Anak Haram yang Malang

Anak dan ayah

Anak haram yang malang, jangan biarkan imanmu goyah apalagi patah. Berdamailah dengan takdir dan terimalah dengan ikhlas. Jadikan salat dan sabar sebagai penolongmu.

Oleh Mahyra Senja
(Kontributor NarasiLiterasi.id)

NarasiLiterasi.id-Anak haram yang malang, jangan biarkan imanmu goyah apalagi patah. Berdamailah dengan takdir dan terimalah dengan ikhlas. Deg. Kata-kata itu membuatku merenung. Bukan tanpa sebab, aku juga anak haram. Melihat tulisan dari cerpen yang kubaca di sebuah majalah, tiba-tiba embun di mataku langsung jatuh. Hatiku teriris bagai sembilu. Tak bisa dimungkiri kenyataan pahit ini menyesakkan dada. Aku adalah anak haram.

Setiap hari berteman dengan air mata. Di hari ulang tahun Ayahku, jiwa ini tenggelam dalam kegelisahan. Kado ucapan selamat ulang tahun untuknya masih terpajang di meja belajarku. Berkali-kali, kuhubungi ponsel Ayah, tetapi selalu sibuk. Beberapa bulan ini, Ayah jarang menemuiku, apalagi sekadar menjawab telpon. Padahal, setiap tahun kita selalu merayakan ulang tahun bersama. Namun, kenapa tiba-tiba sikapnya berubah.

Nyatanya, Ayah tidak lagi sehangat dulu. Jiwaku meronta ingin bertemu, aku ingin tahu bagaimana keadaan Ayah sekarang. Rindu yang menggebu memaksaku untuk nekad bertemu Ayah, meski hanya satu jam saja. Aku tidak peduli dengan ancaman istri Ayah yang melarangku bertemu denganmu. Tidak peduli saat Nenek menahanku pergi karena rasa khawatirnya. Tekadku kuat untuk bertemu. Meski hanyalah anak angkat, aku tak peduli. Saat ini yang terpenting adalah aku bisa menatap wajah yang kurindukan itu.

Bunda Dilla, apa kabar? Aku Cici, lihat Ayahku tidak?” tanyaku ramah. Seorang ibu yang memakai gamis rapih berwarna ungu tersenyum dan menyalamiku.

Alhamdulillah sehat. Nggak, Ci. Coba saya tanya dulu,” jawabnya sambil membuka ponsel.

Aku tadi menghubungi Ayah berkali-kali, tapi tidak diangkat,” jawabku sambil cemberut.

Mungkin dia sibuk. Kamu tunggu aja sini sama Dilla. Nanti kalau Ayahmu sudah pulang, pasti bisa ketemu.

Tiba-tiba aku mulai rapuh. Di saat itulah aku merasa telah mengalami masalah gangguan mental.

Allah Memberikan Pertolongan

Bunda Dilla sangat baik dan pengertian, dia menyuruhku masuk dan menunggu di ruang tamu. Di sana aku bertemu dengan teman kecilku -Dilla- aku senang bisa bersilaturahmi dengan keluarga dari ayahku. Mereka selalu ramah dan menerimaku dengan hangat. Saat sedang melamun, tiba-tiba aku teringat lagi dengan Ayah.

Hiks. Di siang bolong, air mataku tumpah deras bagai air hujan. “Lho, kenapa nangis ada masalah apa, Ci?” tanya Bunda Dilla limbung.

Rindu Ayah

“Nggak Bun. Cici Cuma kangen Ayah. Ini kado buat Ayah, dia ulang ulang tahun seminggu yang lalu. Aku ingin ketemu dan memberikan ini padanya, tapi Ayah sulit dihubungi. Pernah sekali menjawab, tapi bilang kalau masih sibuk dan belum bisa datang ke Depok jenguk Cici.”

“Emmh begitu, sabar, Ci. Nanti kalau ketemu, coba kamu tanyakan alasannya, nggak mungkin Ayah lupa sama kamu.” Jawab Bunda Dilla menghiburku.

“Aku merasa ada jurang antara aku dengan Ayah. Apakah ini karena istri Ayah yang cemburu padaku? Atau karena memang Ayah sudah tidak mau lagi menerimaku?”

“Hust! Jangan bilang begitu, Ci. Mungkin Ayahmu sedang sibuk kerja. Memangnya dari mana kamu tahu kalau Ibu tirimu cemburu?” tanya Bunda Dilla heran.

Dia pernah ngirim pesan singkat ke aku yang isinya melarang aku untuk ketemu sama Ayah. Katanya aku bukan anak Ayah, jadi aku nggak boleh ketemu karena Ayah sudah punya istri dan anak. Aku juga tidak boleh memeluk Ayah seperti dulu.” Ucapku sedih.

“Ya ampun, seharusnya dia tidak berkata seperti itu, bukan kamu yang salah. Keadaan yang memisahkan kalian dan kamu harus berusaha untuk sabar, Ci.” Bunda Dilla memberiku semangat.

Kenyataan Pahit

“Aku memang bukan anak kandung Ayah, tapi aku juga baru tahu tabir rahasia ini pada bulan Ramadan yang lalu. Bunda, kan tahu, selama ini Ayah merawatku sampai Ibu wafat, lalu aku diasuh oleh Nenek. Lalu Ayah menikah lagi. Sebenarnya aku terpaksa menyetujuinya karena aku sayang sama Ayah. Tapi kenapa sekarang, aku merasa seperti terbuang. Apa salahku, Bun?”

Kamu nggak salah, Ci hanya saja ini semua adalah takdir Tuhan.” Air mataku mengalir deras. Jiwaku patah karena rindu yang tak bisa kutahan lagi. Bunda Dilla memelukku lalu membalut jiwaku yang terkoyak. Aku merasakan tulusnya kasih sayang seorang ibu yang membuatku teringat akan ibuku yang telah wafat.

“Cup, cup, cup. Sudah tenangkan dulu dirimu, Ci. Menangislah bila itu membuatmu tenang. Setelah itu cerita lagi. Oh, iya Bunda punya es krim, nih. Kamu mau tidak?” Aku mengangguk.

Setelah puas menangis, aku, Bunda dan Dilla makan es krim bersama. Kemudian, kami juga menikmati makan siang dengan lahap. Saat pikiranku rileks, bebanku sedikit berkurang, aku tak lagi mellow seperti tadi.

Waktu sudah menjelang maghrib, tapi Ayah belum juga pulang. Rumah Ayahku dan Dilla berdekatan, sehingga kalau Ayah pulang, motornya pasti sudah terparkir di sana, tapi sampai detik ini, aku belum melihatnya.

Badai Gelisah Anak Haram

“Udah, Ci jangan resah begitu, nanti juga Ayahmu pulang,” ucap Dilla.

Tapi, ini sudah mau maghrib. Nenek nelpon terus, dia menyuruhku pulang. Mana aku kehabisan ongkos.” Aku mulai panik.

“Tenang, saja nanti kamu diantar sama Bundaku.”

“Alhamdulillah, terima kasih Dilla. Maaf, kalau aku merepotkan kamu,” jawabku malu.

“Tidak apa -apa, kita, kan sudah bersahabat sejak kecil, pastilah aku membantumu, jadi kamu jangan merasa sedih dan jangan sungkan bila memerlukan bantuan.” Ucap Dilla ramah.

Aku terbaring di atas kasur sambil menulis. Batinku mulai gamang, rasa khawatir menggelayuti diri ini. Aku anak Ayah, tapi kenapa takut tidak mendapat pengakuan dari Ayah. Tak peduli dengan kenyataan saat ini, kalau aku bukan anak ayah dan dilahirkan sebagai anak haram. Hanya kasih sayang seorang Ayah yang kuinginkan seperti anak lainnya.

Aku tidak mau mengakui Ayah kandungku. Toh, setelah tahu siapa Ayahku sebenarnya, tidak mengubah rasa sayangku pada Ayah angkatku. Bagiku dia tetap Ayahku. Namun, aku kecewa karena sampai detik ini Ayah kandungku sendiri malah membuangku. Dia tidak mau membiayai hidupku dan Nenek.

Kekecewaan Bertubi-tubi

Mengapa harus dia? Orang yang selama ini kubenci karena perbuatannya, aku memang menerima takdir ini. Namun, kenapa dia malah tidak bertanggungjawab? Saat aku lahir prematur di Rumah sakit, kenapa dia malah mau membuangku ke tempat sampah? Kenapa Ibu angkatku dan Ibu kandungku meninggal karena kanker di saat aku masih membutuhkan kasih sayang mereka?

Kenapa semua itu terjadi? Aku ingin marah dan melampiaskan semuanya, tapi itu hanya membuatku makin patah. Pertanyaan demi pertanyaan membuatku semakin stres. Sampai detik ini pun aku masih berjuang untuk berdamai dengan keadaan. Butuh waktu bagiku untuk menerima kenyataan, kalau aku ini adalah anak haram bukan anak kandung Ayah.

Kenapa nangis lagi, Ci? Kamu nulis apa?” tanya Bunda Dilla dengan tatapan sedih. “Aku lagi bikin coret-coretan di buku Diary, Bun,” jawabku sambil terisak. “Ya, Allah. Apa yang kamu rasakan sekarang? Coba ceritakan ke Bunda,”

 "Aku cuma kepikiran sama Ayah dan Ibu kandungku. Sekarang, aku baru mengerti kenapa mereka nggak menginginkan aku lahir. Itu pasti karena saat ibuku hamil di luar nikah, dia dalam kondisi bingung, bagaimana meresmikan hubungan karena pihak keluarga nggak merestui mereka. Masalahnya beda agama, coba kalau waktu itu aku nggak ditolong sama Ayah angkatku, pasti aku nggak akan ada di dunia ini.”

