
Jika menelisik kronologi kasus Harun Masiku maka kita akan menyadari betapa lambatnya kinerja KPK dalam menuntaskan kasus ini. Hal ini semakin menipiskan kepercayaan publik kepada lembaga penegak hukum atas keseriusan mereka dalam menuntaskan kasus suap dan korupsi di negeri ini.
Oleh. Annisa Wayyu Zahari
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Tidak luput dari ingatan publik mengenai salah satu kasus fenomenal yang melibatkan eks kader PDI-Perjuangan, Harun Masiku. Ia sempat lolos dalam OTT KPK pada 8 Januari 2020. Akhirnya dirinya ditetapkan menjadi buronan pada 29 Januari 2020. Terhitung hampir 5 tahun sudah sejak masuknya Harun Masiku dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Tampaknya permainan “petak umpet” antara KPK dan Harum Masiku kini masih belum menunjukkan kejelasan dan titik terang terkait keberadaan dirinya.
Dilansir dalam Liputan6.com (4-1-25), Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto mengatakan bahwa terdapat berbagai informasi yang beredar di masyarakat, di mana Harun Masiku telah berpindah kewarganegaraan. Juru bicara KPK yang juga memiliki latar belakang penyidik ini mengajak masyarakat untuk ikut melapor pada KPK jika memiliki informasi berupa data atau bukti yang mendukung terkait kasus ini.
Babak Baru Kasus Suap Harun Masiku
Buronan KPK Harun Masiku kini kembali ramai dibincangkan oleh publik setelah KPK menetapkan 2 tersangka baru. Keduanya yaitu Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto (HK) dan pengacara PDI-P sekaligus orang kepercayaan Hasto yakni Dony Tri Istiqomah (DTI).
Dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK (24-12-2024), Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan bahwa HK dan DTI terlibat kasus suap terhadap eks Komisioner KPU Wahyu setiawan. Penetapan HK sebagai tersangka dalam perkara ini menimbulkan beberapa respons dari masyarakat yang menganggap keputusan ini sarat akan nuansa politik.
Kemunculan tersangka baru yang berasal dari kalangan elite politik setelah 5 tahun ini juga mengundang reaksi dari pengamat hukum yang menganggap KPK sebenarnya sudah mengetahui tiap orang yang terlibat dalam kasus Harun Masiku ini. Namun pemimpin KPK sebelumnya diduga berpolitik. Hal ini sejalan dengan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menduga penegakkan hukum terhadap kasus ini terindikasi kuat berkaitan dengan elite partai politik yang bisa menyeret politikus papan atas.
Jika menelisik kronologi kasus Harun Masiku maka kita akan menyadari betapa lambatnya kinerja KPK dalam menuntaskan kasus ini. Hal ini semakin menipiskan kepercayaan publik kepada lembaga penegak hukum atas keseriusan mereka dalam menuntaskan kasus suap dan korupsi di negeri ini.
Korupsi dan Demokrasi
Kasus korupsi dan suap-menyuap seakan sudah mendarah daging dan menjadi budaya yang selalu dipertontonkan oleh para pejabat negeri. Mengapa demikian? Tentu banyak faktor yang memengaruhi hal ini. Mental korup dan sikap tidak amanah dalam diri beberapa pejabat merupakan salah satu faktor individual. Ini merupakan imbas dari pemilihan dan pengangkatan pejabat negara yang tidak berlandaskan keimanan dan ketakwaan. Bahkan terkadang pemilihan dan pengangkatan pejabat hanya didasarkan oleh faktor kedekatan dan balas jasa.
Selain itu, terdapat faktor sistemis akibat penerapan sistem politik demokrasi kapitalisme. Sistem ini seakan membuka ruang bagi orang-orang untuk saling berebut kekuasaan. Besarnya biaya politik yang dibutuhkan membuat para politisi harus mencari bantuan modal dari para pemodal oligarki. Tentu saja bantuan itu didapatkan tidak secara gratis.
Imbasnya, para politisi yang berhasil menduduki kekuasaan harus memutar otak, mencari cara untuk mengembalikan modal yang telah digunakan selama pesta demokrasi. Di sinilah pintu korupsi terbuka lebar. Saling suap-menyuap untuk mencapai posisi yang diinginkan dengan mengubah aturan sesuai kepentingan pribadi atau sekelompok elite. Akhirnya budaya korup ini seolah tidak bisa dihindari. Hal ini bagaikan lingkaran setan yang tidak bisa dihilangkan dalam sistem demokrasi yang berlandaskan kedaulatan rakyat. Konsep perwakilan dan asas kebebasan yang membuat kekuasaan menjadi ajang rebutan.
Kekuasaan dalam sistem demokrasi kapitalisme seperti menjadi gerbang untuk mewujudkan berbagai kepentingan dari sisi materi maupun jabatan. Hal ini tidak lepas dari hasil upaya menghilangkan peran agama dalam kehidupan, termasuk urusan berpolitik dan bernegara. Akhirnya, kekuasaan bagaikan sebuah komoditas untuk mencari keuntungan. Tidaklah mengherankan jika banyak kebijakan yang dihasilkan jauh dari keberpihakan terhadap rakyat.
Korupsi dalam Pandangan Islam
Ketidakmampuan manusia dalam menuntaskan persoalan lewat aturan yang dibuat dari hasil pemikirannya sendiri merupakan bukti terbatasnya kemampuan akal manusia mengenai kehidupan. Hal ini harusnya membuat kita sadar bahwa manusia membutuhkan aturan yang tidak hanya untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu, tetapi aturan yang bisa menjamin pemenuhan fitrah setiap manusia.
Allah Swt. telah menurunkan seperangkat aturan yang mengatur manusia dalam berbagai aspek kehidupan, tanpa terkecuali dalam urusan politik dan bernegara (termasuk persoalan korupsi dan suap). Dalam pemerintahan Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul yaitu harta yang diperoleh para wali, amil, dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i. Termasuk di dalamnya harta-harta yang diperoleh dengan memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya, seperti suap dan korupsi (maka menjadi haram untuk dimiliki).
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji) maka yang diambil oleh dia setelah itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR. Abu Dawud)
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa ghulul (korupsi), maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat”. (HR. At-Tirmidzi)
Peringatan ini jelas menunjukkan bahwa Islam melarang keras segala praktik kecurangan, termasuk korupsi dan suap. Tidak hanya dalam bentuk konsep larangan, sistem Islam juga menyediakan strategi-strategi untuk menutup ruang terjadinya kasus korupsi atau suap yang dilakukan oleh para pejabat negara.
Menutup Ruang Terjadinya Korupsi
Dalam negara Islam terdapat sistem perekrutan. Pegawai dan pejabat negara harus memiliki keimanan dan ketakwaan yang kokoh. Dalam benaknya tidak ada sedikit pun terlintas untuk menerima suap karena takut akan azab Allah. Daulah Islam mengatur status pejabat negara sebagai pekerja (ajir) dan majikannya (musta'jir). Hak-hak dan kewajiban antara ajir dan musta'jir diatur dengan akad ijarah.
Dari sisi kepemilikan harta, para pejabat juga dikontrol dalam Daulah Islam. Negara akan rutin menghitung dan membandingkan kekayaan para pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika terjadi kenaikan drastis secara tidak wajar maka ia akan dimintai pertanggungjawaban. Sementara jika tidak bisa mempertanggungjawabkan maka hartanya akan disita atau dimasukkan ke baitulmal.
Daulah Islam juga akan memberikan hukuman yang berat sehingga membuat efek jera. Penegakannya dilakukan secara adil, tanpa pandang bulu. Penetapan sanksi takzir bagi koruptor berdasarkan pada ijtihad khalifah. Ketegasan sistem Islam dalam memberikan sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus). Artinya, sanksi yang ditetapkan membuat orang lain (bukan pelanggar hukum) tercegah untuk melakukan tindakan kriminal dan menjadi penebus dosa bagi para pelaku.
Itulah beberapa strategi yang dilakukan sistem Islam dalam Daulah Islamiah sebagai upaya untuk menutup ruang terjadinya kasus korupsi dan suap menyuap. Negara bertanggung jawab penuh untuk menghadirkan lingkungan yang menghadirkan ketakwaan setiap individu dan menutup celah terjadinya kemaksiatan. Ini semua hanya bisa ditemukan dalam negara yang menerapkan aturan Islam dalam bingkai Khilafah. Wallahualam bissawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

[…] Baca juga: Kronologi Kasus Harun Masiku […]