Jika Aku Pergi

jika aku pergi

Tulisan tangan Damai membuat Naira makin terisak. Jika aku pergi, apakah kalian akan menangisiku sebagaimana aku menangis akibat perlakuan kalian?

Oleh. Hafida N.
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Untuk semua yang pernah mengasihi, terima kasih. Aku pergi …

Salam hangat,
Damaira


Suara sendok dan piring yang beradu mengisi keheningan ruang makan sebuah rumah minimalis. Ada peraturan tak tertulis yang melarang berbicara saat makan. Sang kepala keluarga berdehem setelah menghabiskan makan malam, membuat atensi seluruh netra memandang pria itu.

"Papa ada pengumuman, Della tadi juara satu angkatan. Tepuk tangan!”

"Selamat, adiknya Kakak."

"Anak Mama hebat banget sih. Pertahankan ya, Nak."

Della, satu-satunya gadis remaja yang berada di ruang makan tersipu malu. "Jangan begitu."

Sang papa tertawa, mengusap kepala anak gadisnya. "Della mau hadiah apa?"

"Papa, terus Kak Damai bagaimana?" Pertanyaan polos dari anak kecil usia sekolah dasar itu menghentikan tawa semua anggota keluarga. "Kemarin Kak Damai bawa kertas yang katanya namanya sertifikat, terus piala, terus ju–"

"Dino!" Anak lelaki itu mengerjap, memandang bingung sang mama yang barusan membentaknya. Netranya mulai berkaca-kaca, "K-kenapa? Dino s-salah? Hiks …"

Semua netra memandang kepergian sang anak bungsu. "Dino, maafkan Mama …"


"Kakak! Kakak, buka pintunya!" Keheningan yang selama ini menemaninya, buyar saat sebuah gedoran pintu diiringi teriakan khas anak kecil terdengar. "Dino, kenapa?" tanya sang empunya kamar.

"Kak Damai, hiks …" Dino memeluk pinggang kakaknya erat-erat.

Damai, sang kakak membalas pelukan sang adik walau bingung dengan apa yang terjadi. Gadis itu mengangkat Dino ke gendongan ala koala. Duduk di kursi belajar yang menghadap ke taman samping rumah setelah menutup pintu kamar.

"Kenapa?" tanya Damai setelah tangis adiknya mereda. "Dinonya Kakak kenapa menangis? Ada yang nakal?" Damai mengelus sayang rambut hitam adik satu-satunya itu.

Jika Aku Dianggap, Betapa Bahagianya

Dino menggeleng, mendongak untuk menatap kakaknya dengan pipi basah karena lelehan air mata dan hidung memerah yang di mata Damai terlihat menggemaskan. "Papa Mama kasih senyum ke Kak Della karena juara satu," ucap Dino dengan nada serak. "Kemarin Kakak juga juara satu, 'kan? Kenapa Papa Mama gak kasih senyum juga?" tanya Dino dengan polos.

Deg! Jantung Damai berdenyut nyeri mendengar kalimat adiknya. Mereka benci Kakak, jawabnya dalam hati. Damai menggelengkan kepala kemudian tersenyum. "Itu karena mereka gak tahu. Kakak belum bilang," jawab Damai dengan netra berkaca-kaca.

"Dino sudah beri tahu, kok. Mama malah marah," netra Dino kembali berkaca-kaca mengingat bentakan sang mama yang masih terngiang. "Kak Ditto juga begitu. Tadi Kak Ditto tepuk kepala Kak Della, tetapi gak pernah tepuk kepala Kakak. Atau Dino gak pernah lihat ya, Kak?"

"Iya–" suara Damai terdengar serak, "Dino gak pernah lihat. Kak Ditto sering tepuk kepala Kakak juga, kok." Dino mengerjap dengan mata berbinar lalu turun dari pangkuan Damai. "Berarti Kak Ditto sayang Kakak seperti Dino?" tanyanya dengan nada semangat.

Damai tersenyum manis, "Dino selalu sayang Kakak, 'kan?" ucapnya berupaya menahan tetesan embun dari matanya. "Jangan tinggalkan Kak Damai ya," pinta gadis itu tulus. "Sayang banget! Dino selalu sayang Kak Damai banyak-banyak, segini!" seru Dino sembari merentangkan kedua tangannya. "Dino janji gak akan meninggalkan Kak Damai. Kak Damai juga, ya?"

Kelingking kedua saudara itu bertaut. Dino tersenyum sampai matanya menyipit. Lelaki kecil itu tak tahu, janji yang mereka buat akan dilanggar, tak akan pernah ditepati.

Selepas kepergian Dino yang kembali aktif dan ceria, Damai masih berada di kursi belajarnya. Tertawa kecil dengan lelehan air mata di pipinya. "Sayang, ya? Pernah sih, tapi cuma mimpi," ucapnya lalu menatap lekat berbagai sertifikat yang berserakan di ranjang kecilnya. "Gak papa Damai, tolong jangan menangis. Kamu harus selesaikan naskah sebelum akhir bulan–hiks …"

Jika Aku Bisa Kembali Tersenyum

Damai tak pernah tahu bahwa ada seseorang yang sedari tadi mendengar semuanya. Sejak kedatangan Dino sampai keluarnya lelaki kecil itu dari kamar Damai dengan senyum cerianya. Damai tak pernah tahu, bahwa ada seseorang yang pipinya ikut basah karena mendengar tangis diam-diam Damai yang terdengar menyesakkan dada.


"Mau ke mana?" Ditto mengajukan pertanyaan dengan raut wajah sedatar mungkin. Damai menghela napas, mengedarkan pandangan. Dia sedang tak ingin bertemu dengan orang yang serumah dengannya. Sang mama yang suka membabukan dirinya, sang papa yang selalu menatapnya dingin, dan sang saudarinya yang selalu mengajaknya bertengkar. Ugh! Itu sungguh menyebalkan.

"Mereka lagi pergi," kata Ditto. Lelaki itu dapat menebak raut penuh tanya Damai yang seakan bertanya, 'ke mana orang rumah?'

"Aku ada kajian," jawab Damai sebelum berbalik mengunci pintu kamarnya. "Silakan menikmati keheningan, Tuan Muda," kata gadis itu dengan menundukkan kepala lalu melangkah pergi. Di benaknya timbul tanya, untuk apa lelaki itu repot-repot bercakap dengannya?


"Ai mau pulang sekarang?" tanya salah satu teman Damai. Namanya Naira, yang kini mendapat giliran rumahnya menjadi tempat kursus. "Nanti, Ra," jawab Damai setelah atensinya kembali tertuju kepada gadis sebayanya yang memakai gamis cokelat milo.

Naira mengangguk mengerti lalu memasuki rumahnya. "Ya sudah main dulu. Aku taruh kitab bentar," kata gadis itu. "Bunda ada di dapur tuh, ke sana gih. Pasti senang lihat kamu," sungut Naira dengan wajah cemberut.

Damai tertawa lalu berjalan berdampingan bersama Naira. Sesampainya di dapur, mereka melihat seorang wanita dengan gamis merah maroonnya yang warnanya telah pudar. "Bunda, ada Ai mau main!" seru Naira.

Si Kembar

Wanita itu menoleh lalu melambaikan tangan, menyapa Damai dengan senyum keibuan. "Waduh, sudah lama gak main. Kenapa, nih?" tanya Bunda Naira setelah berada di hadapan kedua remaja itu. "Abisnya kalo aku ke sini sama Bunda disuruh makan terus. Aku 'kan lagi diet," jawabnya jujur.

Naira menggeleng, "Kamu sudah mungil begitu, Ai. Gak bongsor juga, gak seperti Bunda tuh." Bunda mendelik kepada putri bungsunya itu. "Bunda itu subur! Bukan bongsor ya!"

"Canda, Bun, canda." Naira cengengesan. Bunda melengos pergi dengan lengan memegang lengan Damai. "Sudahlah, memang cuma Damai yang mengerti Bunda tuh." Cemberut Bunda yang dibalas tawa oleh Damai dan Naira.

Naira tersenyum melihat interaksi hangat bundanya dengan temannya itu. Ia tak cemburu, tak juga menyesal telah mengenalkan Damai pada bundanya. Ia pun menyadari, senyum dan tawa Damai menjadi langka setelah kejadian yang membuat hidup gadis itu berubah 180°. Kejadian yang sampai sekarang selalu Damai sesali dan Naira paham betul akan hal itu.


"Kak Ditto, lihat aku bawa apa nih? Tadaa, kejutan …"

"Kakak, Mama sudah masak udang saus merah. Ayo makan!"

"Kerudungnya bagus banget. Sayang Kak Ditto!"

"Kakak sudah gak sayang aku lagi, 'kan?"

"Aku benci Kakak!"

Ditto terbangun dari tidurnya yang tak bisa dikatakan lelap. Dahinya basah karena keringat. Lelaki itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. "Akhh …"

"Kakak kenapa?" Pintu yang terbuka menampilkan gadis dengan kaos panjang dengan bahu terbuka dan jeans selutut. "Kak Ditto?"

Ditto menggeleng, beringsut menjauh saat Della berupaya memegang bahunya. "Diam di situ–" katanya dengan tangan yang mengepal menahan sakit. Della terdiam, hatinya nyeri mendengar penolakan dari sang kakak.

"Keluar."

"Hah?"

"Gue bilang keluar!" Netra Della berkaca-kaca mendengar bentakan itu. "Kak Ditto jahat!" teriak gadis itu sebelum berlari keluar kamar. Meninggalkan Ditto yang terpaku.

"Ditto, kenalkan. Mereka sudah jadi adik kamu. Della sama Damai, mereka kembar."

"Hai, Kakak! Aku Della."

"Damaira, Kak."

Rasa yang Berbeda

Ditto yang saat itu berumur 18 tahun memandang kedua gadis di depannya dengan pandangan tak terbaca. Gadis sebelah kanan memperkenalkan diri dengan ceria dan raut wajah yang terkagum-kagum. Sementara itu, gadis sebelah kiri memperkenalkan diri dengan nada pelan hampir berbisik dan menatap Ditto sejenak lalu kembali menunduk.

"Ditto." Awalnya Ditto bersikap biasa saja kepada kedua adik kandung beda ibu, tetapi masih satu ayah dengannya. Keduanya masih berusia 15 tahun.

Hari ke hari, lelaki itu mulai menerima keluarga barunya. Ditto sesekali mengantar jemput kedua adiknya jika sang mama barunya sibuk. Perhatian Ditto ditangkap berbeda oleh salah satu dari mereka. Jika Ditto merasa bahwa perhatiannya sebagai bentuk kasih sayang seorang kakak pada adiknya, salah satu dari mereka menganggap itu adalah hal yang sering dilakukan lelaki pada pasangannya.

Baca juga: ma-pa-khawatirku-ada-banyak/

Sampai suatu hari, adiknya yang lain mengetahui perasaan terlarang dalam hati saudarinya. Yang memiliki rasa menganggap bahwa saudarinya juga merasakan hal yang sama. Rasa cemburu dan takut kehilangan membuat pembicaraan berakhir dengan teriakan lantang dan benda-benda yang melayang.

Salah satu dari mereka yang tak bisa menahan tangis segera berlari keluar. Ditto yang saat itu baru saja pulang kuliah, terbelalak saat mendapati sebuah sepeda motor yang melaju kencang ke arah adiknya.

