Rakyat kecil terus dipaksa untuk membayar pajak, sementara para konglomerat dibiarkan tidak membayar pajak bahkan diberikan diskon besar-besaran bahkan pemutihan pajak.
Oleh. Ni'matul Afiah Ummu Fatiya
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.Id-Zalim! Satu kata yang pantas disematkan terhadap kebijakan pajak yang diwajibkan kepada seluruh rakyat, tanpa kecuali. Bagaimana tidak, berbagai pungutan pajak makin menambah beban hidup rakyat.
Komitmen pemerintah untuk menambah pemasukan negara dengan menaikkan pajak adalah salah satu bentuk kebijakan yang zalim. Kebijakan yang tdak memihak rakyat di tengah-tengah kondisi perekonomian rakyat yang hampir sekarat. Meskipun Sri Mulyani mengatakan sejumlah barang dan jasa tidak akan terkena kenaikan PPN, tetapi fakta di lapangan berbeda. Setiap kenaikan pajak akan memberikan efek domino terhadap kenaikan barang dan jasa dan seluruh kebutuhan pokok rakyat. Meskipun dibarengi dengan adanya bansos berupa beras 10 kg ataupun listrik gratis selama dua bulan, tentu tidak akan mampu menyelesaikan masalah ekonomi secara tuntas.
Kebijakan Pajak adalah Zalim
Dalam sistem kapitalisme, penarikan pajak dengan segala konsekuensinya adalah sebuah keniscayaan. Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama negara. Pajak diterapkan kepada seluruh rakyat tanpa kecuali sebagai wajib pajak. Namun anehnya, kapitalisme berlaku tidak adil kepada rakyat.
Buktinya, pemerintah tetap pada rencana menaikkan PPN menjadi 12% yang akan diberlakukan per Januari 2025. Meski gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat terus berlangsung, pemerintah tak bergeming. Padahal, sudah pasti kenaikan itu akan menyengsarakan rakyat.
Sementara terhadap perusahaan besar, termasuk perusahaan asing, pemerintah justru memberikan insentif fiskal secara jor-joran. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri. Menurutnya, tambahan pendapatan yang didapat dari kenaikan PPN tidak lebih dari 100 triliun. Padahal menurutnya, pemerintah bisa memperoleh penerimaan yang jauh lebih besar dari pajak ekspor batu bara yang diperkirakan bisa mencapai 200 triliun. Namun, lagi-lagi pemerintah tidak mau melakukannya.
Hal senada diungkapkan oleh peneliti senior Centrefor Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan.
“Pemberian insentif fiskal misalnya dalam kasus hilirisasi, kita memberikan banyak insentif bagi perusahaan asing yang bergerak di sektor smelter,” ujar Deni.
Dia mengatakan bahwa pemberian insentif itu tidak sepadan dengan manfaat yang diterima oleh pemerintah. Buktinya, pemberian insentif itu tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari 5%. CNBC Indonesia (20/8/2024).
Pajak dalam Ekonomi Kapitalis
Sistem ekonomi kapitalis sangat mendukung adanya kebebasan, yang meliputi kebebasan kepemilikan, kebebasan melakukan kegiatan ekonomi serta kebebasan berkompetsi diantara pelaku usaha. Akibatnya, terjadi persaingan yang tidak sehat karena masing-masing bebas berusaha dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Pada akhirnya muncullah pihak yang menjadi pemenang yakni para pemodal besar, sementara rakyat kecil menjadi pihak yang kalah dan tertindas.
Inilah realitas dari sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan saat ini. Minimnya campur tangan pemerintah atau negara menjadi ciri khas dari sistem ini. Maka tidak heran jika pemerintah memberikan kebebasan kepada pemodal untuk mengembangkan usahanya. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang bertugas membuat aturan, termasuk aturan pembayaran pajak. Namun ironisnya, yang terjadi adalah rakyat kecil terus dipaksa membayar berbagai iuran pajak. Slogan-slogan seperti “Orang bijak taat pajak” terus diopinikan untuk mendorong rakyat supaya mau bayar pajak serta sanksi atau ancaman jika tidak membayarnya. Sementara para konglomerat dibiarkan tidak membayar pajak malah diberikan diskon besar-besaran bahkan pemutihan pajak.
Baca juga: Pajak Rakyat vs Perusahaan, Ironi Kebijakan Kapitalisme
Kebijakan pajak ini jelas zalim, sangat menyengsarakan rakyat, terutama rakyat kecil. Penguasa yang seharusnya mensejahterakan rakyat, malah membuat aturan yang membebani rakyat. Padahal negeri kita adalah negeri yang subur. Sumber daya alam yang melimpah ruah bahkan termasuk penghasil emas terbesar. Namun, mengapa rakyatnya hidup sengsara? Semua terjadi akibat diterapkannya sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem ini telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan seluruh rakyat. SDA yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Namun, sistem ini telah mengizinkan kepemilikan SDA dikuasai oleh individu, bahkan dijual ke pihak asing. Penguasa lebih berpihak kepada korporat daripada rakyat.
Pemasukan Negara Islam
Sistem ekonomi Islam menetapkan aturan kepemilikan dan menjadikan sumber daya alam sebagai milik umum. Pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara. Sementara hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Semua diatur dengan berbagai mekanisme yang ditetapkan oleh hukum syarak. SDA merupakan salah satu sumber pemasukan negara yang tetap.
Rasulullah saw telah bersabda dalam sebuah hadis, "Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud).
Selain SDA, negara masih memiliki berbagai sumber pemasukan lain. Misalnya seperti fai dan kharaj, zakat atau shadaqah yang kesemuanya itu cukup untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat per individu. Pemasukan tetap tersebut menjauhkan penguasa dari kebijakan yang menzalimi rakyat.
Kebijakan Pajak dalam Islam
Islam mengharamkan pemungutan pajak untuk sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah atau tidak ada dalilnya dalam Al-Qur'an dan hadis meskipun hanya 1%. Namun, Islam membolehkan adanya pungutan dari Negara kepada rakyat dengan dua syarat, pertama yaitu ketika ada kewajiban atas kaum muslimin yang harus ditunaikan. Biaya atas kewajiban itu menjadi pengeluaran tetap baitulmal. Misalnya seperti untuk pembiayaan jihad fi sabilillah, pembangunan industri senjata, nafkah fakir miskin, membayar gaji tentara, pegawai negeri, hakim dan tenaga pendidik. Selain itu untuk pembiayaan kondisi darurat misalnya seperti gempa, banjir, tsunami, invasi musuh.
Kedua, ketika kondisi kas baitulmal kosong. Ketika tidak ada harta yang mencukupi untuk menunaikan kewajiban negara, maka negara akan memungut pajak.
Jadi pajak dalam Islam merupakan alternatif terakhir yang dipungut oleh negara. Bukan kebijakan zalim seperti yang diterapkan kapitalis. Itu pun hanya dibebankan kepada rakyat yang kaya saja. Makna kaya di sini adalah sudah melebihi dari apa-apa yang menjadi kadar kecukupannya secara makruf.
Khatimah
Jelaslah perbedaan kebijakan zalim (pajak) dalam sistem ekonomi kapitalisme dengan pajak (dharibah) dalam sistem ekonomi Islam. Dalam sistem kapitalisme, pajak dibebankan kepada seluruh rakyat yang berpotensi menimbulkan kezaliman. Sementara dalam sistem Islam pajak hanya dibebankan kepada kaum muslim yang kaya saja. Selain itu pajak dalam Islam bersifat temporal saja, ketika sudah tercukupi maka pajak dihentikan. Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai iuran rutin seumur hidup.
Nampak nyata sekali kezaliman yang ditimbulkan dari sistem kapitalis ini. Maka, sudah semestinya kita tinggalkan sistem yang rusak ini. Wallahualam bissawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
[…] baca juga: Kebijakan Zalim Berkedok Pajak […]