
Solusi permasalahan pangan tidak cukup hanya dengan menyetop impor, tetapi perlu kebijakan yang optimal
Oleh. Siska Juliana
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Kebijakan pemerintah Indonesia untuk menyetop impor beras telah berimbas pada harga beras dunia. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi pada Jumat (10-01-2025). Menurutnya, harga beras di beberapa negara mengalami penurunan dari US$640 per metrik menjadi US$490.
Sementara itu, menurut data harga beras putih 5 persen (free on board) yang dihimpun Bapanas, rata-rata harga beras dari Thailand, Vietnam, Pakistan, dan Myanmar pada Januari 2024 ada di rentang harga US$622 sampai US$655 per metrik ton.
Demikian pula pada 19 Desember 2024, harga beras mulai turun di rentang US$455 sampai US$514 per metrik ton. Kemudian 8 Januari 2025, harga beras semakin melandai yaitu pada US$430 sampai US$490 per metrik ton.
Sebelumnya pada Desember 2024 lalu, Indonesia telah menyatakan untuk menyetop impor beras, gula dan garam konsumsi, serta jagung untuk pakan ternak. Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa swasembada pangan akan tercapai sebelum 2027, paling lambat 2027. (tempo.com, 11-01-2025)
Kendala Menghentikan Impor Beras
Langkah Indonesia untuk menyetop impor beras dan beberapa komoditas lainnya patut diapresiasi. Hanya saja, target kebijakan setop impor tidak akan mudah mengingat sektor pertanian, kelautan, dan perikanan masih memiliki kendala yang belum terselesaikan.
Jumlah impor dari keempat komoditas tersebut tergolong besar. Misalnya, beras mencapai 3 juta ton/tahun, jagung 1 juta ton/tahun, gula 4 juta ton/tahun, dan garam 2 juta ton/tahun. Hal ini sungguh ironis, mengingat 63 persen wilayah Indonesia adalah perairan dengan garis pantai yang panjang.
Dengan kebutuhan yang tinggi, tetapi lahan produksi terbatas sehingga skala usaha pertanian sangat kecil. Tahun 2023, data sensus pertanian menunjukkan bahwa petani yang mengelola 1000 meter hanya berjumlah 7 juta orang.
Tidak hanya itu, infrastruktur irigasi menjadi salah satu hal yang sangat menentukan bagi kualitas hasil pertanian. Menurut data indeks pertanaman untuk padi masih kurang dari 1,5 yang artinya lahan padi secara nasional baru ditanami 1,5 kali dalam setahun. Penyebabnya adalah ketersediaan air yang masih terbatas.
Oleh karena itu, jika setop impor beras tidak diiringi oleh peningkatan produksi dalam negeri maka dapat memperburuk ketahanan pangan jangka pendek, mengakibatkan kenaikan harga pangan, dan menambah tekanan inflasi. Hal ini akan mengurangi daya beli masyarakat, terutama kelompok yang berpendapatan rendah.
Antisipasi Setop Impor Beras
Untuk mencegah dampak negatif dari setop impor ini, maka harus disertai dengan diversifikasi, penguatan sistem distribusi bagi beras, jagung, gula, dan garam, serta kebijakan sosial dan bantuan pangan bagi kelompok rentan.
Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan petani menjadi faktor penting untuk memastikan peningkatan produktivitas pertanian, penguatan ketahanan pangan, dan stabilitas harga pangan domestik. Jika kebijakan tersebut dilakukan secara bertahap dan konsisten, maka Indonesia dapat memperkuat ketahanan pangannya.
Lantas benarkah kebijakan tersebut dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat? Mengingat adanya sistem hidup kapitalisme yang mencengkeram saat ini.
Kapitalisme Akar Masalah
Terjebaknya Indonesia dalam impor beras menunjukkan adanya tata kelola yang salah dalam distribusi. Sebanyak 90% distribusi beras dikendalikan oleh swasta. Sedangkan tujuan utama swasta adalah mengejar keuntungan.
Wajar jika masyarakat miskin kesulitan untuk mengaksesnya. Hal berbeda akan terjadi saat negara yang memiliki kendali dalam distribusi beras. Semua kalangan dapat mengaksesnya dengan mudah.
Inilah yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalisme. Peran negara hanya sebatas regulator, bukan pengurus dan pelayan rakyat. Negara hanya menjadi sarana kepentingan korporasi kepada rakyat, begitu pun sebaliknya.
Sistem ekonomi kapitalisme juga memperlebar jarak antara si kaya dan si miskin. Hal itu disebabkan modal bagi si kaya makin besar, sedangkan si miskin kian kecil. Alhasil, banyak masyarakat yang tidak mampu membeli beras sebab tidak memiliki uang.
Adanya konversi lahan pertanian untuk pembangunan industri mengakibatkan para petani kehilangan sawahnya. Di sisi lain, saprotan (benih, pestisida, pupuk, dll.) makin dikuasai swasta. Akhirnya, profesi petani dianggap tidak menguntungkan dengan melekatnya predikat kemiskinan. Keran impor yang dibuka saat masa panen, menjadi pukulan telak bagi petani. Oleh karena itu, akar masalah persoalan pangan adalah tata kelola negara yang kapitalistik.
Islam Mewujudkan Ketahanan Pangan
Solusi permasalahan pangan tidak cukup hanya dengan menyetop impor, tetapi perlu kebijakan yang optimal. Diperlukan juga aturan yang tegas agar pemegang kebijakan tidak mudah dibeli dengan uang atau materi. Mereka akan memahami bahwa jabatannya sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Aturan sempurna tersebut adalah Islam. Dalam Islam, sistem pemerintahannya terpusat pada akidah Islam yang melahirkan kebijakan sesuai dengan pandangan Islam, bukan pada individu, apalagi oligarki. Produksi, distribusi, hingga konsumsi pangan akan diatur oleh sistem ekonomi Islam.
Di sisi lain, sistem keuangan Islam akan mengatur penghasilan negara (kharaj, ganimah, fai, jizyah, pengelolaan SDA) untuk kepentingan rakyat. Sementara itu, sistem sanksi Islam juga akan memberikan sanksi pada pihak yang melakukan kecurangan.
Beberapa upaya sistem Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan di antaranya yaitu:
Pertama, Islam akan mengatur lahan pertanian. Negara menjamin tersedianya lahan pertanian dan tidak mengizinkan alih fungsi lahan yang subur. Negara juga tidak akan membiarkan lahan pertanian yang mati. Jika hal itu terjadi, maka negara akan mengambilnya dan memberikannya pada pihak yang mampu mengelolanya.
Sebagaimana sabda Rasulullah, “Orang yang memagari tanah, tidak berhak lagi (atas tanah tersebut) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.” (HR. Abu Yusuf dan Abu ‘Ubaid)
Kedua, negara mengeluarkan kebijakan industri yang berbasis industri berat. Tujuannya membangun kemandirian industri pertanian dengan cara menghasilkan alat-alat produksi.
Ketiga, negara memiliki kemandirian riset. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan bagi masyarakat, bukan untuk kepentingan oligarki.
Keempat, adanya anggaran yang berasal dari baitulmal untuk menjalankan seluruh kebijakan tersebut.
Kelima, negara mengatur distribusi pangan dengan dua cara yaitu harga dan nonharga. Mekanisme harga artinya menjaga kestabilan harga pangan di pasaran. Sedangkan melalui kebijakan nonharga, negara membantu pemenuhan seluruh kebutuhan pokok masyarakat miskin dan tidak mampu.
Khatimah
Seluruh aturan tidak akan berjalan baik jika masih menerapkan kapitalisme yang lebih mementingkan kapitalis. Solusi satu-satunya adalah mengambil Islam sebagai ideologi. Dengan demikian, ketahanan pangan akan terwujud saat kaum muslim kembali pada sistem Islam. Wallahualam bissawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

[…] Baca juga: Impor Beras: Diakhiri demi Ketahanan Pangan […]