Tepat di jalan raya depan rumah, kejadian berdarah itu terjadi. Ditto menolong adiknya, mengorbankan dirinya sebagai tumpuan. Mengorbankan dirinya dan membuat kepalanya membentur jalan aspal. Kecelakaan yang disebabkan pengemudi mabuk itu membuat Ditto koma selama tiga bulan. Saat dirinya terbangun, Ditto hanya mengingat bahwa papanya menikah lagi, tetapi dengan seorang wanita beranak satu.

Menolak Keputusan Ayah

Ditto tak menerima keputusan papanya. Bersikap dingin dan acuh tak acuh pada adik tirinya. Saat melihat sifat sang papa yang juga dingin membuat Ditto menganggap bahwa wajar dia juga bersikap demikian. Mungkin sang papa belum sedekat itu pada adik tirinya. Saat melihat sifat mama tirinya yang acuh dan seenaknya menjadikan sang anak kandung sebagai pembantu, Ditto menganggap hal itu wajar karena prestasi sang adik tiri tak sebagus prestasi adik kandungnya.

"Bodoh!" Ditto menjambak rambutnya kuat-kuat. Otaknya yang dianggap jenius di kampus seperti menghilang entah ke mana. Ditto mengerang kesal setelah memori masa lalunya itu kembali. "Bodoh banget!" kesalnya lalu menonjok cermin sebagai pelampiasan rasa amarah.

Damai yang baru pulang dari rumah Naira mengernyit heran mendapati Della yang sedang menangis sesenggukan di ruang tamu. Memilih tak peduli, gadis itu berjalan menuju kamarnya, tetapi dia dikejutkan dengan suara pecahan kaca saat melewati sebuah pintu. Itu pintu kamar yang diketahui Damai sebagai kamar kakaknya.

"KAK DITTO!" Netra gadis itu terbelalak mendapati kakaknya yang acak-acakan. Pecahan cermin di mana-mana. Jangan lupakan darah yang mengeras dari kepalan tangan kanan Ditto. "Astagfirullah! Kakak kenapa luka-luka begini?"

Cepat-cepat gadis itu menarik lengan Ditto agar duduk di tepi ranjang. "Aku ambil kotak P3K dulu." Ditto terdiam, membiarkan adiknya berlari keluar kamar. Lelaki itu menatap Damai yang dengan serius mengobati lukanya. Netranya menyendu, "Damai," panggilnya kemudian.

"Hah?"

"Maaf."

Damai mengerjap mendengar permintaan maaf yang dikatakan dengan tulus itu. "Apa?"

"Maafkan Kakak. Adik gue pasti sakit banget ya hatinya?"

Deg! Apakah ini mimpi? Kapan terakhir kali Ditto memanggilnya dengan sebutan 'adik'? Damai ingat, hari terakhir itu adalah hari di mana Ditto menyelamatkan dirinya dari kecelakaan. Yang membuat kakaknya koma, amnesia, melupakan bahwa dirinya memiliki dua adik tiri dan satu adik kandung lelaki. Bukan seperti di ingatan Ditto setelah bangun dari koma, dua adik kandung dan satu adik tiri.

Sejumput Maaf

"Kakak jahat lupakan aku, hiks …" Pecah sudah tangis Damai. Pikirannya kembali memutar ulang rasa sakit yang dilemparkan padanya. Damai tahu itu juga salahnya, tetapi apakah pantas semua kesalahan dilemparkan padanya? Bahkan Damai sampai kehilangan kasih sayang ibunya, ibu kandungnya.

Ditto menepuk pelan puncak kepala Damai. Meminta maaf dengan pipi yang basah. "Maaf karena Kakak mengingat Della sebagai adik kandung, tetapi mengingat kamu sebagai adik tiri. Maaf karena mengabaikan kamu. Mungkin perhatian Kakak pada kalian berdua berlebihan."

Damai mengusap pipinya, "Aku maafkan Kakak dari jauh-jauh hari, tetapi Kakak tahu tentang Della?"

Ditto mengangguk tanpa ragu, "Ya. Kakak sadar bahwa Della jatuh cinta sama Kakak."

Damai menangis lagi. "Maaf karena aku gak bisa cegah rasa itu di hati Della padahal aku sama Della kembar. Maaf karena aku, Kakak kecelakaan dan sampai amnesia. Mama Papa benar Kak, aku yang menyebabkan semua. Andai aku membicarakan masalah hati Della dengan cara baik-baik, aku gak akan hancurkan keluarga kalian."

"Bicara apa? Kamu juga keluarga Kakak. Jangan pesimis. Kakak sayang kamu sebagai adik. Begitu juga sama Della dan Dino. Tolong mulai sekarang, jangan diam kalau Mama Papa melukai hati kamu. Kakak akan bela kamu. Jangan khawatir." Damai mengangguk. Raut wajahnya terlihat riang kembali. Kumohon, semoga ini bersifat selamanya, doa Damai dengan hati tulusnya.


Gadis itu dapat melihat dengan jelas raut terkejut Della, mama, dan papanya melihat tulisan yang tertera. Kertas pertama berisi daftar nilai rapor Damai selama ini. Kertas kedua berisi formulir pendaftaran beasiswa S-2 di London, Inggris.

"Apa ini Della, jadi kamu bohongi Mama?" Sang mama mendorong Della menjauh dari pelukan. Menatap penuh kecewa kepada putri yang selalu dirinya banggakan. Della terdiam. Syok berat. Dirinya tak menyangka bahwa Damai sejenius itu. "Itu, itu bohong, Ma. Kenapa Kakak jahat sama aku?"

Rahasia Terungkap

Akan aku beri tahu kalian sesuatu. Ada satu permohonan yang selalu aku lontarkan dalam setiap sujudku, yaitu sebuah keluarga dambaan semua orang. Namun, sampai aku tulis surat ini, belum ada tanda-tanda doaku dikabulkan. Ingin rasanya menangis, jika aku mengingat kalian tak pernah memberiku lagi tatapan dengan sorot hangat, pelukan agar aku semangat, apalagi lemparan canda tawa yang ingin selalu aku putar ulang, selalu aku ingat-ingat.

Setelah kejadian itu, aku sadar aku bersalah. Entah itu karena mengingatkan Della tentang rasa yang tak seharusnya ada atau karena membuat Kak Ditto koma dan amnesia.

Papa, usaha aku sia-sia agar Papa sayang aku. Aku bahkan harus diam-diam minta bantuan orang lain saat melihat Papa kecelakaan di depan mataku sendiri. Aku terlalu takut menolong Papa dengan tanganku sendiri.

Isi surat itu mengejutkan sang papa. Pria itu masih mengingat hari di mana dirinya kecelakaan tunggal di jalan yang sepi. Dia bahkan sempat menatap Damai penuh benci yang berdiri tak jauh dari tempatnya terjatuh.

Mama, aku punya sedikit kejutan. Aku harap, setelah ini Mama tak lagi membandingkan aku dan Della.

Naira membuka tasnya, menyerahkan stopmap berwarna hijau. "Buka, Tante. Ada sesuatu untuk Tante," kata Naira. Stopmap itu berisi bukti betapa berprestasinya Damai.

Maaf atas kesalahan yang aku lakukan selama ini. Maaf, jika aku lancang meminta kasih sayang dari kalian. Andai waktu dapat aku putar, aku akan lebih berhati-hati saat mengingatkan Della.

Della menatap heran video yang baru saja Naira kirimkan. Gadis itu memutar video itu lalu terkejut saat mengetahui apa isinya.

"Ust, kenapa kita sebagai muslimah wajib menutup aurat?"

