
Kita butuh data yang akurat menggambarkan realitas kemiskinan di lapangan. Bukan sekadar angka di atas kertas yang digunakan untuk pencitraan.
Oleh. Leilis Sufiah, S.Pd.
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)
NarasiLiterasi.Id-Masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan perbedaan yang sangat timpang antara pengukuran standar kemiskinan nasional dan dunia. Jadi, berapa sebenarnya jumlah penduduk miskin di Indonesia? Pertanyaan sederhana ini ternyata memiliki dua jawaban berbeda, tergantung pada siapa yang ditanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan 24,1 juta orang atau 8,6% penduduk Indonesia terkategori miskin (bps.go.id, 2-5-2025). Sementara itu, jumlah penduduk miskin versi World Bank (Bank Dunia) justru mengejutkan, yaitu 171,4 juta orang atau 61,8%.
Berdasarkan data di atas, terdapat selisih angka mencapai 147,3 juta jiwa. Ironis, angka ini bukan sekadar perbedaan cara penghitungan, tetapi menunjukkan ketimpangan standar "miskin". Seseorang bisa dikategorikan tidak miskin secara nasional, tetapi masuk dalam kategori miskin ekstrem secara global.
Standar Kemiskinan
BPS menetapkan standar kemiskinan pada pengeluaran Rp595.242 per bulan per orang. Artinya, jika seseorang mampu membelanjakan lebih dari jumlah tersebut setiap bulan, mereka sudah dianggap tidak miskin. Jika dihitung, seseorang yang bisa membelanjakan sekitar Rp20.000 per hari sudah dianggap tidak miskin.
Apakah jumlah ini cukup, sedangkan biaya kehidupan makin meroket? Uang Rp20.000 mungkin hanya cukup untuk mendapatkan satu porsi mi instan dan es teh, tanpa memperhitungkan biaya kesehatan, pendidikan, transportasi, dan tempat tinggal. Sementara itu, World Bank menarik garis kemiskinan lebih tinggi pada Rp1.109.280 per bulan, hampir dua kali lipat dari standar BPS.
Dengan standar rendah nasional ini, tentu saja angka kemiskinan juga rendah. Hasilnya, negara pun membanggakan prestasi tersebut dan mengeklaim telah sukses menurunkan angka kemiskinan. Namun, sejatinya klaim tersebut tidak mencerminkan realitas yang ada di lapangan.
Data Kemiskinan yang Akurat
Oleh karena itu, kita butuh data yang akurat menggambarkan realitas kemiskinan di lapangan. Bukan sekadar angka di atas kertas yang digunakan untuk pencitraan agar investor tertarik. Apalagi hal ini juga berdampak pada kebijakan publik yang akan dirasakan oleh masyarakat.
Jika merujuk pada data nasional, negara akan merancang kebijakan dan program bantuan sosial. Namun, kebijakan ini hanya menyasar 8,6% penduduk yang dianggap miskin. Sedangkan jika mengacu pada standar dunia, lebih dari setengah penduduk Indonesia masih membutuhkan bantuan untuk mencapai standar hidup layak.
Akibatnya, kebijakan negara mengabaikan sebagian besar masyarakat yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar dengan standar layak. Lagi-lagi masyarakat yang dikorbankan. Terbukti bahwa negara dalam sistem kapitalisme gagal menyejahterakan masyarakatnya.
Sistem Islam
Lain halnya dengan negara yang menganut sistem Islam. Negara wajib untuk menjamin terpenuhinya semua kebutuhan pokok seluruh warga negaranya. Bahkan, per individu dijamin tercukupi kebutuhan hidupnya dengan layak.
Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu adalah tanggung jawab negara. Ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, "Imam (khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Islam juga menjadikan al-kasb (usaha) dalam ikhtiarnya mencari rezeki sebagai kewajiban bagi setiap orang yang mampu berusaha untuk memenuhi kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya yang menjadi tanggung jawabnya. Ini sebagaimana firman Allah Swt., “Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.” (QS Al-Baqarah [2]: 233).
Jika kepala keluarga terhalang mencari nafkah, seperti cacat mental ataupun fisik, sakit-sakitan, lanjut usia, ataupun meninggal maka kewajiban nafkah dibebankan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah. Jika seseorang tidak memiliki kerabat atau dia memiliki kerabat, tetapi hidupnya juga pas-pasan, pihak yang berkewajiban memberinya nafkah adalah baitulmal (kas negara).
Baca juga: Gurita Kapitalisme di Tengah Wacana Pengentasan Kemiskinan
Mekanisme pengaturan yang detail ini bisa dilakukan jika negara menerapkan sistem Islam. Dengan kata lain, negara sangat bertanggung jawab dan berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar masyarakat secara sempurna dan mampu hidup layak.
Selain itu, negara juga melakukan pengelolaan SDA seperti tambang, minyak, air, tanah, jalan umum, dll. secara mandiri dan tidak boleh diserahkan kepada swasta, individu, apalagi investor asing. Dengan demikian, negara akan mampu membuka lapangan pekerjaan dari sektor industri dalam jumlah besar. Hasil pengelolaannya pun bisa dikembalikan pada rakyat untuk memenuhi hajat publik mereka.
Khatimah
Pada akhirnya kemiskinan dalam sistem Islam akan berada di angka rendah, tetapi bukan hanya sekadar angka statistik yang dipoles, melainkan sesuai dengan realitas. Hasilnya, Islam mampu memenuhi kebutuhan rakyat karena merupakan kewajiban negara. Namun, hal tersebut hanya dapat terealisasi dengan adanya sistem Islam kaffah yang diartikan sebagai penerapan Islam secara menyeluruh. Wallahua'lam bishawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

[…] Baca juga: Perbedaan Standar Kemiskinan […]