Chilean Paradoks, akankah Terjadi pada Indonesia?

Chilean Paradoks, akankah Terjadi pada Indonesia?

Saat ini Indonesia telah masuk menjadi negara upper middle income country atau negara kelas menengah. Maka dari itu, Indonesia harus waspada terhadap potensi krisis sosial kaum menengah, sebagaimana di negara Chili dan tidak terjebak dengan Chilean Paradoks.

Oleh. Siti Komariah
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Sejahtera adalah dambaan setiap manusia dan seluruh bangsa, tanpa terkecuali Indonesia. Pemerintah Indonesia berupaya menjadikan negeri ini sebagai negeri yang maju di masa depan. Berbagai cara pun dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya memperluas masyarakat kelas menengah. Pasalnya, perluasan kelas menengah dianggap dapat membantu mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia dan dapat mengentaskan rakyat dari garis kemiskinan.

Pemerintah pun membuat berbagai program untuk memperluas kelas menengah ini dengan berbagai cara, seperti memasifkan urbanisasi dan mendorong geliat ekonomi dengan tren digitalisasi. Usaha pemerintah Indonesia pun tidak sia-sia. Pasalnya, menurut laporan Bank Dunia, selama 15 tahun terakhir ini pemerintah mampu membawa Indonesia pada tingkat kemiskinan di bawah 10 persen. Bahkan, pada Juli 2023 Bank Dunia memasukkan Indonesia ke dalam kategori negara berpenghasilan menengah atas atau upper middle income country. Ini artinya, Indonesia mengalami pemulihan perekonomian lebih cepat daripada negara-negara lainnya. Hal ini dianggap sebagai capaian yang luar biasa. (CNNIndonesia.com, 5-7-2023).

Tokoh: Indonesia Berpotensi Terkena Chilean Paradoks

Dengan statusnya sebagai negara upper middle income country, Indonesia tengah memasuki fase pertumbuhan pesat kalangan ekonomi kelas menengah. Ekonom UGM sekaligus Research Associate Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Evi Noor Afifah mengatakan bahwa tren ini akan dialami oleh setiap negara berkembang, termasuk Indonesia. Ketika tren tersebut terjadi, jangan sampai Indonesia akan mengalami krisis seperti Chili karena fokus pada pengentasan kemiskinan saja. 

Sebagaimana Chili dahulu, negara tersebut sampai mendapatkan julukan sebagai Jaguar Amerika Latin. Saat itu negara Chili dianggap mampu mengentaskan kemiskinan dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi dengan sangat cepat. Akan tetapi, negara Chili masih tetap mengalami ketimpangan dan krisis yang dipicu oleh ketidakpuasan kaum kelas menengah terhadap sulitnya menjangkau layanan publik. 

Di sisi lain, Ekonom senior yang sempat menjabat Menteri Keuangan 2013-2014 Chatib Basri, menyinggung fenomena Chilean Paradoks. Dia mengungkapkan bahwa fenomena ini tidak akan terjadi kepada Indonesia dalam waktu dekat. Akan tetapi bisa jadi fenomena ini akan terjadi setelah beberapa tahun ke depan jika pemerintah masih tetap fokus hanya pada kelas bawah dan mengabaikan kelas menengah. (bisnis.com, 31-12-2023)

Mengenal Chilean Paradoks 

Chilean Paradoks adalah istilah yang dikeluarkan oleh Ekonom Sebastian Edward saat munculnya gejolak sosial di negara Chili pada tahun 2019 lalu. Ada paradoks di balik pesatnya pertumbuhan ekonomi negara Chili. 

Menurut sejarah, tahun 1980-an, ekonomi Chili berapa di urutan bawah bersama Kolombia, Kosta Rika, Ekuador, dan Peru. Namun, akibat reformasi dari The Chicago Boys (TCB) dan kemudian dipertahankan oleh pemerintahan selanjutnya, membuat negara Chili berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Pertumbuhan ekonomi tersebut juga diiringi penurunan kemiskinan dari 53% di tahun 1897 menjadi 6% di tahun 2017, terendah di Amerika Latin.

Namun, di tengah kinerja ekonomi yang baik dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut, pada 25 Oktober 2019 justru terjadi demonstrasi besar yang nyaris menimbulkan revolusi. Sekitar lebih dari 1,2 juta rakyat Chili turun ke jalan yang dipicu oleh kenaikan tarif transportasi sebesar 4%. 

Dilansir dari Barisan.co, menurut Dartanto dan Can (2023) dalam White Paper LPEM FEB UI, protes tersebut terjadi disebabkan manfaat kebijakan ekonomi negara Chili kala itu hanya terfokus pada kelas bawah, bukan pada keseluruhan kelas masyarakat. Sebagaimana ia menjelaskan, kebijakan ekonomi Chili fokus pada 20% kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas. Sedangkan, kelompok kelas menengah terabaikan (40%-80%).

Ada yang kontras antara realitas dan persepsi. Kelompok menengah tidak menikmati pertumbuhan ekonomi, walaupun pertumbuhan ekonomi Chili dikatakan mengalami kenaikan yang cukup pesat. Kaum kelas menengah terus mengalami ketimpangan akibat kebijakan ekonomi negara Chili tersebut yang hanya memfokuskan pada pengentasan kemiskinan, tanpa memperhatikan masalah ketimpangan sosial. Hal itu terlihat ketika mereka ingin menggunakan layanan publik, mereka harus merogoh kocek yang dalam. 

Belum lagi, kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah Chili pun semakin berpihak pada pebisnis dan orang-orang yang dekat dengan penguasa, bukan pada rakyat yang ini membuat publik geram. Hal tersebut terlihat bagaimana tuntutan-tuntutan rakyat yang ditujukan pada privatisasi kebutuhan dasar, konsentrasi kekayaan, monopoli, dan kolusi.

Jangan Terperosok pada Chilean Paradoks

Saat ini Indonesia telah masuk menjadi negara upper middle income country atau negara kelas menengah sehingga Indonesia pun harus waspada terhadap potensi krisis sosial kaum menengah, sebagaimana di negara Chili. Menurut Chatib, saat ini banyak fenomena yang memperlihatkan sebagian masyarakat kelas menengah di Indonesia yang mulai menggunakan tabungannya untuk konsumsi. Menurutnya, ini adalah sinyal kuat bahwa kondisi kelas menengah ke bawah tidak baik-baik saja. 

Apa yang dikatakan Chatib ada benarnya bahwa kasus yang terjadi di Indonesia saat ini hampir mirip dengan Chili. Kebijakan ekonominya fokus kepada kelas bawah. Hal itu terlihat bagaimana indikator-indikator pengentasan kemiskinan ekstrem terus digenjot. Bantuan-bantuan selalu ditujukan kepada kaum bawah, sedangkan kaum menengah ke bawah tak layak mendapatkan bantuan sebab mereka tidak masuk kategori miskin. Padahal, beban kebutuhan hidup mereka pun sama. Hal ini akan memicu terjadinya ketimpangan. Apalagi kaum menengah merupakan pengeluh terbaik yang akan menuntut berbagai pemerintahan yang lebih baik, bersih, serta pelayanan publik yang berkualitas. 

Di sisi lain, kebijakan-kebijakan ekonomi sering kali memihak pada pemilik modal dan pengusaha, bukan pada rakyat. Privatisasi layanan publik pun kian tampak di negeri ini. Lihat saja, biaya pendidikan mahal, biaya kesehatan melejit, jalan tol berbayar, dan layanan publik lainnya yang juga sangat sulit dijangkau oleh rakyat. Hal ini jelas sangat relevan dengan kondisi di negara Chili. Maka dari itu Indonesia harus berhati-hati terjebak pada Chilean Paradoks.

Jangan dengan dalih investasi atau pertumbuhan ekonomi, rakyat senantiasa menjadi korban. Rasa keadilan dipinggirkan. Keadilan hanya memihak kepada para pemilik modal atau pengusaha, sedangkan rakyat harus menderita dengan berbagai kebijakan pembangunan yang justru merampas mata pencarian mereka, hingga menyengsarakan hidup mereka. 

Indonesia Harus Belajar dari Chili

Indonesia harus belajar dari negara Chili dalam fase ini agar tidak mengalami hal yang sama. Selanjutnya bahwa Indonesia tidak boleh fokus hanya pada pengentasan kemiskinan, tetapi melupakan masalah ketimpangan. Indonesia harus membuat kebijakan ekonomi yang menciptakan rasa keadilan bagi seluruh elemen masyarakat agar kesejahteraan dirasakan oleh seluruh rakyat sehingga ketimpangan tidak terjadi. 

Namun yang menjadi sebuah pertanyaan, apakah Indonesia mampu mengambil kebijakan yang memihak pada rakyat dan menghapus ketimpangan di seluruh elemen masyarakat? Sebagaimana kita ketahui bahwa saat ini sistem kepemimpinan bukan memprioritaskan rakyat banyak, tetapi lebih memihak pada pemilik modal atau segelintir orang. Orang yang memiliki kekuasaan atau modal bisa ikut campur dalam pembuatan kebijakan yang lebih memihak pada kepentingan mereka, sedangkan orang yang berada di kelas bahwa hanya mampu menerima kebijakan tersebut tanpa bisa berbuat apa-apa.

Islam Menghapus Ketimpangan dan Kemiskinan

Islam merupakan sebuah institusi kepemimpinan yang mampu mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan di tengah-tengah masyarakat, kemudian membawa rakyatnya pada kesejahteraan. Masalah kemiskinan dan ketimpangan yang terus menggurita di negeri kapitalisme adalah kesalahan dalam pengelolaan harta milik umat, serta buruknya pendistribusian kekayaan.  Dalam kapitalisme, distribusi kekayaan hanya beredar pada si kaya saja, sedangkan si miskin tidak mendapatkan apa pun. Akibatnya mereka semakin miskin. 

Dalam sistem Islam, buruknya pendistribusian kekayaan di tengah masyarakat merupakan hal utama yang menyebabkan terjadinya kemiskinan dan ketimpangan. Oleh karena itu, penerapan sistem ekonomi Islam memastikan bahwa pendistribusian kekayaan dapat beredar ke seluruh rakyat, bukan pada elemen masyarakat tertentu. 

Sistem politik ekonomi Islam mewajibkan pemimpin atau khalifah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan per individu rakyatnya, dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Jika seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, pemenuhan kebutuhan hidupnya jatuh pada kerabat terdekatnya. Jika kerabat terdekat tidak mampu, pemenuhan kebutuhan hidupnya akan diambilkan dari harta zakat. Namun, jika harta zakat tidak cukup, pemenuhan kebutuhan hidupnya jatuh pada negara. Negara akan menggunakan mekanisme bantuan langsung tunai atau memberikan pekerjaan kepada pencari nafkah. Hal ini berlaku bagi seluruh warga negara yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Selain itu, negara pun mewajibkan zakat bagi setiap penghasilan yang telah mencapai nisabnya. Zakat ini dimasukkan ke dalam pos pemasukan baitulmal. Negara Islam juga akan memahamkan rakyat pentingnya menyedekahkan hartanya di jalan Allah, memperhatikan kondisi tetangganya sehingga ketimpangan tidak akan terjadi antara orang kaya dan orang miskin. 

Islam Mengurus Seluruh Urusan Rakyat

Di sisi lain, pengelolaan harta milik umum, seperti tambang emas, nikel, batu bara, dan lainnya tidak diperbolehkan untuk dikuasai oleh asing atau swasta. Pengelolaan sumber daya alam ditujukan untuk membiayai seluruh pelayanan publik, seperti pendidikan, keamanan, dan kesehatan. Pengelolaan tersebut dipergunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Aktivitas ini pun harus dilakukan oleh negara dengan penuh tanggung jawab, amanah, dan transparan. Hal ini sebagai wujud pertanggungjawaban seorang pemimpin kepada rakyatnya. 

"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus urusan rakyat) dan dia akan mempertanggungjawabkan tentang pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari)

Islam mengurus seluruh urusan rakyat, tidak terpaku pada satu elemen masyarakat tertentu saja sebagaimana sistem kapitalisme saat ini. Setiap rakyat dianggap memiliki hak yang sama untuk menikmati fasilitas umum dan memperoleh kesejahteraan hidup. 

Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah jelas akan mampu menyejahterakan rakyatnya, mengatasi kemiskinan, dan ketimpangan. Hal ini asalkan Indonesia mau menjadikan Islam sebagai aturan hidupnya. Sebagaimana Islam yang terbukti mampu membawa rakyatnya pada kesejahteraan selama kurang lebih 13 abad. Salah satu contoh pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ketika itu, Yahya bin Said sebagai petugas zakat sedang mencari orang yang miskin untuk diberikan bantuan. Namun dia tidak menemukan satu pun dari rakyatnya yang miskin. Khalifah Umar mampu membawa rakyatnya hidup berkecukupan. Sungguh gambaran luar biasa dalam sistem Islam.

Baca juga: Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi: "Antara Mitos dan Realitas"

Khatimah

Kemiskinan dan ketimpangan akan terus terjadi di Indonesia jika masih menerapkan sistem ekonomi kapitalistik. Sebab, sistem ini meniscayakan kekayaan beredar hanya pada orang kaya. Dalam artian, siapa yang memiliki harta, dialah yang berkuasa. Begitu pun dengan pengelolaan sumber daya alam yang harusnya untuk kesejahteraan rakyat justru dinikmati oleh segelintir orang atau pemilik modal.

Jika ingin mengentaskan kemiskinan dan tidak mengalami Chilean Paradoks, jalan satu-satunya adalah mengambil Islam secara kaffah. Sebab, Islam adalah aturan dari Sang Pemilik alam semesta yang memahami hakikat kehidupan ini. Wallahualam bissawab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Siti Komariah Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Dering sang Maestro
Next
Petaka Iklim di Negara Seribu Danau
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram