
Kesempatan yang lebih baik pasti datang jika kita berbuat baik, apalagi jika kita menjadi hamba yang bertakwa pada Allah. Allah akan beri dari arah yang tidak disangka-sangka.
Oleh. Dyah Pitaloka
Kontributor Narasiliterasi.id
Narasiliterasi.id-Naya tersenyum di depan cermin, wajahnya cantik bersinar. Senyum manisnya makin membuat siapa pun yang melihat akan menyukainya.
Sifatnya ramah, baik laki-laki atau perempuan, tua maupun muda pasti akan jatuh hati pada sifat baik Naya. Tak heran, jika Naya selalu populer di lingkaran pertemanannya, sejak kecil bahkan hingga kini saat ia dewasa.
Selain dikenal dengan sifat ramah, otak Naya begitu encer. Tak jarang ia duduk di posisi pertama di kelas hingga akhirnya Naya memiliki kesempatan untuk bekerja di salah satu perusahaan nasional di ibu kota.
Naya Ahmad merupakan anak bungsu dari keluarga terpandang. Ayahnya seorang pejabat di kelurahan tempat tinggalnya.
Cantik, pintar, berasal dari keluarga yang baik, sifat yang ramah, dan hal positif lainnya membuat Naya makin dan selalu percaya diri dalam setiap langkahnya.
"Eh, sorry!" kata seorang perempuan berkacamata yang tak sengaja menyenggol bahu Naya yang sedang asyik becermin sambil membetulkan riasan di wajahnya.
"It's okay!" Wajah Naya menyunggingkan senyuman ramah pada perempuan itu.
"Kerudung yang sedikit berantakan, wajah yang tanpa make-up, kacamata yang tampaknya cukup tebal, siapa dia?" batin Naya.
Si kacamata tidak membalas senyuman Naya, dia langsung keluar dari toilet kantor tempat mereka tidak sengaja bertemu tadi.
Ada hal yang sedikit menggelitik batin Naya, "Tadi matanya bengkak deh. Kayaknya dia habis menangis."
Gosip
Saat Naya kembali ke meja kerjanya, suasana di ruangan Naya begitu heboh.
"Lu tahu gak yang lagi hot di divisi QA?" tanya salah satu rekan kerja Naya, si ganteng berkacamata, Reza.
"Ada apaan sih, Za?" jawab Naya bingung.
"Hahahaha, lu jangan mau tahu deh, Nay!" potong Alice dari meja belakang.
"Jir, gila banget mereka. Lu mau lihat videonya?" Reza keukeuh dekati Naya sambil menyodorkan ponselnya.
"Brak!" Pintu ruangan divisi Naya didorong cukup keras.
"Cukup, Guys, kalau kalian punya videonya. Hapus aja. Saya gak mau divisi ini heboh gak jelas. Kita punya target yang harus kita kerjakan. Bukan gosip!"
Naya, Reza, dan Alice langsung terdiam, mereka tidak berani menatap langsung wajah Ridwan, leader divisi mereka.
Ridwan Ardiansyah bersifat baik, tetapi dia cukup tegas. Jika salah seorang di antara anak buahnya berbuat salah, kuping mereka harus siap memerah.
Naya melirik ke arah Ridwan yang kini berjalan keluar menuju ruangannya. Ia menarik kursinya agar posisinya nyaman saat ia kembali menatap laptopnya.
Naya membuka aplikasi Telegram desktop, mencari nama Alice Irawan.
"Alice, tell me. Ada apa?" Jari jemari Naya mengetik pesan singkat untuk Alice.
"Tadi Nay, ada video heboh cewek dan cowok yang lagi you know-lah! Wkwkwkwk." Tidak sampai hitungan menit balasan Alice langsung diterima Naya.
"Astagfirullah, istigfar Lice."
"Astagfirullah al-'azim. Dah komplit tuh gue istigfar."
Naya bingung, "Video siapa? Kenapa kantor harus heboh banget?"
