
Penegakan syariat Islam secara kaffah hanya dapat dilaksanakan oleh Khilafah. Ia tidak bisa diterapkan dalam bingkai sekularisme yang notabene jelas berbeda secara mendasar dengan Islam.
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Aceh dikenal sebagai ikon penerapan syariat Islam di Indonesia. Pemerintah Aceh membuat Qanun Aceh untuk mengatur pelaksanaan syariat Islam. Satu yang paling kontroversial adalah qanun jinayah yang memberi sanksi cambuk bagi pelanggar syariat.
Provinsi yang berjuluk Serambi Makkah itu menjalankan syariat Islam secara legal sejak tahun 2002 melalui UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh dan UU Nomor 11 tentang Pemerintah Aceh. Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang akidah, syar’iyah, dan akhlak. Ada aturan terkait ibadah, ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Namun, pakar hukum syariat dari UIN Ar-Raniry Syafrizal Abbas menilai pelaksanaan hukum syariat di Aceh selama ini kurang maksimal lantaran belum dilaksanakan di seluruh aspek kehidupan seperti yang tertulis dalam UU Pemerintah Aceh. (cnnindonesia.com, 11-3-2025)
Syariat Islam dalam Negara Sekuler
Kurang maksimalnya pelaksanaan syariat Islam di Aceh seakan dibuktikan dengan meningkatnya kasus HIV/AIDS dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan kasus ini sebagian besar diakibatkan oleh perilaku seksual menyimpang kaum LGBT. Sepertinya, hukum cambuk yang dijalankan tidak mempan dalam mencegah maraknya penyimpangan seksual dan LGBT.
Pelaksanaan syariat Islam memang belum menyentuh seluruh aspek kehidupan sehingga tidak efektif dalam mengatur masyarakat. Hanya sebagian atau bahkan sedikit sekali dari syariat Islam yang sudah diterapkan. Sistem sanksinya mungkin mengambil dari syariat Islam, tetapi pergaulannya dibiarkan bebas ala liberalisme. Sistem pendidikannya juga masih sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan. Dalam kondisi ini, terbentuklah pemikiran dan perilaku yang menganut kebebasan sehingga tak mengherankan bila penyimpangan seksual tetap marak.
Inilah syariat Islam dalam negara sekuler seperti Indonesia. Islam belum menjadi sistem kehidupan, melainkan masih sebagai aturan yang harus tunduk pada sekularisme yang dianut negara. Penerapan syariat Islam dibatasi oleh ‘pagar’ sekularisme. Tidak boleh menjalankan syariat yang melewati ‘pagar’ tersebut.
Baca Juga: https://narasiliterasi.id/world-news/09/2024/syariat-parsial-di-afganistan-menyengsarakan-perempuan/
Penerapan Setengah-Setengah
Karena itulah, menjalankan syariat Islam dalam sekularisme tidak mungkin dapat terlaksana secara menyeluruh. Sistem ini tidak memungkinkan untuk mengambil Islam secara utuh, melainkan parsial semata. Syariat Islam hanya terlaksana setengah-setengah.
Tak mengherankan bila karakter muslimnya pun setengah-setengah. Setengah Islam, setengah sekularisme. Ia muslim, tetapi aturan yang dijalankannya sekuler. Ibadahnya sesuai tuntunan syariat Islam, tetapi bermuamalahnya dengan prinsip-prinsip sekularisme. Ia mengimani Allah sebagai Sang Pencipta, tetapi ia tidak meyakini bahwa aturan-Nya mampu menuntun hidup dan menyelesaikan segala permasalahannya.
Mengambil Islam setengah-setengah akan menyebabkan pemikiran menjadi kacau sehingga dalam bertindak pun ikutan tak jelas. Ketika menghadapi fakta dan masalah, ia tidak mampu berpikir secara jernih sehingga mengambil solusi yang tak tepat. Lebih dari itu, mengambil Islam sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain adalah haram hukumnya.
Penegakan Syariat Harus Kaffah
Sebagai muslim, kita hendaknya meyakini bahwa Islam itu sempurna. Aturannya sudah lengkap sehingga tidak butuh selain darinya. Islam sudah utuh dan komprehensif. Karena itu, ia haruslah diambil seluruhnya tanpa meninggalkan satu bagian pun.
Sesungguhnya, wajib bagi muslim untuk menerapkan syariat Islam seluruhnya, bukan setengah-setengah. Islam harus dijalankan secara kaffah sebagaimana perintah Allah yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an. Perintah ini ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 208: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Dalam ayat tersebut, perintah untuk masuk Islam secara keseluruhan berarti menegakkan syariat Islam secara kaffah. Ini berarti bahwa seluruh hukum yang ada dalam syariat harus ditaati tanpa terkecuali. Tidak boleh mengambil sebagian dari syariat, lalu meninggalkan sebagian yang lain.
Penegakan Syariat Butuh Khilafah
Penerapan hukum syariat Islam bukanlah penerapan yang bersifat bagian per bagian. Syariat Islam adalah bagian dari keseluruhan sistem Islam. Maka dari itu, penerapan seluruh syariat Islam membutuhkan institusi yang bisa menerapkannya secara sempurna. Institusi tersebut adalah Khilafah.
Negara Khilafah yang akan menegakkan seluruh hukum Islam tanpa satu pun tertinggal. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah menyebutkan bahwa Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslim seluruh dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Institusi inilah yang akan mencegah segala bentuk kemungkaran dengan dakwah, menegakkan uqubat atau sanksi atas segala pelanggaran syariat, dan melaksanakan jihad fisabilillah. Penegakan syariat Islam secara kaffah oleh negara juga akan membentuk ketakwaan, baik individu maupun masyarakat.
Sebaliknya, tanpa Khilafah, banyak hukum syariat yang tidak dapat dilaksanakan dengan baik seperti dalam ekonomi, pendidikan, persanksian, hubungan luar negeri, dll. Akibatnya, kemaksiatan dan kemungkaran merajalela. Umat juga terus diliputi oleh berbagai permasalahan yang menimpakan derita tiada akhir. Karena itulah, umat butuh Khilafah agar syariat Islam dapat terlaksana secara kaffah dan memberi berbagai kebaikannya.
Urgensi Khilafah
Keberadaan Khilafah sangat penting. Sesungguhnya, penegakan khilafah merupakan mahkota kewajiban (tajul furudh) sekaligus kewajiban yang agung (a’dzamul wajibat). Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk kemaksiatan terbesar.
Menegakkan Khilafah menjadi kewajiban di atas kewajiban. Karena itu, membaiat khalifah bagi kaum muslim merupakan perkara yang mendesak dibanding apa pun, bahkan dalam urusan menunaikan kewajiban mengubur jenazah. Mengurus jenazah merupakan perkara penting, apalagi ini yang meninggal adalah Rasulullah. Namun, menetapkan pengganti beliau sebagai pemimpin bagi kaum muslim lebih didahulukan untuk dikerjakan. Para sahabat dan kaum muslim saat itu bersegera mencari pengganti dan membaiatnya sebagai khalifah sebelum mengurus pemakaman Rasulullah.
Hal ini menunjukkan urgensi penegakan Khilafah. Umat Islam harus selalu memiliki seorang pemimpin atau khalifah. Ketika seorang khalifah meninggal, maka harus segera ada penggantinya dalam jangka waktu maksimal tiga hari. Lebih dari itu, maka berarti umat seluruhnya telah melalaikan kewajiban dan berdosa.
Wajibnya Penegakan Khilafah
Khilafah adalah institusi penegak syariat Islam kaffah. Keberadaannya dijelaskan dalam banyak nas syar’i. Para ulama terdahulu mendefinisikan Khilafah dengan beragam redaksi. Khilafah disebut juga dengan sejumlah istilah yang kurang lebih semakna, yaitu Imamah, Dar Al-Islam, atau Imaratul Mukminin. (Wahbah Az-Zuhailî, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 8/407; Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, 17/517)
Kewajiban Khilafah ini telah disepakati secara ijmak (konsensus) oleh seluruh ulama yang tepercaya dari berbagai mazhab. Para ulama telah menjelaskan wajibnya Khilafah berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunah, ijmak sahabat, dan kaidah fikih. Adapun dalil dari Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an menyatakan bahwa ayat ini adalah dasar dalam pengangkatan seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati agar terjadi kesatuan pendapat umat dan hukum-hukum khalifah dapat diterapkan.
Selain itu, terdapat kaidah syar’iyyah atas wajibnya imamah (Khilafah), yang berbunyi “Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib” (Segala kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). Banyak perkara wajib yang tidak bisa dilaksanakan oleh individu seperti hudud dan harus dilakukan dengan mewujudkan kekuasaan yang ditaati oleh rakyat. Adapun kekuasaan tersebut adalah imamah. Dengan demikian, keberadaan imamah menjadi sesuatu yang wajib diadakan.
Tahapan Dakwah Islam Kaffah
Khilafah adalah institusi politik dan metode yang ditetapkan syariat untuk menerapkan Islam secara kaffah. Penegakan Khilafah tentu saja dengan langkah yang syar’i. Langkah ini mengikuti marhalah atau tahapan dakwah Rasulullah, yakni pembinaan, berinteraksi dengan masyarakat, dan penerimaan kekuasaan dari umat.
Tahapan pembinaan adalah membina dengan akidah Islam agar terbentuk kepribadian Islam pada diri kader dakwah. Kader dakwah juga dibekali dengan tsaqafah Islam dan dibangun kesadaran mengenai pentingnya dakwah. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saat membina para sahabat di Darul Arqam.
Tahapan berinteraksi dengan masyarakat berarti bahwa kader-kader yang sudah dibina tadi melakukan interaksi dengan masyarakat. Mereka keluar untuk membina masyarakat dengan Islam (akidah dan syariat). Pada tahapan ini akan muncul pergolakan pemikiran berupa kritik dan penentangan terjadap ide-ide kufur seperti demokrasi dan nasionalisme, kritik terhadap riba, membongkar rencana jahat negara kafir, serta melakukan kritik dan mengoreksi penguasa yang tidak menerapkan Islam. Tidak hanya kritikan terhadap buruknya sistem, tetapi solusi Islam juga disampaikan sebagai jalan keluar terbaik dari berbagai permasalahan. Kesadaran masyarakat juga akan dibangun agar kembali pada perintah Allah.
Tahapan ketiga adalah menerima kekuasaan dari umat. Ketika pemikiran Islam telah menjadi opini umum dan dukungan umat telah diraih, maka umat sendiri yang akan meminta agar Khilafah ditegakkan. Penyerahan kekuasaan terjadi untuk menegakkan pemerintahan Islam melalui baiat agar dapat menerapkan syariat Islam secara kaffah dan mengemban dakwah ke seluruh dunia.
Khatimah
Penegakan syariat Islam secara kaffah hanya dapat dilakukan oleh Khilafah. Syariat Islam tidak bisa diterapkan dalam bingkai sekularisme yang notabene jelas berbeda secara mendasar dengan Islam.
Adapun dalam kondisi ketiadaan Khilafah seperti saat ini, tugas umat adalah berjuang untuk menegakkannya kembali mengikuti metode yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Perjuangan penegakan kembali Khilafah menjadi manisfestasi ketakwaan kepada Allah Swt. Selain itu, memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah juga untuk menyambut kabar gembira yang disampaikan Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Ahmad: “…. Kemudian akan ada Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, kemudian beliau diam.”
Wallahualam bissawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