Aku Ingin Berdamai dengan Masa Lalu

“Bunda harap kamu mau berdamai dengan masa lalu, Ci. Kamu sekarang sudah remaja sebentar lagi lulus SMA. Pasti kamu punya rencana hidup di masa depan, kan? Kamu fokus saja untuk mencapai impian, jangan tengok masa lalu. Lupakan semua masa lalu, Ci,” ujar Bunda Dilla dengan tatapan hangatnya.

“Iya, Bun. Sekarang aku cuma mau fokus masa depan, aku mau cari uang untuk bantu Nenek. Kasihan Nenek, sekarang sudah sakit-sakitan. Dia merawatku sejak Ibu meninggal sampai sekarang.”

Bagaimana dengan kabar Ayah kandungmu, Ci?“ tanya Bunda Dilla.

"Dia nggak mau ketemu aku, apalagi membantu masalah ekonomi keluarga kami, Bun. Dia pengangguran dan sekarang dia kayak nggak kenal sama aku. Aku juga nggak mau kenal sama dia.” Air mataku jatuh lagi.

“Ya Allah semoga kamu diberikan kesabaran, Ci.”

“Sebenarnya aku mau tinggal sama Ayah, tapi istri Ayah nggak mau nerima aku dan aku benci sama dia.” Aku meremas kedua ujung kerudung dengan tatapan kosong.

“Buang rasa benci, tenang aja semua yang terjadi pasti ada hikmahnya. Ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang takdir manusia begini bunyinya:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ

Artinya: "Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS Al-Hadid: 22). 

“Insya Allah, Cici mau belajar nerima semua kenyataan ini, doakan aku ya, Bun supaya aku bisa lulus dari ujian hidup ini.” Aku menarik napas pelan.

“Pasti bunda doakan. Sekarang kamu harus tegar menghadapi semuanya, pasti nanti kamu akan kamu temukan jalan keluar. Maafkan semua orang yang membuatmu terluka dengan begitu hidupmu akan bahagia.”

“Pasti Bun.” Jawabku sambil tersenyum.

Secercah Bahagia

Tiba-tiba terdengar suara motor yang tak asing di telingaku. Motor itu berhenti tepat di depan rumah Ayah. Aku langsung melonjak kegirangan dan bergegas keluar. Benar saja, Ayahku sudah pulang. Dengan hati riang, aku mengetuk rumahnya.

Assalamualaikum Ayah, ini Cici. Ayah apa kabar?” sapaku lembut.

“Waalaikum salam, Ayah sehat, Ci. Sini masuk, Ayah mau kasih kue kesukaanmu.” Ayah memberikan sebuah pancake lezat.

“Wah, Cici suka. Terima kasih, Yah.” Aku langsung melahap kue itu dan kami bercerita panjang lebar. Hatiku gembira bisa bercengkarama dengannya.

Selama satu jam mengobrol dengan Ayah, hatiku merasa plong. Seperti ada perasaan lega. Namun, aku harus bergegas pulang karena malam makin larut. Nenek pasti sudah menunggu dan dia pasti khawatir. Aku berpamitan pada Ayah dan kembali ke rumah Bunda Dilla. Benar saja, ternyata dia sedang menungguku dan siap mengantarku pulang. Kami mengendarai motor selama tiga puluh menit dan tiba dengan selamat sampai di rumah nenek.

Aku berterimakasih pada Bunda Dilla karena sudah berbaik hati mengantarku sampai di rumah. “Hati-hati di jalan, Bun.”

Bunda Dilla melambaikan tangan. “Sampai ketemu lagi, Ci. Nanti jangan sungkan mampir ke rumah kami, ya.”

Aku mengangguk dan membalasnya dengan senyuman. Hatiku sudah tidak lagi gelisah. Pikiran buruk tentang Ayah, kini sudah lenyap. Aku berjanji dalam hati akan selalu mendoakan agar Ayah bahagia. Meskipun, kami jauh di mata, tapi dekat di hati. Kini aku telah ikhlas dengan takdir hidup ini.

Baca juga Takdir-Mu terbaik untukku.

Butir Hikmah

Adapun butir hikmah dari cerita ini, sebagai manusia kita harus bersabar dan apapun yang terjadi takdir Allah yang terbaik. Kita juga harus saling menolong antar sesama. Menurut Buya Yahya yang dikutip dari laman Serambinews.com dalam Islam tidak ada istilah anak haram. Adapun istilah ini dimaknai sebagai perbuatan yang dilakukan oleh ibunya. Sementara anak hasil zina terlahir tanpa dosa, hanya saja yang berdosa adalah ibunya karena telah berbuat zina. Sedangkan anak itu bersih dari dosa dan jika dewasa kelak, dia benar pendidikannya dalam Islam, maka akan menjadi kekasih Allah Swt. Wallahualam bisawab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Mahyra Senja Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Kabinet Gemuk Prabowo-Gibran, Efektifkah?
Next
Gentle Parenting, Solusi Kecerdasan Anak?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram