
Begitulah nasib rakyat di negeri tercinta. Harus berjuang untuk mendapatkan haknya, yakni pelayanan kesehatan. Ibu-ibu yang ikut antre di samping saya pun cerita.
Oleh. Ratty S Leman
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Cerita tentang pengalaman tidak menyenangkan yang dirasakan rakyat kecil saat sedang berikhtiar berobat ke pelayanan kesehatan tentu sudah banyak kita dengar. Saya pun mengalaminya berkali-kali saat diri sendiri, suami, anak-anak, orang tua, saudara atau tetangga sakit.
Ada banyak cerita tentang adu argumen antara suami dan pihak rumah sakit. Contohnya, saat dahulu anak kedua di usia 11 bulan sakit lemas dan sesak napas. Ada cerita saat anak sulung sewaktu kelas 2 SMA sakit DBD (demam berdarah dengue). Ada cerita juga saat anak bungsu harus kembali masuk rumah sakit lagi, padahal baru pulang sehari di rumah. Apalagi ceritaku ketika sakit ada batu di ureter. Wah, heboh jika diceritakan. Cuma cerita-cerita itu sudah agak lama. Jadi, aku akan cerita yang terbaru saja, yakni pengalaman berobat ketika sakit gigi.
Berburu Nomor Antrean
Ceritanya Sabtu pagi bangun tidur sekitar pukul 03.00 pagi. Kok tiba-tiba gusi bengkak dan ada juga gigi yang terasa sakit cenut-cenut. Langsung terpikir berniat ke klinik faskes (fasilitas kesehatan) satu untuk berobat. Pukul 06.30 berangkat naik motor dibonceng suami menuju ke klinik dekat rumah. Sesampai ke klinik ternyata sudah ramai orang dan mereka ada yang mengatakan, "Sudah habis nomor antreannya. Yang antre cuma untuk tiga orang. Sisanya harus daftar online."
Kalimat informasi itu terekam di otak, sudah penuh, jatah antre cuma tiga orang. Disarankan sisanya daftar online nanti jam 07.00 baru dibuka. Akhirnya kami pulang dan memutuskan untuk daftar online dari rumah karena dokter baru datang pukul 08.00 atau 08.30.
Sesampai di rumah dilihatlah HP, sudah beres diketik tinggal pencet. Pukul 07.00 persis dipencet, enggak berhasil. Jam 7.01 menit pencet lagi, enggak berhasil lagi. Susah, enggak bisa masuk-masuk. Pasien lain pun begitu kabarnya, enggak bisa masuk daftarnya.
Mungkin rebutan atau pasien hari sebelumnya sudah daftar jadi jatah habis. Hari Ahad dicoba lagi untuk daftar hari Senin. Tetap enggak bisa karena Ahad libur. Terpaksa hari Senin pukul 05.30 pagi sudah sampai ke klinik karena mau daftar offline.
Jatah Nomor Panggilan, Antre dan Terbatas
Saat menunggu sendirian, tak lama kemudian datang satu orang lainnya tepat pukul 05.45. Setelah itu, satu orang lagi datang pukul 05.55. Sudah tiga orang yang datang. Berarti jatah antre sudah habis. Datang satu orang lagi sudah tak bisa. "Harus daftar online, Mas," kata bapak yang terakhir.
Datang juga seorang ibu sama anaknya pukul 06.10. "Sudah penuh, Bu yang jatah antre. Ibu harus daftar online," kata Ibu yang lainnya. Yah, akhirnya pulang beliau. Datang lagi seorang ibu yang harus ke faskes ke-2 hari itu.
"Bagaimana, saya harus kontrol hari ini. Kalau saya enggak dapat surat rujukan hari ini berarti hangus nomor saya di rumah sakit," keluhnya lemas.
Saya tanya, "Ibu minta rujukan kok mendadak?"
Beliau menjawab, "Ya, saya lupa."
Begitulah nasib rakyat di negeri tercinta. Harus berjuang untuk mendapatkan haknya, yakni pelayanan kesehatan. Ibu-ibu yang ikut antre di samping saya pun cerita.
"Ini saya cuma minta rujukan, Bu. Setelah ini saya ke RSCM. Di sana pun ambil nomor di satpam terus antre lagi. Nanti dapat nomornya satu bulan kemudian. Ini saya sudah empat bulan berobat gigi, begini perjuangannya."
