Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. (TQS. Al-Insyirah 1-6)
Oleh. Wiwik Hayaali
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-“… Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan ….” QS. Al-Insyirah ayat 5-6.
Dua anak sedang duduk berhadapan di atas karpet permadani berwarna emas. Tiga kali anak yang berbalut mukena itu membenarkan hafalan sang adik yang masih ada kesalahan dalam tajwidnya. Aisa tampak tenang dengan senyum yang terus merekah. Berkali-kali, ucapan kekaguman pada Allah dia serukan karena Ubaidillah tergolong cepat dalam menghafal.
Halimah menatap kedua buah hatinya penuh cinta. Kadang dia tertawa geli karena Aisa mengingatkan Ubaidillah dengan cara mencubit pelan kedua pipi tembam adiknya sambil mengatakan, “Adik salehku, ayo, ulangi lagi! Dengungnya masih kurang, lho.”
Biasanya, kedua anak itu berebut setoran hafalan dengan Uminya. Namun, kali ini Halimah sengaja meminta Aisa mendampingi sang adik hafalan. Dia tahu betul anak pertamanya itu mampu mengajari adiknya dengan baik. Pembawaan Aisa yang tenang dan sabar ketika menjelaskan sesuatu, membuat Halimah yakin kalau anaknya bisa diandalkan meskipun usianya hanya terpaut dua tahun dari sang adik.
Sementara kedua anaknya memurajaah hafalan, Halimah membaca dan menghafal hadis dari buku yang dia pegang. Perempuan yang mengenakan gamis berwarna biru laut itu selalu memberikan contoh pada anaknya berupa tindakan nyata. Kalau dia mengajak anaknya untuk belajar, maka dia juga harus melakukan hal yang sama. Kalau dia meminta anaknya untuk bersegera salat setelah mendengar suara azan, dia pun harus memberi teladan bagi keduanya.
“… Fa inna ma’al usri yusra Inna ma’al ‘usri yusro ….”, seru Ubay penuh semangat.
Tubuh Halimah tiba-tiba bergetar. Ada sesuatu yang tak kasat mata mencengkeram jantungnya. Perempuan berjilbab lebar itu tahu betul makna ayat yang sekarang dimurajaah oleh anaknya. Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Sekuat tenaga dia berusaha membuat dirinya tetap tenang dengan melantunkan zikir sebanyak mungkin. Akan tetapi, ingatan Halimah terlempar jauh ke masa lalu saat dia hampir kehilangan Aisa yang masih bayi.
*********
Sembilan tahun yang lalu, Halimah sangat bahagia karena bayi yang dia tunggu selama sepuluh tahun berhasil lahir ke dunia dengan selamat. Penantiannya terbayar lunas saat mendengar suara bayi menangis dalam dekapan dokter yang membantu persalinannya. Hasyim sang suami pun tak kalah bahagia. Dia gendong bayi yang terbungkus selimut itu, lalu mengumandangkan azan tepat di telinga sang buah hati dengan suara bergetar.
Hari-hari Halimah dan Hasyim diselimuti kebahagiaan. Hingga dua minggu usia Aisa saat itu, dia mulai pilek dan batuk. Halimah mencoba untuk tetap tenang sembari terus memberikan ASI eksklusif dan menjemur anaknya di pagi hari. Namun, kondisi Aisa tak kunjung membaik, malah semakin memburuk. Bayi mungil itu kesulitan bernapas. Dadanya membentuk cekungan yang dalam ketika dia menghirup oksigen. Bayi Aisa terus menangis dan tidak mau menyusu. Hati Halimah bagai ditusuk ribuan sembilu mendengar anaknya menangis karena kesakitan. Halimah yang panik segera membawa bayinya ke rumah sakit.
Beberapa perawat keluar masuk ruangan tempat bayi Aisa dirawat. Alat bantu pernapasan dan infus langsung dipasang. Pemasangan nasogastric tube pun dilakukan dengan memasukkan selang melalui lubang hidung, melewati kerongkongan hingga masuk ke lambung karena bayi kesulitan menyusu.
Air mata Halimah tak berhenti mengalir. Dadanya sangat sakit menyaksikan bayi mungilnya terus meronta kesakitan. Meskipun begitu, bibirnya terus melantunkan zikir. Doa dalam hati dia panjatkan agar Aisa kuat dan diberi kesembuhan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter dan rontgen, bayi Aisa mengidap laringomalaysia berat, yaitu kelainan bawaan pada laring. Bayi mungil itu akan mengalami gagal tumbuh, berkurangnya berat badan dan pneumonia (infeksi paru-paru). Aisa juga mengalami pembengkakan usus yang menyebabkan perutnya kembung dan menolak ASI. Untuk sementara, asupan gizi yang masuk hanya mengandalkan cairan infus.
Siang dan malam bayi Aisa terus menangis, tidur hanya beberapa menit karena kelelahan, lalu bangun dan menangis lagi, begitu terus selama beberapa minggu. Halimah dan Hasyim terus membersamai anaknya. Keduanya sudah seperti mayat hidup saja. Pipi tirus, wajah pucat, dan cekungan hitam di bawah mata tampak nyata.
Selama tiga minggu di rumah sakit, Halimah tak pernah sekali pun keluar dari kamar rawat anaknya. Tepat di hari ke dua puluh dua, Halimah ingin keluar menghirup udara segar meski hanya sebentar. Langkah lebarnya tiba-tiba terhenti saat mendengar obrolan para perawat. Menurut mereka, bayi yang sakit seperti Aisa kemungkinan hidupnya hanya dua puluh persen. Banyak bayi dengan kasus yang sama tidak selamat karena fisik mereka yang memang masih lemah, tubuh menolak diberi nutrisi ditambah kesulitan bernapas. Hanya keajaiban Sang Maha Penyembuh yang bisa menyembuhkan sakit yang diderita Aisa.
Halimah berlari menuju lorong yang sepi, tubuhnya pun luruh ke lantai. Dia bagai tak bertulang. Perempuan itu meraung tanpa suara. Apakah ini pertanda akhir dari penantian dan perjuanganku, ya, Allah? Ataukah ini ujian darimu agar kami semakin dekat dengan-Mu? Egoiskah aku bila meminta dia tetap di sisiku? Atau melepaskannya agar tidak kesakitan lagi? Isakan Halimah akan membuat ngilu siapa saja yang mendengarnya.
Jiwa raganya yang lemah berusaha bangkit. Tertatih dia menyeret kakinya menuju musala rumah sakit. Setelah berwudu, beban di hatinya sedikit berkurang. Dia gelar sajadah, bermunajat pada Sang Pemilik Hidup. Dengan suara bergetar, Halimah meminta pada Allah, “Ya, Allah. Jika Engkau izinkan Aisa terus bersama kami, hamba mohon berikanlah kesembuhan untuknya. Tapi jika Engkau lebih menyayanginya, tolong jemput dia tanpa rasa sakit. Hamba ikhlas, hamba ikhlas.”
Halimah kembali ke ruang rawat anaknya dengan hati lapang. Wajahnya sedikit pun tak menunjukkan ekspresi sedih. Dia sangat tenang. Berbeda sekali dengan beberapa saat lalu sebelum keluar ruangan. Hasyim yang melihat perubahan sang istri sangat bersyukur, dia tahu bahwa istrinya sudah bisa menerima takdir yang Allah berikan.
Hari itu, Halimah bersama suami bertekad menyelesaikan bacaan Al-Qur’annya hingga juz tiga puluh. Kalau kemarin juz satu hingga sepuluh mereka baca selama dua puluh hari, kali ini dua puluh juz akan mereka selesaikan dalam satu hari. Saat Halimah menemani anaknya, Hasyim yang bertugas mengaji, begitu pula sebaliknya.
Esok harinya adalah jadwal dokter yang menangani Aisa melakukan visit. Dokter itu memberikan kabar yang mengejutkan karena hasil rontgen kedua menunjukkan usus Aisa sudah membaik dan kembali normal. Bayi mungil itu juga sudah boleh meminum ASI melalui selang. Mendengar berita baik tentang putrinya, pasangan suami istri itu langsung berpelukan dan melakukan sujud syukur. Aisa juga jauh lebih tenang dan bisa tidur lebih nyenyak dari sebelumnya.
Setelah hampir dua bulan dirawat di rumah sakit, bayi Aisa akhirnya sudah diperbolehkan pulang. Dokter juga merekomendasikan susu formula khusus untuk mencukupi kebutuhan gizinya. Aisa juga harus kontrol setiap bulan dan dipantau langsung oleh dokter spesialis serta dokter gizi dan tumbuh kembang anak.
Baca juga :https://narasipost.com/pilihan/06/2021/tandem-nursing/
Meskipun laringomalaysia belum sembuh, Aisa tumbuh menjadi bayi yang ceria dan ramah. Usia lima bulan, Aisa sudah bisa tengkurap dan usia enam bulan bisa membalikkan tubuhnya dari tengkurap menjadi terlentang. Perkembangan dan pertumbuhannya melesat cepat.
Pada usia dua tahun, Aisa dinyatakan sembuh dari sakitnya. Dia senang bermain dengan teman-temannya. Aisa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan memiliki emosi yang stabil. Dia tidak pernah tantrum ataupun memaksakan kehendak. Baik Halimah maupun Hasyim, tidak pernah mengalami kesulitan saat mengasuh dan mendidik Aisa pada periode emasnya.
*****
“Umi ….”
Lamunan Halimah buyar setelah pelukan erat dari kedua buah hati menghangatkan tubuhnya. Dia tersenyum lalu mencium kening Aisa dan Ubaidillah bergantian.
“Sudah selesai murajaahnya, Nak?” tanya Halimah.
“Sudah, Umi,” jawab keduanya kompak.
“Alhamdulillah, Umi bangga sama Kak Ai, Umi pun bangga dengan Bang Ubai. Terima kasih sudah jadi anak hebatnya Umi.”
“Eh, kok, Bang? Kami mau punya adik, ya, Mi?” tanya Aisa penuh semangat.
Sedang Halimah hanya tertawa mendengar pertanyaan anaknya. Dia sangat bersyukur karena Allah menitipkan dua malaikat kecil yang membuat hidupnya semakin berwarna. Ya, Allah Maha Benar, bersama kesulitan itu ada kemudahan karena Halimah merasakan sendiri cara Allah mencintainya.[]
Demak, 12 Oktober 2023[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Pernah merasakan, bagaimana anak sakit dan hrs diberi pengobatan yg intensif. Beneran menguras air mata,
Peluk jauh, Mbak
Peluk hangat buat Aisa. Ikut merasakan apa yang dirasakan Bunda Halimah.
Brokallah. Story yang menyentuh hati
Waafika Baraakallah Mbak, peluk jauh
MasyaAllah kekuatan doa Halimah mengetuk pintu langit akhirnya berbuah keajaiban. Memang sudah seharusnya manusia yakin 100% terhadap firman-Nya,bahwa setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan. Kisah yang menyentuh hati. Barakallah Mbak
Waafika Baraakallah, Mbak.
Masyaallah, ceritanya bikin haru. Bisa membayangkan bagaimana orang tua yang anaknya terbaring tak berdaya, pasti sedih banget.
Alhamdulillah, peluk jauh Mbak.