
Namun, sekarang justru dua gadis ini dengan percaya diri datang mengunjungiku sambil mengungkapkan perasaan dan keinginannya tanpa sungkan meletakkan rasa malu.
Oleh. Mahganipatra
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Zaman sudah berubah, melihat cara dan keberanian perempuan zaman sekarang sungguh di luar nalar dan sulit dibayangkan. Perasaan, dulu sewaktu usiaku masih remaja, sopan santun dalam pergaulan dengan lawan jenis harus diperhatikan.
Namun hari ini, apakah kasus yang sedang aku hadapi ini menggambarkan kondisi perempuan saat ini? Atau hanya menimpa sebagian perempuan saja yang memiliki keberanian yang entah mereka sebut apa?
Pagi itu, sekitar pukul 09.00 WIB, pintu rumah ada yang mengetuk. Lamat-lamat terdengar ada yang mengucapkan salam. Secepat yang aku bisa, segera membuka pintu. Terlihat dua orang gadis berdiri di depan pintu. Wajahnya terlihat asing, dengan ragu-ragu aku bertanya siapa mereka dan ada keperluan apa datang ke rumahku.
Mencintai, Fitrah Manusia
"Saya Ria, Tante. Ini teman saya namanya Amel. Saya teman Ega, putra Tante," jawab salah satu gadis itu dengan wajah sedikit tersipu malu, saat memperkenalkan dirinya. Kedua gadis itu masih tampak belia tetapi gurat-gurat make up tampak nyata menghias wajah keduanya.
"Maaf sebelumnya, tadi Nak Amel bilang temannya Ega, putra Tante. Kalau tidak keberatan Tante ingin tahu, kalian teman sekolah atau teman kerja ya?" tanyaku mengawali pembicaraan setelah mereka aku persilakan duduk dan menghidangkan air minum serta sedikit camilan.
Ega, anak sulungku usianya menginjak 25 tahun dan sekarang sudah bekerja. Posisinya memang bukan eksekutif muda seperti gambaran opa-opa Korea. Namun, jika ditilik dari rupa, Ega punya nilai lebih. Wajahnya manis dengan warna kulit kuning langsat. Temanku bilang, Ega tipikal cowok karismatik, pendiam, tetapi bisa membuat kaum hawa penasaran. Demikian penilaiannya saat aku ceritakan masalah Ega yang merasa kesal karena ada gadis di sekolahnya yang terlalu agresif menyatakan perasaannya. Waktu itu Ega masih SMA.
"Kami dulu teman sekolah Tante, sekarang saya dan Ria sudah sama-sama kerja, Tante enggak keberatan kalau kami sering main ke sini, 'kan?" tanya gadis itu.
Terus terang, pertanyaannya membuatku agak kaget. Bukan apa-apa, aku memang melarang teman-teman lawan jenis anak-anakku main ke rumah. Sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis, anak-anakku yang sudah balig aku larang mereka untuk bergaul secara campur baur dengan lawan jenis (ikhtilat) tanpa kepentingan yang memang dibolehkan oleh syarak. Dalam syariat Islam, kehidupan laki-laki dan perempuan memang diatur terpisah secara mutlak. Baik dalam kehidupan umum maupun kehidupan khusus.
Mereka hanya boleh bergaul/berinteraksi dalam hal-hal yang telah jelas dibolehkan oleh syarak, misalnya ketika melakukan jual beli, melakukan salat berjemaah di masjid, melakukan pengobatan ke dokter, aktivitas menuntut ilmu, dan sejumlah aktivitas lain yang telah ditetapkan kebolehannya oleh hukum syarak.
Pupusnya Rasa Malu
Jadi, cukup mengagetkan sebenarnya, saat tiba-tiba datang dua orang anak gadis yang berkunjung tanpa ada informasi dari putraku lebih dulu akan ada kunjungan dari temannya. Untuk menetralisasi keterkejutanku, aku menjawab sambil berusaha untuk tersenyum ringan.
"Sebenarnya tidak masalah sih, cuma kalau boleh Tante tahu, mainnya dalam rangka apa dulu nih? Biar Tante enggak salah paham. Soalnya Ega juga enggak bilang kalau hari ini kalian mau main ke sini. Terus terang Tante agak terkejut," jawabku berusaha sesantai mungkin.
"Iya Tante, kami emang enggak bilang ke Ega kalau mau main ke sini. Soalnya Ega sering melarang kami kalau bilang ingin main ke rumah Tante. Maaf Tante, sebenarnya teman saya, Ria, sudah lama naksir Ega," sahut Amel makin akrab. Dia tersenyum sambil melirik ke arah Ria, temannya dengan ceria.
Aku pun melirik ke arah Ria yang mulai salah tingkah. Kutatap wajah gadis itu yang mulai tampak merona merah, senyumnya terlihat mulai gugup. Tanpa sadar kuperhatikan lebih detail sosok gadis di hadapanku.
Baca: malikku-tersayang/
Wajahnya tampak manis, sedikit pesolek. Batinku mulai menilai kepribadiannya sebab guratan make up terlihat jelas walaupun dengan garis-garis yang natural. Aku tersenyum mencoba ramah dan gadis itu kemudian kembali membetulkan posisi duduknya sebelum berkata. Suaranya mulai terdengar bergetar, mungkin gugup, batinku.
"Iya Tante, nama saya Ria. Saya suka dengan anak Tante, sudah lama sejak masih SMA. Pernah bilang juga ke Ega dan setelah lulus sekolah, kami juga hanya berhubungan lewat chatting WA sesekali karena Ega sulit dihubungi, Tan. Jadi, saya memberanikan diri datang ke sini untuk berkenalan dengan Tante. Kalau enggak keberatan saya ingin mengenal Tante supaya bisa lebih dekat dengan Ega, Tan," katanya menjelaskan.
Zaman Berubah
Aku sebenarnya sedikit syok mendengar kata-kata gadis di hadapanku. Betapa tidak, ternyata zaman sedemikian rupa berubahnya. Jadi terbayang ketika hidup di zamanku dulu. Merasa malu kalau ingin bertemu dengan lawan jenis yang kita suka, apatah lagi mengungkapkan perasaan suka kepada dia yang kita cintai, rasanya tidak mungkin.
Yang ada, kita hanya memperhatikan dari jauh, jantung berdebar saat berpapasan tanpa sengaja. Mana berani mendekat dan menyatakan cinta. Namun, sekarang justru dua gadis ini dengan percaya diri datang mengunjungiku sambil mengungkapkan perasaan dan keinginannya tanpa sungkan meletakkan rasa malu.
"Masyaallah, astagfirullah," batinku perlahan.
"Ega sudah tahu perasaan Ria? Atau Ega pernah menyatakan perasaannya ke Ria?" tanyaku hati-hati.
"Saya pernah bilang ke Ega, Tan, tetapi Ega bilang enggak mau pacaran. Ega juga bilang kalau gadis yang dia suka harus juga disukai oleh mamanya. Jadi, saya sengaja ke sini supaya kenal sama Tante dan …," senyumnya terlihat mengembang malu-malu.
Mau tidak mau, aku akhirnya tersenyum kecil mendengar jawabannya. Jadi, gadis ini datang untuk mendekatiku karena mendengar syarat yang diajukan Ega putraku.
Rasa Malu Bagian dari Iman
Akh, ternyata dunia sudah sedemikian rupa berubahnya. Zaman now, telah menggiring para perempuan seperti melupakan fitrahnya. Banyak perempuan yang bersolek dan berlenggak-lenggok mencari perhatian lawan jenis. Terkadang ditambah pula dengan sikap agresifnya yang meminta diperhatikan, bahkan tanpa sungkan menyatakan perasaan mereka terhadap lawan jenis yang mereka sukai.
Padahal perempuan tetaplah perempuan yang seharusnya tetap sebagaimana fitrahnya pemalu dan menjaga malu karena malu adalah sebagian dari iman.
Rasulullah saw. pernah menuturkan bahwa, "Iman mempunyai enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan 'la ilaha illallah,' dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu merupakan salah satu cabang Iman." (HR. Imam Al-Bukhari No. 9)
Demikian pula dalam hadis yang lainnya, Rasulullah saw. pernah menyatakan bahwa sesungguhnya rasa malu dan iman itu sangat berkaitan erat. Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Hakim, "Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna."
Bahkan Rasulullah saw. di dalam hadis yang lain telah menjamin siapa pun yang memiliki sifat malu, mereka akan terhindar dari maksiat. Hal ini Rasulullah saw. sampaikan dengan jalur periwayatan Ibnu Umar r.a., yang menyatakan, "Ada salah seorang sahabat r.a. yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya: "Sungguh, malu telah merugikanmu."
Kemudian Rasulullah bersabda: "Biarkan dia, karena malu termasuk iman." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban)
Dengan merujuk pada hadis-hadis tersebut, aku senantiasa menanamankan rasa malu kepada putra dan putriku ketika mendidik mereka. Sebenarnya ini pula yang melatarbelakangiku mengapa aku wanti-wanti pada Ega dan Nisa putriku agar mereka menjaga malu, terutama saat berinteraksi dengan lawan jenis. Dengan harapan, saat rasa malunya terjaga, maka imannya juga turut terjaga.
Kriteria Pilihan Ibu
Dengan memiliki rasa malu, berarti akan selalu menjaga muruahnya di hadapan perempuan maupun laki-laki asing. Tentu saja selain itu, dia juga harus membatasi interaksinya dengan lawan jenis. Tidak bebas bergaul apalagi menyatakan perasaan sukanya kepada sembarangan laki-laki atau perempuan yang disukainya.
Sebenarnya, aku berusaha untuk menghargai mereka yang berani menyampaikan perasaannya. Keinginannya untuk mengenal dan ingin dekat dengan orang yang disukainya adalah salah satu penampakan fitrah manusia. Memang benar, seorang muslimah dalam aturan Islam, dia bisa menawarkan dirinya kepada seorang pria. Dia juga boleh meminta tolong untuk menyampaikan hasrat hatinya kepada seseorang yang dipercaya dan bisa mewakili dirinya.
Hal ini pun pernah terjadi di masa Rasulullah saw. ketika seorang wanita menawarkan dirinya kepada Rasulullah dan dengan santun Rasulullah saw. menolaknya. Lalu beliau saw. menawarkan perempuan tersebut kepada para sahabat, siapa yang tertarik dan bersedia menikahi wanita itu. Hingga salah seorang dari sahabat Rasulullah saw. mengajukan diri untuk menikahi wanita tersebut. Itu berarti bahwa sesungguhnya wanita boleh menawarkan diri ketika tertarik pada seorang laki-laki.
Akan tetapi, untuk diriku secara pribadi memiliki kriteria dalam memilihkan pasangan untuk anak-anakku, terutama Ega yang memasuki usia cukup untuk menikah. Menurutku, perempuan adalah calon ibu generasi yang akan melahirkan cikal bakal generasi selanjutnya dan penerus nasab keluarga.
Bisa dibayangkan seandainya sifat "tidak bisa menjaga malu" ini diturunkan kepada putra dan putrinya, akan seperti apa generasi yang akan datang? []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

[…] Baca: rasa-malu-fitrah-untuk-menjaga-iman/ […]
Ya Allah... Ini true story kah Mbak?? Ampun yaa, budaya liberal zaman now bikin rasa malu udh sulit didapat