Pendidikan yang diklaim gratis ternyata tidak sepenuhnya benar, masih banyak biaya yang harus dibayar oleh orang tua siswa pada sekolah.
Oleh. Neni Nurlaelasari
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi merupakan impian setiap siswa. Sayangnya, tidak sedikit siswa yang terpaksa putus sekolah lantaran orang tua tidak mampu membayar mahalnya biaya sekolah. Salah satu cara mengatasi permasalahan putus sekolah, khususnya di Jawa Timur, adalah program sekolah gratis. Program ini dijanjikan oleh Calon Gubernur Jawa Timur Tri Rismaharini untuk tingkat SMA/SMK. Program ini sudah dilakukan Tri Rismaharini ketika menjabat Wali Kota Surabaya (Detik.com, 20-09-2024).
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Pendidikan (Kadindik) Jawa Timur Aries Agung Paewai menyatakan bahwa SMA/SMK negeri di seluruh Jawa Timur tidak dipungut biaya SPP alias gratis. Program ini sudah berjalan lama sebab ada dana BOS dari pemerintah pusat serta tambahan BOPP. Program SMA/SMK negeri gratis ini masih dilanjutkan oleh Pj Gubernur Adhy Karyono (Detik.com, 20-09-2024). Upaya Pemda Jawa Timur yang menggratiskan SPP selama ini patut diapresiasi. Namun, biaya pendidikan tentu tidak hanya terkait SPP. Masih banyak keperluan sekolah yang tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Kapitalisme Setengah Hati
Jika kita cermati, sekolah yang diklaim gratis ternyata tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, masih terdapat biaya yang harus dibayar oleh orang tua siswa, seperti biaya seragam, study tour, LKS, dan lainnya. Berbagai biaya di atas tentu masih memberatkan para orang tua siswa. Sulitnya merealisasikan pendidikan gratis ini disebabkan beberapa faktor seperti minimnya anggaran, budaya korupsi yang mengakar di kalangan pejabat, hingga cara pandang sistem kapitalisme.
Minimnya anggaran mengakibatkan program sekolah gratis belum bisa terwujud sepenuhnya. Keterbatasan anggaran akan menghambat berbagai program. Mirisnya, ada wacana untuk mengalihkan anggaran pendidikan yang biasanya diambil dari APBN, ke depan akan diambil dari pendapatan negara di luar APBN. Anggaran pendidikan yang tidak stabil akan mengganggu program yang seharusnya dijalankan. Ini terjadi akibat sumber daya alam yang ada dikuasai swasta maupun asing. Alhasil, negara tidak memiliki dana yang cukup untuk sektor pendidikan.
Di sisi lain, budaya korupsi yang seolah mengakar menjadi potret buruk bagi dunia pendidikan saat ini. Oknum-oknum serakah tega memangkas dana pendidikan untuk kepentingan pribadinya. Seperti kasus korupsi dana BOS yang terjadi di Bengkulu. Dua pelaku korupsi dana BOS 2020-2021 yang merugikan negara sebesar Rp1,2 miliar merupakan mantan Kepala Sekolah dan Bendahara SMPN 17 Kota Bengkulu (CNNIndonesia.com, 13-09-2024). Ini terjadi akibat tidak amanahnya para pejabat yang seharusnya melayani rakyat. Perilaku pejabat yang tidak amanah ini disebabkan penerapan sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Individu yang diamanahi mengurus rakyat menjadi mudah tergiur materi akibat lemahnya iman.
Sementara itu, minimnya peran negara sangat memengaruhi proses pendidikan. Ini terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tujuan utama. Dalam pandangan kapitalisme, pendidikan dipandang sebagai bisnis yang mampu menghasilkan materi sehingga negara hanya berperan sebagai fasilitator atau penyedia. Tidak heran jika anggaran pendidikan dianggap sebagai beban sehingga harus diminimalkan sebisa mungkin, termasuk wacana pengalihan dana anggaran yang berasal dari APBN, ke depan akan diambil dari pendapatan negara di luar APBN. Selain itu, berbagai biaya seperti pembelian seragam sekolah, LKS, dan study tour merupakan bukti setengah hatinya sistem kapitalisme melayani pendidikan untuk rakyat.
Sistem Islam Menjamin Pendidikan Rakyat
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang setengah hati, negara dalam sistem Islam sangat memperhatikan sektor pendidikan. Dalam Islam, pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu. Negara wajib menyediakan pendidikan yang berkualitas, gratis, dan merata untuk seluruh rakyat. Melalui pendidikan, negara mampu mencetak generasi penerus yang beriman, berkepribadian Islam, dan memiliki keilmuan yang mumpuni. Generasi ini kelak akan mampu membangun peradaban Islam menjadi kuat. Dengan demikian, anggaran pendidikan menjadi prioritas utama negara dalam sistem Islam.
Berbagai sarana dan fasilitas pendidikan dibangun secara merata agar setiap warga negara bisa merasakan pendidikan yang berkualitas. Negara dalam sistem Islam tidak akan mengalami kesulitan dalam hal anggaran sebab sumber daya alam dalam sistem Islam haram dikuasai oleh swasta maupun asing. Negara wajib mengelola sumber daya alam, kemudian hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, salah satunya berupa sekolah gratis. Selain dari hasil pengelolaan SDA, masih banyak sumber pemasukan negara dalam sistem Islam, seperti jizyah, ganimah, fai, zakat, dan sebagainya. Peran negara merupakan bentuk tanggung jawab dalam melayani rakyat. Ini sebagaimana hadis Rasulullah saw.,
"Imam/khalifah itu laksana penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, sudah semestinya kita meninggalkan sistem kapitalisme yang terbukti setengah hati dalam melayani rakyat. Kemudian beralih menerapkan sistem Islam secara menyeluruh (kaffah) agar sekolah gratis benar-benar mampu diwujudkan. Wallahualam bissawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Barakallah mbak tulisannya sdh tayang, coba kalau semua serba terjangkau ya, pasti banyak generasi kita cinta tholabul ilmi
[…] Baca juga: Pendidikan Gratis hingga SMA/SMK, Mungkinkah? […]