya aku masih merasa bersyukur. Ya, bersyukur setidaknya itu bisa menjadi penyejuk jiwaku agar tidak kering sekering kanebo, eaa... hehe.
Bisa dibayangkan ya, apa jadinya jika materi agama dihapuskan dari sistem kurikulum pendidikan sekolah. Bagaimana ke depannya nasib para pelajar yang kebanyakan masih labil itu? Hmm ... jangan sampai deh itu terjadi. Kalau boleh kasih saran nih ya, sebagai IRT dengan dua bocil, ups ketauan deh, diperbanyaklah pembahasan materi agama di tiap sekolah dengan penyampaian yang komplet sekomplet-kompletnya. Jangan setengah-setengah. Jika menurutnya enak, disampaikan. Namun, yang menurutnya tidak enak, disembunyikan. Padahal ya, materi agama Islam itu semuanya enak, lho. Yang bilang tidak enak ya hanya hawa nafsu saja. Enak, tidak enak? Seperti sedang bahas seputar makanan saja ya, hehe. Jadi begini, maksudnya semua ilmu agama Islam itu baik, tiada yang buruk satu pun. Maka dari itu, ya harus disampaikan dengan jelas sejelas-jelasnya, gamblang segamblang-gamblangnya antara yang haq dan yang batil. Setuju? cakep!
Lanjut berkisah, dulu, ketika di awal-awal tahun pembelajaran baru tepatnya saat kelas sepuluh, para siswi di sekolahku biasa menutup auratnya dengan seragam panjang dan berkerudung. Namun, di akhir-akhir tahun pembelajaran, banyak dari mereka yang mulai berseragam sekolah pendek dan tak lagi berkerudung akibat pengaruh teman se-gank-nya. Gank? Ya, sebagian dari mereka dulu mempunyai kelompok gank-nya masing-masing. Tapi, tidak denganku. Jujur saja, aku lebih merasa nyaman dengan posisiku yang netral.
Dulu, saat hari pertama masuk sekolah, ada satu siswi di sana yang sempat membuatku kagum padanya. Karena apa? Karena parasnya cantik? Pamornya viral? Atau karena isi kantongnya tebal? Tidak, tidak, bukan karena itu semua. Dulu, aku sempat mengaguminya karena terkesima akan penampilannya yang sangat rapi dengan kerudung lebarnya. “Anggunnya!” Diriku membatin kurang lebih seperti itu. Namun, hari berganti hari, bulan pun berganti bulan. Ya, lambat laun, akibat salah pergaulan ia pun mulai menanggalkan kerudung lebarnya itu dan berhias dengan berbagai macam peralatan make-up-nya, sama seperti teman se-gank-nya yang lain.
Melihat perubahannya yang drastis seperti itu, tidak membuatku merasa lebih baik darinya, karena kutahu, sesungguhnya Allah Swt. yang lebih tahu keadaan setiap para hamba-Nya. Hanya saja, ku sangat menyayangkannya saat itu. Teringat olehku hadis Rasullullah saw. yang artinya “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini related bukan dengan apa yang terjadi padanya? Ya, Related!
Awal Mengenal Dakwah Islam Ideologis
Siang itu, tepatnya di musala yang bersebelahan dengan jembatan gantung yang panjang, aku dan ibuku untuk pertama kalinya bertemu dengan beberapa para muslimah pejuang Islam ideologis di sana . Saat itu, saking bahagia luar biasanya ibuku, beliau sampai menangis tersedu-sedu di hadapan semua muslimah yang hadir saat itu. Ya, beliau bersyukur karena telah Allah Swt. pertemukan dengan kelompok pejuang Islam yang selama ini dirindukannya bertahun-tahun. Sungguh menjadi momen pertemuan yang indah bagiku saat itu.
Beberapa hari sejak pertemuan itu, ibu mengajakku pergi ke masjid provinsi, di mana tengah diadakannya kajian Islam yang dihadiri ratusan para remaja muslimah yang berpakaian syar’i. Melihat mereka semua anggun menggunakan gamis (jilbab), kerudung (khimar) dan kaos kaki membuatku yang belum berhijab syar’i kala itu speechless dibuatnya. Apalagi saat harus duduk berdampingan dengan mereka. Batinku seolah berkata, “Ya Allah.. hey, kamu (penulis). Iya kamu, ke mana aja selama ini? Tuh lihat, mereka aja udah pada berhijab, lah kamu?” Ah ... sungguh menjadi tamparan keras bagiku kala itu.
Harapan Ibu Tercinta
Setelah ibu mengajakku ke dua momen itu, jujur saja aku masih belum mengetahui aturan menutup aurat dalam Islam yang sebenarnya. Memang, selama enam tahun lamanya aku banyak mempelajari ilmu agama Islam dan juga sudah berkerudung. Namun, anehnya aku sama sekali tidak mengetahui tentang cara berhijab syar’i, dengan kata lain, aku tidak pernah mengetahui dalil tentang menutup aurat yang terdapat pada QS. Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, sama sekali tidak mengetahuinya. Parah bukan? Padahal, saat itu usiaku hampir mendekati kepala dua, sungguh memilukan.
Ibu mana yang rela melihat anak perempuannya terus-menerus berada dalam kemaksiatan dengan tidak berhijab syar’i? Ya, sering kali ibu mengutarakan keinginannya padaku agar aku segera berhijab sesuai syariat-Nya dengan berupaya menjelaskan dalil-dalilnya padaku. Darinyalah aku baru mengetahui tentang kewajiban menutup aurat disertai tata caranya yang benar. Kala itu, apakah aku langsung berhijab? Jawabannya tidak. Ya, karena sempat terjadi pergolakan batin dalam diriku kala itu. Sedikit jiwa tomboi yang masih bersemayam dalam diriku dulu membuatku merasa sangat berat sekali untuk memenuhi keinginan ibu. Aku yang sering kali menolak, membuat ibu sempat berhenti menasihatiku untuk berhijab syar’i. Namun, kuyakin doanya tak pernah putus memohonkan hidayah Allah Swt. agar datang menyapaku.
Datangnya Masalah Bertubi-tubi
Mungkin, selama ini hidayah Allah Swt. sering kali datang menyapa kita. Hanya saja kita yang tidak peka, membuatnya menjadi begitu sulit untuk menyambutnya. Ya, seperti yang kualami ini. Pernah suatu masa, saat ku bekerja sebagai analyst program di suatu perusahaan, tiba-tiba satu-persatu masalah datang padaku secara bertubi-tubi selama rentan waktu kurang lebih sebulan. Ya, mulai dari flashdisk berisi data penting perusahaan hilang, ponsel dan juga kalau tidak salah STNK motor pun hilang, kemudian mendapat surat peringatan satu karena datang terlambat saat meeting, dimarahi pimpinan, dan motor yang dikendarai sering mogok di jalan tak seperti biasanya. Ada lagi? Ya, sebenarnya masih ada lagi, hanya saja ku tak ingat dengan yang sebagiannya lagi.Hapuntenpunten pisan sadayana, hehe.
Setelah berhasil melewati berbagai masalah itu, batinku berkata, “Kenapa ya ini? Kok, bisa ya datang banyak masalah berturut-turut selama sebulan ini, salahku apa ya?” Hingga akhirnya, aku pun menemukan jawabannya. Ya, saat itu hidayah Allah Swt. seolah berhasil menyelinap masuk ke dalam relung hatiku. Saat itu ku tersadar, kesalahanku saat itu ialah telah mengabaikan perintah ibu untuk menutup aurat dengan sempurna yang notabene itu adalah perintah Allah Swt.
Ingin Berhijab Syar’i
Setelah selesai dalam perenungan, aku pun memutuskan untuk segera menemui ibuku. Ya, kuhampiri beliau yang sedang duduk menjahit pakaian saat itu. Kurang lebih saat itu kukatakan padanya, “Bu, sekarang aku mau pakai gamis (jilbab),”. Suatu perkataan singkat padat yang saat itu mungkin membuatnya sangat merasa bahagia sebagai seorang ibu berstatus muslimah. Aku yang belum turun gaji saat itu merasa bingung dikarenakan tidak memiliki jilbab satu pun untuk dikenakan. Alhasil, ibu memberiku ide agar menyatukan baju atasan lengan panjang dengan rok yang kupunya saat itu. Ya, keduanya dijahit menjadi satu secara permanen. Alhamdulillah, saat itu jadilah beberapa jilbab yang tidak menerawang dan juga tidak ketat yang bisa kupakai untuk ke luar rumah. Tak lama setelah gajiku turun, aku pun ditemani ibu pergi ke toko untuk membeli beberapa meter kain yang akan dijadikan sebagai jilbab. Sepulang dari toko, ibu menyegerakan menjahit jilbabku tersebut dengan model pakaian wanita Turki di musim dingin yang sangat kusukai. Hasilnya? Alhamdulillah, keren!
Datangnya Berbagai Kemudahan
Sesaat setelah aku berhijab syar’i dengan sempurna, seketika itu juga, qodarullah ketenangan hidup mulai menyelimuti diriku. Ya, ketenangan itu tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Setelah aku menjalankan salah satu dari sekian banyak syari’at-Nya, dalam hal ini berhijab, berbagai kemudahan perlahan mulai mendatangiku. Seperti kemudahanku mendapat musrifah militan yang mampu membakar ghiroh dalam diriku, kemudahan mendapat izin dari pimpinan perusahaan untuk ngaji pekanan di hari kerja, kemudahan mendapat pekerjaan di pemerintah pusat dengan gaji besar sebagai seorang honorer, dan juga kemudahan menikah muda dengan pria yang berperangai baik. Alhamdulillah.
Demikianlah sepenggal kisah yang bisa kubagikan untuk saat ini. Berharap tulisan ini bisa menginspirasi kaum wanita di luar sana yang belum merasakan kenikmatan berhijab. Berharap besar juga, Allah Swt. mengistikamahkan kita semua untuk selalu menjaga aurat hingga ajal datang menjemput. Kuucapkan terima kasih banyak pada ibuku tercinta yang senantiasa mendukungku dalam upaya menjalankan syariat-Nya, semoga cita-cita besarnya ingin beribadah ke Baitullah segera diijabah, aamiin.
Sebelumnya, izin merekomendasikan buku yang super duper kece nih. Pastinya buku tersebut membahas tentang kewajiban menutup aurat bagi para wanita muslimah. Sebagian pembaca di sini kemungkinan besar sudah pernah membaca dan memiliki bukunya. Yup, langsung saja, tak lain tak bukan judul buku tersebut ialah “Yuk Berhijab!” karangan Ustaz Felix Y. Siauw yang sudah kita kenal pemikirannya ini. Buku ini sangat pas sekali diberikan pada rekan atau saudari yang sedang kita dakwahi. Namun, jika ingin mode free alias gratis, dipersilakan dengan senang hati untuk membagikan tulisan ini dengan cara klik tombol share yang ada di bawah tulisan ini. Betul ,ya, para Bu Adminah? hehe. Sekian, mohon maaf sekali jika ada salah kata. Untuk para wanita muslimah di luar sana, Yuk Berhijab![]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Semoga Allah berikan kemudahan dan kelancaran atas dakwah Islam.
aamiin.. syukron mbak..
Masyaallah, setiap orang punya kisahnya maaing-maaing saat awal berhijab, ya. Ada yang tanpa tantangan, tetapi ada yang penuh tantangan. Apa pun itu cerita kita, semoga kita semua istikamah.
aamiin...
Masya Allah tulisannya keren. Berjilbab awalnya memang tak mudah. Namun semua rintangan akan Allah beri jalan keluarnya jika kita mau tunduk pada aturan Allah.
pastinya Allah yang membolak balikan hati ya mbak..
Kisah yang bisa diambil pelajaran atau hikmah. Barakallah, semoga istikamah ❤️
amiin... semoga kita bisa istikamah..
Setiap orang pasti punya kisah hijrahnya masing-masing. Tugas kita setelah berhijrah adalah istikamah agar hidayah itu tidak lepas dari kita.
semoga kita semua bisa istikamah ...