"Video anak QA sama cowok ganteng. Si Reza mah lewat!" Pesan lain masuk, masih dari Alice, seolah menjawab rasa penasaran Naya.
"Pulang kerja nanti gue ceritakan sama lu! Sekalian kalau-kalau lu mau nonton videonya. Wkwkwkwk." Pesan Alice lainnya masuk ke Telegram Naya.
Playing Victim
Naya dan Alice berjalan santai ke sebuah cafe di lantai dasar kantor mereka.
"Nay, lu tadi denger sendiri 'kan anak kantor kita pada julid banget ngomongin soal video yang gue dan Reza bilang ke elu tadi siang."
Alice pun bercerita tentang video yang sempat dikirim salah seorang anggota tim QA ke grup Telegram kantor mereka. Video berdurasi 2 menit 6 detik itu hanya bertahan tidak lebih dari 5 menit karena si pengirim mengaku ia salah kirim dan langsung menghapusnya. Wajar jika akhirnya Naya tidak sempat melihat video itu. Terlebih, Naya sedang ada rapat di luar kantor. Ia tidak sempat mengecek ponselnya kala itu.
"Gila banget deh tuh cewek, pasti lu gak akan menyangka deh. Gue tadi papasan di pantry dan gak menyangka banget." Alice mengakhiri ceritanya.
Di video yang Alice tunjukkan, tidak ada wajah karyawan cewek yang dimaksud semua orang di kantor. Hanya ada tangan dengan gelang yang konon menjadi bukti identitas si cewek.
Sebetulnya itu bukanlah bukti yang kuat, tetapi si penyebar video mengeklaim dirinya yakin bahwa pemeran dari video itu adalah si cewek. Pasalnya, baik si penyebar video dan tim dari divisi si cewek bahkan security sering melihat cowok tersebut bertemu si cewek di lobi atau di parkiran.
Tempat dan Waktu yang Tepat
Naya melihat bayangannya di jendela kaca KRL yang membawa tubuhnya pulang. Ia tinggal di sebuah apartemen yang tidak jauh dari stasiun. Naya diberi hadiah ulang tahun sebuah unit apartemen dari ayahnya. Meskipun kecil dan terletak di pinggir kota, Naya tetap betah tinggal di sana. Cukup dengan KRL, Naya bisa sampai ke kantornya dalam waktu 30 menit. Namun, Naya mesti rela berdesakan dengan para pejuang rupiah lain kala pergi dan pulang bekerja.
"Gue sepertinya pernah deh lihat cewek yang tadi menangis di toilet. Siapa ya? Pernah lihat di mana ya? Kok sepertinya gak asing?" Naya terus bergumam sambil berjalan masuk ke lorong apartemennya.
"Mas kecewa sama kamu. Kamu tahu 'kan Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Isra ayat 32,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا
Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk." Suara yang tak asing masuk ke telinga Naya.
Baca Juga: Maraknya Pornografi: Buah Sistem Sekuler yang Kebablasan
"Fatalnya lagi, itu adik kamu, Bel. Astagfirullah. Iya, Amar memang adik tirimu. Tapi, ya Allah, Bel." sambungnya masih dengan nada penuh amarah.
"Sumpah, Mas, aku berani sumpah demi apa pun. Hiks. Itu bukan aku. Hiks. Itu ulah Amar, Mas." Suara perempuan yang menangis sesenggukan terdengar parau di telinga Naya.
Dari jauh, Naya melihat sosok yang ia kagumi sejak lama. Sosok leader timnya dengan tinggi lebih dari 170 cm, badan kekar berisi, dan kulit yang bersih. Laki-laki dengan wajah bersinar, hidung mancung, mata tajam, dan dihiasi janggut di dagunya ini menunduk. Ia terlihat kebingungan dengan tangan di kepala sambil menatap lantai.
"Aku tidak berzina, Mas. Allah Maha Melihat dan aku tidak melakukannya." ujar Bella, perempuan berkerudung yang sedari tadi mengatupkan tangan di depan Ridwan. Seolah memohon belas kasih laki-laki di depannya itu.
"Sebaiknya kau tidak menyebut nama Allah dengan begitu mudahnya." Laki-laki itu pergi meninggalkan si perempuan yang masih menangis sesenggukan.
Naya bersembunyi di balik tembok saat Ridwan berjalan ke arahnya. Sementara itu, mata Naya melihat sosok perempuan yang sama dengan yang tadi siang ia lihat di toilet. Ternyata dia tetangganya. Pantas saja Naya merasa tidak asing.
"Klek!" Terdengar suara pintu yang dikunci saat Naya melewati unit apartemen Bella. Jarak unit mereka berdua hanya terpaut dua pintu. Namun, Naya baru pertama kali ini punya kesempatan melihat Ridwan berkunjung ke apartemen Bella.
"Mereka berdua punya hubungan apa?" tanya Naya dalam hati.
Bella
Pagi harinya Naya memiliki kesempatan bertemu dengan Bella. Mereka menunggu lift bersama. Naya tersenyum saat Bella menatapnya sekilas.
"Halo, Mbak yang kemarin papasan sama saya di kantor, ya?" Naya berusaha dengan ramah menyapa Bella.
Jantung Bella berdegub cepat, dia takut. Dia gelisah.
"Siapa perempuan ini?" gumam Bella dalam hati.
Sejak kejadian video yang menghebohkan kantor, entah mengapa Bella merasa ketakutan. Terutama saat bertemu dengan rekan kerja dari kantornya. Bella menjadi tidak percaya diri dan malu luar biasa.
Sejatinya, Bella tidak pernah melakukan apa pun. Konten video saru itu tidak ada kaitan apa pun dengannya. Meskipun pemeran laki-laki dalam video itu adalah adiknya yang gemar berbuat onar, pemeran perempuan dalam video itu bukan dia.
"Kenalkan, aku Naya, aku salah satu Data Scientist di kantor kita. Kemarin kita papasan di toilet. Ingat, gak?" Naya tersenyum sambil menyodorkan tangannya.
Bella berusaha meraih tangan Naya, "Aku Bella, aku dari tim QA."
Mata Bella masih bengkak dan sembab. Naya yakin gadis yang berada di hadapannya ini menangis semalaman.
"Ayo, masuk, Bel." Naya berusaha menarik tangan Bella masuk ke dalam lift.
"Aku hari ini izin, kamu pergi saja, Nay. Udah jam segini juga. Takutnya kamu telat." Bella melepaskan tangan Naya.
Di antara pintu lift yang tertutup, Naya melihat wajah Bella yang masih tertunduk pilu. Wajahnya sederhana dengan gaya berpakaian yang biasa.
Penasaran
"Apa sih yang Mas Ridwan lihat darinya?" batin Naya.
Naya keluar dari pintu kereta yang hiruk pikuk. Dia telah sampai di Stasiun Tanah Abang. Sedari tadi saat melangkah keluar gerbang apartemen, pikiran Naya berkutat pada hubungan yang dijalani oleh Ridwan dan Bella.
"Mungkinkah?" Naya terhanyut lagi dalam lamunannya. "Ah gak mungkin. Masa, sih?" Naya terus bergumam sendiri.
Lamunan membawa Naya ke masa dua tahun lalu saat pertama kali diterima di kantor tempat ia bekerja sampai sekarang. Ridwan terpaut dua tahun di atas Naya dan merupakan senior sekaligus supervisor Naya di tim mereka. Pembawaan Ridwan yang hangat dan dewasa membuat mata dan hati Naya terkunci untuk laki-laki lain yang berusaha mendekatinya. Mungkin dari sifat positif Ridwan, keyakinan Naya muncul bahwa Ridwan adalah jodoh dan suami yang sangat ideal bagi kehidupan pernikahan yang sangat Naya impikan.
Sejak punya kesempatan untuk kenal dan bekerja sama dengan Ridwan, Naya mulai mengubah penampilannya. Mulai mengenakan kerudung dan menjaga auratnya. Bagaimanapun, di mata Naya Ridwan adalah laki-laki saleh yang berhak mendapatkan perempuan yang salihah. Naya perlahan berubah menjadi lebih baik dalam beribadah demi menjadi layak bagi Ridwan.
Ridwan memang terlihat agamis, rajin salat berjemaah, bahkan bacaan Al-Qur'an Ridwan cukup baik saat ia memiliki kesempatan menjadi imam di kantor. Naya yang sedari dulu tidak pernah berpacaran begitu menginginkan Ridwan dalam hidupnya.
Namun, jika hubungan Ridwan dan Bella adalah hubungan yang serius, hancurlah harapan Naya. Naya seolah sudah tidak punya kesempatan lagi. Apalagi sebelumnya Naya memang pernah mendengar bahwa Ridwan akan segera melepas masa lajangnya.
Naya yang masih sibuk dengan lamunannya tentang Ridwan terus menekuni anak tangga di hadapannya. Ia harus sampai ke rel di seberang agar bisa melanjutkan perjalanannya di daerah bisnis Kota Jakarta. Sampai ia tidak sengaja menabrak seseorang di depannya.
Saksi Mata
"Bruk!" Tas kecil berwarna merah yang dibawa seorang perempuan jatuh karena tidak sengaja tersenggol Naya.
"Laras Cantika, divisi QA," batin Naya. Naya pun melihat logo perusahaannya pada ID Card yang turut berserakan. Tangan Naya berusaha membantu mengumpulkan barang tadi sambil memasukkannya ke dalam tas yang jatuh.
"Thanks." Gadis di depan Naya langsung menarik semua yang berusaha Naya kumpulkan kemudian berlalu meninggalkan Naya.
Saat Naya berjalan melewati minimarket di lantai dua stasiun, Naya mendengar, "Amar, lu 'kan udah gue kasih 10 juta. Masa masih kurang?"
"Kak, kuranglah. Itu baru uang muka, Kak," jawab seorang laki-laki remaja berumur sekitar 19—20 tahun. Bergaya seperti anak punk, dengan baju hitam dan celana robek. Wajahnya tampan, tetapi tirus seperti tidak terurus. Bibirnya yang agak hitam menunjukkan bahwa ia seorang penggemar tembakau.
"Tunggu." Langkah kaki Naya terhenti. Naya pikir ia harus tahu apa yang mereka bicarakan. "Kesempatan tidak datang dua kali, Nay!" batinnya.
Naya cukup gugup saat mendekati minimarket tempat Amar mengobrol. Di depan Amar ada seorang perempuan berambut lurus memakai tas ransel, ia memeluk tas kecil berwarna merah di dadanya.
"Ayolah, Kak Laras!" Si pemuda memaksa gadis di depannya.
Naya bersembunyi di balik display minimarket. Tangannya bergetar kala mengeluarkan ponselnya. Ia masuk ke aplikasi recorder, menggunakan kesempatannya.
Rekaman
"Laras, ikut saya ke ruangan." Laras yang baru tiba di kantor kaget karena dipanggil divisi HR ke ruangan mereka.
Naya, Ridwan, dan Kamil duduk di sebuah meja. Wajah Kamil selaku kepala divisi HR, tegang. Ia menggenggam ponsel Naya.
"Duduk, Laras!" Seorang anggota personalia yang baru saja memanggil Laras ke ruangannya menggeser sebuah kursi di depan Naya, Ridwan, dan Kamil. Ia kemudian pergi dari ruangan dan menyisakan empat orang duduk dalam keheningan.
"Laras, saya mau kamu mendengarkan ini." Kamil memencet tombol play di ponsel Naya.
"Ayolah, Kak Laras!" Terdengar suara pemuda yang Laras ketahui.
"Aku udah dikejar debt colector! Aku takut gak punya kesempatan lagi, Kak! Kak Laras janji 'kan, kalau aku berhasil bikin onar dan mengganggu Mbak Bella, kakak akan melunasi utang pinjolku?" lanjut pemuda itu.
"Kak Laras datang mendekatiku saat aku kesulitan dan Mbak Bella menolak melunasi utang-utangku akibat judol. Aku pikir mudah sekali mencuri gelang Mbak Bella dan membuat seolah Mbak Bella melakukan hubungan intim denganku. Aku videokan itu semua seolah itu memang benar kami berdua. Namun, kalau hanya 10 juta, itu tidak sebanding dengan usahaku, Kak!"
"Stop, cukup Amar. Aku akan transfer kamu 10 juta lagi dan perjanjian kita selesai. Bella akan dipecat dan aku yang akan naik jabatan. Pertunangannya dengan Ridwan pun batal. Aku jadi punya kesempatan untuk dekat dengan Ridwan. Bagaimanapun, Bella gak pantas dengan Ridwan. Cukup 'kan 10 juta?" Jantung Laras hampir copot mendengar suaranya sendiri. Begitu lantang dan jelas menjelaskan duduk perkara yang terjadi.
Tak Bisa Mengelak
"Sa, saya …" Suara Laras parau dan terbata.
"Cukup, Laras, kamu bisa menjelaskan semuanya empat mata dengan saya. Namun, sepertinya perusahaan ini tidak membutuhkan orang bersifat culas sepertimu. Kamu bisa mengurus semua administrasinya." Kamil dengan tegas memotong suara Laras.
"Aku, aku ... minta maaf." Tangis Laras menggema di ruangan divisi HR.
"Kalian boleh keluar," perintah Kamil pada Ridwan dan Naya. "Saya yang akan urus semuanya. Naya, saya ucapkan terima kasih."
Mengaguminya
Ridwan berjalan mendahului Naya, Naya menatap laki-laki yang selalu ia kagumi. Pikirannya kembali pada sosok perempuan di depan lift apartemen tadi pagi. Perempuan yang Naya nilai sederhana, begitu sederhana. Naya bingung, "Apa kelebihannya? Kenapa kamu suka sama dia?" Naya bergumam sendiri.
"Kenapa, Nay?" Sosok laki-laki di depannya menoleh.
"Eh? Apa? Gak kok, Mas!" Naya panik, dia berpikir apakah gumamnya tadi terdengar oleh Ridwan.
"Nay, thanks ya. Saya utang budi sama kamu. Kalau kamu gak rekam pembicaraan Amar dan Laras, mungkin Bella sudah dipecat oleh perusahaan. Pertunangan saya dan Bella pun mungkin bisa bubar jalan." Ridwan tersenyum ke arah Naya.
Naya membalas senyum Ridwan sambil mengangguk. Saat Ridwan berbalik, air mata Naya mulai menggenang dan mengalir. Naya melepaskan kesempatan yang ia miliki untuk bersama Ridwan. Dia menolong Ridwan bersama dengan Bella, tetapi menghancurkan kesempatan dan impian cintanya yang sejak lama ia pendam.
***
Dada Naya masih sesak. Kemarin dia punya kesempatan besar untuk bersama dengan Ridwan. Pantulan bayangan sosok Naya memantul di pintu lift apartemen, bajunya hari ini cukup sederhana dibanding biasanya. Make up yang Naya kenakan cukup tipis, tetapi tetap bisa memancarkan wajah cantik Naya. Sejak kemarin, Naya tidak lagi tersenyum melihat pantulannya di cermin. Wajah dan penampilan yang selalu Naya jaga ternyata tidak cukup membuat Ridwan terpana.
Ridwan, Ridwan, Ridwan, nama itu membuat Naya kesal setiap dia melihat pantulan dirinya. Naya kecewa, kecantikannya selama ini seolah sia-sia. Dia sekarang tak punya kesempatan lagi mendekati apalagi memiliki Ridwan yang ia sukai.
Cemburu
"Mbak Naya!" Sosok perempuan manis berkacamata menepuk pundak Naya pelan di lobi apartemen.
"Wajahnya cerah ceria, meskipun sederhana ia tetap punya pesona," pikir Naya. "Hai, Bel, kamu mau berangkat ke kantor juga?" jawab Naya dengan senyuman getir.
Bella menyadari senyum perempuan di depannya pada kesempatan kali ini sedikit berbeda.
"Mbak, makasih, ya. Mbak sudah berani dan sangat membantu saya." Mata Bella berbinar, tangannya menggenggam tangan Naya.
"Alhamdulillah, saya masih punya kesempatan untuk bisa melanjutkan pekerjaan impian saya. Pertunangan saya dengan Mas Ridwan pun bisa diselamatkan. Semua berkat pertolongan Allah melalui Mbak Naya," lanjut Bella.
"Hah? Makasih? Emang menurut lu makasih doang cukup? Gak ada makan siang gratis, Neng. Lu pikir hati gue sekuat itu? Ridwan sudah gue incar dari dua tahun lalu. Gue sudah berusaha hijrah biar cocok sama dia. Elu siapa? Gak sebanding sama gue. Gue minta lu putusin pertunangan lu sama Ridwan! Give Ridwan to me!"
Dada Naya berdebar kencang. Ingin rasanya Naya mengeluarkan semua unek-unek yang dia pendam selama ini. Namun, bibir Naya terkunci rapat. Air matanya lagi-lagi menggenang. Naya hapuskan semua perkataan dalam lamunannya tadi.
"It's okay, Bel. Aku pernah dengar nasihat dari Rasulullah saw. bahwa 'Barang siapa memudahkan urusan orang lain, Allah akan mudahkan urusannya."' Kali ini Naya tersenyum tulus. "Sorry, aku nangis karena terharu. Pasti kemarin berat banget ya buat kamu. Alhamdulillah, Allah masih kasih kesempatan buat semuanya jadi clear, ya!" Naya merangkul pundak Bella.
"Mbak, ternyata benar ya kata orang-orang, Mbak Naya bukan hanya cantik, tetapi juga baik hatinya." Bella memeluk Naya.
Merelakan
Naya masih melihat senyum sumringah Bella saat taksinya melaju meninggalkan lobi apartemen. Hari ini Naya harus bertemu client di sebuah kantor di kawasan Bintaro sehingga Naya memilih untuk naik taksi ke sana.
Setelah bertemu Bella di lobi apartemen tadi, Naya jadi ingat perkataannya sendiri, "Kalau kamu mudahkan orang lain, Allah akan mudahkan urusanmu."
Naya yakin dengan ucapan tersebut karena itu adalah janji Allah Swt. dan Allah tidak pernah ingkar pada janjinya. Meskipun batin Naya masih gamang karena sebelumnya terlalu berharap pada Ridwan. Akan tetapi, Naya tidak menyesal sudah membuang kesempatannya untuk bersama dengan Ridwan. Kebahagian Ridwan dan Bella pasti akan menular kepada Naya. Walau Naya belum tahu kapan waktunya.
"Nay, kamu kelihatan beda hari ini." Suara client yang sudah cukup akrab di telinga Naya. Baru dua hari lalu Naya diminta meeting dengannya. Sekarang dia minta Naya datang lagi ke kantornya.
Naya tersenyum kecut mendengar sapaan dari client-nya ini. Seorang laki-laki muda, yang mungkin umurnya tidak jauh dengannya. Namun, sudah memiliki jabatan yang cukup wah bagi Naya. Selain itu, sifatnya ramah dan perawakannya tidak jauh dengan Ridwan.
"Eh, Nay, pernah dengar gak, 'Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau engkau bertemu saudaramu dengan wajah berseri.'"
"Baik, Pak Yusuf." Naya langsung tersenyum di depan client yang memang sudah cukup akrab dengannya. Sudah setahun Naya berinteraksi dengan client-nya ini. Jika belum akrab, pasti Naya tidak akan berani untuk bersikap demikian.
"Hahaha. Gak salah aku minta kamu untuk datang pagi ini. Lumayan bisa jadi sedikit hiburan untukku." Mata Yusuf sampai berair melihat tingkah gadis di depannya.
Proposal
"Maaf, Pak. Tadi malam Bapak telepon kalau ada proposal yang ingin Bapak beri ke saya, ya? Kalau boleh tahu, proposal apa, Pak?" tanya Naya heran.
Biasanya perusahaannya yang mengajukan proposal pada client. Namun, kenapa saat ini client-nya yang mengajukan proposal pada perusahaan Naya?
"Ini." Yusuf memberi sebuah amplop cokelat besar berukuran A4. "Ada proposal yang perlu kamu pelajari, dibuka nanti saja, ya. Jangan buka amplopnya di sini," Yusuf berkata sambil tersenyum.
"Sudah, ya. Kamu pulang sana, eh pergi ke kantormu sana." Yusuf pergi meninggalkan Naya di lobi kantornya.
Tiba-tiba langkah Yusuf berhenti, dia menengok ke arah Naya, "Hati-hati di jalan ya, Nay!"
Naya tiba di Stasiun Tanah Abang, dia lewati lagi minimarket tempat Laras dan Amar bertemu kemarin. Andai saja kemarin dia tidak memberanikan diri merekam obrolan mereka, entah apa yang terjadi saat ini. Sementara itu, kedua tangan Naya masih menggenggam proposal dari Yusuf. Meskipun jam 10.00 pagi stasiun tidak begitu ramai, tetapi Naya tetap berhati-hati tidak ingin amplop cokelat dari Yusuf jatuh.
Di KRL menuju kawasan perkantoran Naya, ia sempatkan untuk membuka amplop itu. Meski jaraknya cukup dekat, tetapi Naya penasaran dengan isi dari amplop itu. "Jangan-jangan ini bonus," harapnya.
Naya terkekeh dalam batinnya, mana mungkin Pak Yusuf tiba-tiba memberi bonus, nanti khawatirnya malah gratifikasi. Naya seolah lupa akan kejadian sebelumnya.
"Proposal hidup Yusuf Irawan." Membaca halaman awal saja Naya tidak kuat menahan tawanya. Wajahnya merah padam bila harus membayangkan si pengirim proposal. Kadang client-nya ini sangat serius, tetapi tidak jarang Naya juga sering terhibur melihat tingkahnya.
Isi proposal itu adalah biodata Yusuf, informasi dirinya, keluarga, hobi, teman, pekerjaan, sampai rutinitas keseharian Yusuf. Naya kadang takjub, kadang terkekeh membaca proposal yang diberikan Yusuf.
"Nih orang, narsis amat. Segala pakai kasih gue biodatanya." Naya hanya geleng-geleng dan bersiap turun kereta.
Promosi Jabatan
Sesampainya di kantor, Naya disambut Reza, "Nay, elu dipanggil Mas Kamil."
Naya langsung menyimpan tasnya dan meluncur ke ruangan HRD. Di sana sudah ada Kamil dan Ridwan. "Nay, silakan masuk dan duduk," sapa Kamil ramah.
"Langsung saja ya, Nay, kami bermaksud menginformasikan ke kamu kalau kamu akan dipromosikan menjadi leader tim Data Scientist." Kamil tersenyum lebar.
Ridwan pun ikut tersenyum menyelamati Naya, "Congrats, Nay!"
"Eh, ini ada apa, ya?" Naya bingung mendengar kabar yang menggembirakan, tetapi juga mengherankan.
"Hahaha. Sorry. Jadi gini Nay, Ridwan mendapatkan promosi, tetapi harus mutasi ke cabang lain. Nah, posisinya yang kosong kita coba tawarkan ke kamu. Gimana Nay?" Kamil berusaha menerangkan situasi pada Naya.
"Yup, benar, Nay. Dari semua member, aku lihat kamu yang paling oke dari segi kinerja, attitude, dan segalanya. Aku yakin kamu layak gantikan aku sebagai leader." Ridwan tak henti memuji Naya.
"Hah? Ada apa ini?" Naya bengong dan melamun, ia bergumam dalam hati.
"Kalau kamu gak mau gak apa-apa, Nay." Kamil memotong lamunan Naya.
"Gak Mas, eh Pak, eh! Saya mau Mas. Bismillah." Naya kaget dan mereka semua tertawa mendengar jawaban Naya.
Kebahagiaan Bertubi-tubi
Di ruangan Data Scientist, Alice dan Reza asyik mengobrol di meja Naya. Mata Alice tertuju pada amplop cokelat pemberian Yusuf.
"Apaan nih?" Alice bertanya pada Reza.
"Tuh, si Naya. Lu tanya aja!" jawab Reza.
"Apaan ini, Nay?"
"Oh, apa ya? Biodata client," jawab Naya cuek.
"Siapa? Lu tadi ke kantor Pak Yusuf, 'kan? Ini biodata beliau?" Alice lagi-lagi bertanya.
"Iya," jawab Naya sambil menyeruput kopinya.
"Untuk apa dia kasih lu biodata? Kalian mau taaruf? Cieee!" Reza menyambar obrolan Naya dan Alice.
Taaruf
"Taaruf? Dia cuma bilang gue diminta pelajari proposal doang, kok." Naya hampir tersedak kopinya, wajah Naya memerah panas karena jawaban Reza yang out of the box.
"Wajar aja sih, Pak Yusuf 'kan kelihatannya cowok baik yang gak pacaran. Terus dia baik juga ke elu. Ramah banget dan perhatian selama kita kerja bareng."
Mendengar penjelasan Reza, Naya baru sadar, selama ini Yusuf memang sangat baik dan perhatian padanya. Akan tetapi, Naya tidak mau gede rasa.
"Dari pada bingung, lu pastikan aja deh, Nay!" pinta Alice.
Naya langsung mengambil ponselnya, "Pak, ini proposalnya berisi biodata Bapak. Sudah saya baca. Selanjutnya saya harus bagaimana, Pak?"
Pesan singkat di aplikasi WhatsApp Naya langsung memberi notifikasi, "Pak Yusuf."
"Alhamdulillah … Gini Nay, kalau kamu gak keberatan, setelah membaca biodataku, apakah kamu mau taaruf denganku?" Jawaban Yusuf dalam pesan singkat.
Naya hanya bisa berkedip menatap ponselnya.
"Kalau kamu berkenan, kita bisa minta tolong orang terpercaya sebagai fasilitator taaruf kita. Gimana?" Pesan dari Yusuf masuk lagi ke ponsel Naya.
"Masyaallah, apa ini ya Allah, Engkau berikan kabar baik bertubi-tubi hari ini untukku," batin Naya.
"Benar, kesempatan yang lebih baik pasti datang jika kita berbuat baik. Apalagi jika kita menjadi hamba yang bertakwa pada Allah. Allah akan beri dari arah yang tidak disangka-sangka. Apakah ini kesempatan baik untukku untuk membuka hati pada orang yang baru?" lanjutnya dalam hati.
Naya masih melihat ponselnya, kali ini sambil tersenyum. Ia mengetik sebuah pesan singkat untuk ibu dan ayahnya. "Alhamdulillah," bisik Naya.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

akhirnya.. ketemu jodohnya
Masyaallah. Kesempatan yang lebih baik, pasti datang ketika kita berbuat baik. Kalimatnya menyentuh banget.
Barakallah mba @Ummu Hanan. Cerpennya keren
Bagus mbak, coba kalo dibuat cerbung, biar penasaran
Bagus mbak, coba kalau di pakai cerbung, pasti bisa bikin penasaran