
Selama sistem kapitalisme demokrasi terus menggurita maka rencana pengentasan kemiskinan hanyalah ilusi belaka.
Oleh. Laila Hidayati
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)
NarasiLiterasi.Id-Kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sosial yang seakan sulit terselesaikan hingga hari ini. Pada tahun 2022 persentase kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan di Indonesia sebanyak 26,36 juta orang. Jika dibandingkan hingga kini, meski mengalami penurunan sampai 25,22 juta orang per Maret 2024. Target kemiskinan 0% sesuai komitmen pemangku kebijakan masih jauh dari pengentasan kemiskinan ekstrem disebabkan masih besarnya nilai absolut kemiskinan di Indonesia.
Bersamaan dengan besaran angka kemiskinan di Indoneisa, dilansir dari laman presiden.ri.go.id, baru-baru ini Presiden terpilih yakni Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Brasil menyampaikan komitmennya untuk menjadikan isu penanggulangan kelaparan dan kemiskinan sebagai prioritas nasional. Tentu melalui penyampaian Presiden, komitmen pemerintah dalam mencanangkan penanggulangan kemiskinan mesti menjadi langkah awal keseriusan bagi para pemangku kebijakan dalam menjalankan prioritas pengentasan kemiskinan.
Jika demikian, setidaknya menjadi angin sejuk bagi masyarakat mengingat mata rantai fenomena sosial di Indonesia terus bergulir. Sebut saja kasus kelaparan di Papua pada Februari 2024 lalu, kriminalitas, sulitnya akses pendidikan, dan meningkatnya angka pengangguran. Ini merupakan efek atau dampak penanggulangan kemiskinan yang kurang efektif. Dikatakan demikian karena penyebab kemiskinan tentu karena kurangnya sumber daya yang dimiliki oleh golongan kelas bawah atau masyarakat tergolong miskin, kurangnya pendidikan, kemampuan, atau skill, maupun akses modal.
Ironi Solusi Pengentasan Kemiskinan
Di satu sisi, pemangku kebijakan menunjukkan komitmen dan solusi untuk menanggulangi kemiskinan dengan langkah ketahanan pangan. Namun, fakta bahwa penyumbang kemiskinan terbesar justru berdasarkan data BPS adalah sektor pertanian itu sendiri. Ini seakan menjadi bumerang. Artinya, bahwa persentase penduduk miskin ekstrem yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 47,94%, padahal sektor pertanian sebagai pemasok terbesar tenaga kerja dibanding sektor lainnya. Ketahanan pangan dianggap sebagai solusi pengentasan kemiskinan saat penyumbang terbesar kemiskinan adalah sektor pertanian itu sendiri.
Alih-alih memberdayakan dan solutif bagi pengentasan kemiskinan Indonesia, justru potensi eksploitasi tenaga kerja bisa saja terjadi dikarenakan saat kemiskinan maupun kelaparan mengancam, hadirnya regulasi demikian akan semakin mempersulit inovasi masyarakat dalam memfokuskan pemulihan perekonomian. Tanggung jawab untuk meminimalisasi kemiskinan yang harusnya menjadi target negara, sebaliknya dibebankan ke kaum buruh atau tenaga kerja itu sendiri.
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, demikian bunyi Pasal 34 Ayat 1 UUD 1945. Mengacu pada regulasi tersebut, tentu tanggung jawab negara memastikan kesejahteraan rakyat adalah prioritas. Namun, menjadi rahasia umum bahwa kebijakan yang dikeluarkan justru bertumpu pada materi dan menguntungkan segelintir orang saja. Cita-cita kesejahteraan melalui kebijakan yang dikeluarkan seakan semu. Ini niscaya dalam sistem kapitalisme demokrasi.
Kapitalisme Hanya Menguntungkan Para Kapitalis
Dalam sistem demokrasi, gaungan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat seolah hanyalah harapan semu. Apalagi sistem perekonomian sepenuhnya di bawah cengkeraman kapitalisme. Prinsip kapitalisme bertumpu pada keuntungan belaka. Kapitalisme demokrasi menempatkan negara hanyalah sebagai pembuat hukum. Dengan menggunakan dalih kebebasan ala demokrasi, sistem ini memungkinkan berbagai kepentingan kelompok maupun individu untuk dimasukkan ke dalam regulasi.
Kapitalisme yang berfokus pada keuntungan materi ini menargetkan pemilik modal atau kaum borjuasi untuk mengelola pasar. Regulasi yang dikeluarkan negara dalam sistem kapitalisme demokrasi hanya akan menguntungkan pemilik modal, kelas atas maupun sekelompk kecil saja.
Baca: APBN Tekor, Pertanda Apa?
Walhasil, jika menginginkan kesejahteraan masyarakat, sudah semestinya negara ini berbenah kembali mengenai pengambilan kebijakan hukum yang digunakan secara sistematis. Sistem perekonomian maupun regulasi yang diadopsi diharapkan mesti berperspektif kerakyatan. Artinya, rakyat bukan hanya dijadikan sebagai target konsumen belaka melainkan pemerintah memenuhi kewajibannya dalam menjalankan amanah. Amanah tersebut adalah mensejahterakan masyarakat.
Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan
Dalam sistem ekonomi Islam, negara bertanggung jawab penuh dalam mengurus rakyat. Negara adalah pelayan bagi rakyat, artinya pemangku kebijakan mesti melayani kebutuhan masyarakat. Ekonomi Islam melarang tegas kepemilikan harta secara berlebihan. Ini tecermin dari kepemimpinan Islam pada nabi sekaligus Rasul Muhammad saw. yang kala itu pernah membagikan harta rampasan Perang Badar hanya kepada kaum muhajirin bukan kepada kaum ansar, kecuali dua orang saja di antara mereka yang memang hidup dalam kemiskinan. Hal ini dilakukan sebagai pelaksanaan perintah Allah Swt., yakni:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“ …supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Dalam proses pengelolaan upah tenaga kerja, berdasarkan buku Sistem Ekonomi Islam dijelaskan bahwa seorang pekerja atau ajir adalah setiap orang yang bekerja dengan mendapatkan gaji baik dari pihak musta’jir (pengontrak kerja) itu individu, kelompok/perusahaan, ataupun negara. Maka, gaji (ujrah) bagi pekerja langsung diperoleh ketika dirinya telah mengerahkan tenaganya untuk ditukar.
Regulasi Islam juga mewajibkan setiap muslim, termasuk penguasanya, menjalankan aturan Islam didorong oleh ketakwaan kepada Allah Swt., bukan semata karena motif ekonomi, yakni mendapatkan keuntungan.
Nabi saw. bersabda:
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Pedagang yang senantiasa jujur dan amanah (akan dibangkitkan pada hari kiamat) bersama para nabi, shiddîqîn dan para syuhada.” (HR. At-Tirmidzi)
Para pemangku kebijakan diperintahkan oleh Allah Swt. untuk menunaikan dan mengelola harta umat sebagai amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme .
”’Siapa saja yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya (secara tidak benar) maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan dia masuk surga.’ Lalu ada seorang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?’ Beliau menjawab, ‘Meskipun hanya sebatang kayu arak (kayu untuk siwak).’” (HR. Ahmad)
Khatimah
Olehnya, selama sistem kapitalisme demokrasi terus menggurita, menjadi tumpuan dalam membuat regulasi, maka kebijakan tumpang tindih dari penguasa akan selalu memungkinkan untuk terus ada. Kesejahtaraan maupun segala hukum yang berperspektif kerakyatan hanyalah sebatas retorika yang sulit dijalankan karena sistem ini meniscayakan manusia mengatur sesuai kepentingan kelompok, individu, bahkan elite-elite politik. Maka, rencana pengentasan kemiskinan hanyalah ilusi belaka.
Karenanya, manusia butuh pengaturan sistem sesuai fitrahnya. Ini tidak mungkin didapati ketika sistem tersebut dibuat oleh manusia yang serba lemah dan terbatas. Kembali kepada sistem buatan pencipta adalah satu-satunya jalan keluar dari kekacauan hari ini.
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (deen-Nya)?Apakah keinginan yang tidak sesuai dengan ajaran Allah itu karena mereka ingin kembali pada hukum jahiliah yang mereka kehendaki?” (TQS. Al-Maidah: 50) []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

[…] Baca juga: Gurita Kapitalisme di Tengah Wacana Pengentasan Kemiskinan […]
[…] Baca juga: Gurita Kapitalisme di Tengah Wacana Pengentasan Kemiskinan […]