Antre dan Lamanya Layanan
Astagfirullah. Begini amat ya pelayanannya. Orang sakit gigi disuruh menahan sekian lama. Apa harus begitu? Sistem harus diperbaiki. Masyarakat harus 'speak up'. Kalau diam saja dianggap tidak ada masalah. Masyarakat legawa menerima penindasan.
Menunggu dari pukul 05.30 sampai 07.00 kurang lebih 1,5 jam. Menunggu lagi dokternya datang pukul 08.00 atau 09.00, artinya tambah 1—2 jam. Yah, beginilah ….
"Ah, mending zikir pagi dan membaca Al-Qur'an buat setoran," kataku dalam hati.
Alhamdulillah akhirnya sampailah nomorku dipanggil. Kuungkapkan sakit gigiku ke dokter gigi yang cantik dan masih muda itu. Dokter itu menanyakan keluhanku, memeriksa gigiku sebentar, dilanjurkan berkonsultasi, kemudian menulis resep, dan membuat rujukan ke rumah sakit.
Baca: rasa-malu-fitrah-untuk-menjaga-iman/
Setelah mengucapkan terima kasih, kulanjutkan pemberkasan rujukan dan pengambilan obat. Petugas pembuat surat rujukan berkata, "Bu, ini bisa dirujuknya cuma ke RSUD. Bagaimana?"
Aku bertanya, "Kok cuma ke RSUD? Ke rumah sakit lain enggak bisa?"
Petugas menjawab lagi, "Tidak bisa, Bu. Sistemnya cuma terbukanya di RSUD."
Aku pun menjawab lagi, "Ya, sudahlah. Mau bagaimana lagi kalau begitu." Akhirnya dibuatlah surat rujukan itu.
Setelah surat rujukan selesai, aku segera ke RSUD. Sesampai di sana, kata petugas hari Senin ini dokter gigi yang saya tuju tidak ada. Jadwalnya besok. Saya diminta besok datang untuk antre ambil nomor satu jam sebelum dokter buka praktik. "Siap," sahutku.
Sambil berjalan keluar rumah sakit kutanyakan kepada petugas, "Pak, kalau daftar online, bisa? Saya khawatir besok antre, tetapi nomor antrean habis."
Petugas menjawab, "O, bisa, Bu. Sini saya bantu untuk daftar besok." Alhamdulillah akhirnya mendapat nomor antrean untuk besok.
Rindu Layanan Kesehatan dalam Islam
Beginilah perjuanganku sebagai rakyat kecil mencari pelayanan kesehatan. Repot dan waswas untuk mendapatkan jatah antrean pasien. Mana sakit tak bisa ditahan, apalagi sakit gigi yang berjuta rasanya.
Semoga ke depannya pelayanan kesehatan masyarakat makin baik sistemnya. Namun, apakah yakin sistem kapitalisme saat ini memberikan pelayanan kesehatan ke masyarakat dengan baik? Ada uang, ada pelayanan tentunya.
Tak seperti dalam sistem Islam. Jika di dalam sistem Islam, semua anggota masyarakat akan terlayani dengan baik untuk semua lapisan masyarakat. Tak dibedakan antara anggota masyarakat yang kaya, menengah, maupun yang miskin. Semuanya dilayani dengan maksimal, adil, dan merata.
Tak inginkah kita melanjutkan kembali kehidupan yang islami? Tentu saja ingin dan rindu. Ayo kita berjuang untuk mewujudkan kembali apa yang sudah pernah dicontohkan oleh para pendahulu kita dan apa yang sudah pernah dirintis untuk diwujudkan kembali.
Sejatinya yang menyembuhkan adalah Allah subhanahu wa ta'ala, tetapi sistem pelayanan kesehatan harus diperbaiki. Mari kita berdoa seperti yang Allah perintahkan di dalam Al-Qur'an surah Asy-Syuara ayat 80:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
wa idza maridhtu fahuwa yasyfin.
“Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Ini pengalamannya sama banget dengan yg pernah sy alami. Itulah nasib warga +62 ... Layanan kesehatan di alam kapitalistik sekuler memang begini adanya.