Aurat Muslimah

Seorang gadis bergamis abu-abu itu bertanya kemudian terdengarlah suara seorang wanita. "Itu perintah Allah Swt. dalam surah An-Nur ayat 31 yang artinya: "Katakan kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. Hendaklah pula mereka tidak menampakkan perhiasannya (auratnya) …."

"Semua anggota tubuh perempuan adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Jadi, kalau ada yang tanya, Damai bisa jawab pakai dalil surah An-Nur tadi atau surah Al-Ahzab ayat 59."

Naira menghela napas, "Kamu tahu apa yang sangat-sangat Damai inginkan selain kehangatan keluarganya? Damai juga ingin kamu membersamainya di jalan kebenaran. Ikut sama-sama berjuang jadi remaja ideologis. Della, rasanya aku ingin maki-maki kamu. Kenapa kamu gak bersyukur punya saudari kembar sebaik Damai? Andai Damai mau, aku pastikan nama Damai gak ada di kartu keluarga kalian lagi. Nama Damai akan tertulis di kartu keluargaku."

Kalimat Naira membuat semua tercengang. Della bersimpuh di lantai, meraih tangan Naira sembari terisak, "Katakan di mana Damai, Naira. Aku mau minta maaf sama Damai." Naira menggelengkan kepala, berusaha meredam tangisnya yang hampir pecah. "Tolong, Naira. Aku masih saudarinya. Aku masih kembarannya."

"Keberadaan seseorang akan terasa berharga saat dia tak lagi menginjak bumi, bukan?" Naira tertawa lirih, "Temui Damai besok. Lihat dia untuk terakhir kalinya. Bukankah ini yang kalian mau? Bukankah itu yang kalian ucapkan saat mengusir Damai semalam?"

Maaf, jika Aku Pergi

"Naira, jangan bilang–" Kalimat Ditto terpotong oleh anggukan lemas Naira. "Damai pergi selamanya, Kak. Penyakit asmanya memburuk entah karena kalian mengusirnya saat hujan badai atau karena Damai gak kuat lagi. Damai juga hipotermia. Lantas, kenapa Damai masih melarangku untuk membenci kalian?"

Tangis pecah begitu saja. Naira menatap nanar. Netranya memandang orang tua Damai yang terlihat menyesal, terutama sang mama. Sementara itu, Della menangis meraung, memanggil nama kembarannya. Sang kakak, Ditto mematung. Lelaki itu juga menangis meski dalam hati, dia merasa sedikit lega sebab telah berdamai dengan sang adik.

Naira tergugu, menatap sebuah kertas berisi tulisan yang terjatuh dari buku harian Damai. Tulisan tangan Damai membuat Naira makin terisak. Jika aku pergi, apakah kalian akan menangisiku sebagaimana aku menangis akibat perlakuan kalian?

"Kini mereka sedang menangisimu, Damai. Apakah kamu mendengarnya?" []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Hafida N. Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Rugi, Tak Diuntungkan
Next
Pembangunan Infrastruktur Dongkrak Ekonomi, Benarkah?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

6 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Atien
Atien
29 days ago

Penyesalan selalu datang belakangan.
Barakallah mba @dida. Cerpennya selalu bikin baper

Hafida N.
Hafida N.
22 days ago
Reply to  Atien

Jazakillah khoir sudah membaca, yang angst angst memang bikin baper ya bu

novianti
novianti
29 days ago

barokallohu, mba. Bikin cerpen itu tidak mudah, tapi mba bisa menulis yang membuat hati ini meleleh.

Hafida N.
Hafida N.
22 days ago
Reply to  novianti

Jazakillah khoir sudah membaca. Sebenernya ini draf sudah berbulan bulan bu hehe

UmmuTriaz
UmmuTriaz
28 days ago

Terhanyut bacaanya

Hafida N.
Hafida N.
22 days ago
Reply to  UmmuTriaz

Pelampungnya pakai bu biar tidak tenggelam😁

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram