
Besarnya cadangan minyak bumi di Blok Warim tidak akan mampu mewujudkan mimpi rakyat Papua selama dikelola dengan sistem ekonomi kapitalisme.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.Id-Di tengah ramainya pemberitaan tentang kesulitan masyarakat dalam mendapatkan LPG 3 kg, pemerintah sedang gencar-gencarnya menawarkan blok baru. Ladang minyak yang berada di Papua itu diyakini memiliki potensi terbesar di Indonesia oleh pemerintah. Ladang minyak itu bernama Blok Warim.
Pemerintah telah melelang ladang minyak tersebut dalam satu tahun terakhir. Namun, penduduk asli yang berpotensi terdampak mengaku tidak pernah dimintai persetujuan. Pengakuan mereka berbeda dengan yang disampaikan oleh pejabat di Jakarta. (bbc.com, 03-02-2025)
Potensi Blok Warim yang Luar Biasa
Blok Warim berada di sebuah cekungan bernama Cekungan Akimeugah. Cekungan yang sangat luas ini membentang dari sisi timur hingga barat di Papua bagian tengah. Wilayah Blok Warim meliputi seperempat cekungan ini, yaitu 23.778 kilometer persegi, setara dengan 35 kali luas DKI Jakarta.
Seorang geolog dari Institut Teknologi Bandung, Profesor Benyamin Sapiie mengatakan bahwa potensi minyak bumi di Blok Warim diperkirakan mencapai 25–30 miliar barel. Bandingkan dengan Blok Rokan yang potensinya sebesar 11 miliar barel. Ladang minyak yang terletak di Provinsi Riau ini sebelumnya disebut sebagai ladang minyak terbesar di Indonesia. Namun, setelah dieksploitasi antara 1951–2021, cadangan minyak di blok ini diperkirakan hanya tinggal 500 juta hingga 1,5 miliar barel.
Wajar jika potensi Blok Warim dianggap luar biasa. Pemerintah pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menambah pendapatan dari blok ini. Pada 1987, pemerintah telah memberikan izin eksplorasi kepada ConocoPhillips, perusahaan minyak dari Amerika Serikat.
Perusahaan itu telah membuat beberapa sumur minyak di beberapa kabupaten di Papua. ConocoPhillips kemudian berencana mengeksplorasi bagian utara Blok Warim. Namun, sejak Desember 1999, sebagian Blok Warim yang diserahkan ke ConocoPhillips telah berubah statusnya. Wilayah yang merupakan bagian dari Taman Nasional Lorentz itu telah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Oleh karena itu, ConocoPhillips kemudian mengembalikan izin eksplorasi ke pemerintah pada 2015.
Mengapa Masyarakat Menolak Eksplorasi Blok Warim?
Besarnya potensi yang dimiliki Blok Warim ternyata tidak membuat penduduk asli merasa bahagia. Masyarakat Agimuga yang berada di wilayah Blok Warim justru merasa khawatir dengan berbagai kerusakan serta dampak negatif yang timbul dari eksplorasi minyak di sana. Agimuga adalah nama lain dari Akimeugah. Mereka khawatir akan tersingkir dari tanah kelahiran mereka. Mereka juga khawatir hanya akan mendapatkan limbah dan menyaksikan kekayaan mereka dinikmati oleh orang lain. Itulah sebabnya, mereka justru menolak eksploitasi Blok Warim.
Kekhawatiran mereka itu bukan tanpa alasan. Eksploitasi yang dilakukan oleh Freeport telah menjadi bukti nyata rusaknya lingkungan yang memberi dampak buruk bagi mereka. Limbah penambangan Freeport menyebabkan terjadinya sedimentasi di sungai yang berada di selatan Mimika. Pendangkalan sungai itu membuat perahu-perahu tidak dapat berlayar, padahal Agimuga hanya dapat dijangkau melalui jalur sungai. Masyarakat pun terpaksa bepergian lewat Laut Arafura yang sangat berbahaya.
Menurut Freeport, potensi sedimentasi muara Sungai Ajkwa telah tercantum dalam dokumen amdal tahun 1997 yang telah disetujui pemerintah. Pada dokumen amdal 2023, Freeport berjanji akan tetap memberikan bantuan kepada mereka yang terdampak sedimentasi muara sungai. Sayangnya, warga Agimuga tidak termasuk di dalamnya.
Freeport kemudian memberikan bantuan berupa bus dan motor tempel gratis kepada masyarakat Ayuka, Koperapoka, Nawaripi, Nayaro, dan Tipuka. Kelima daerah ini yang dianggap masuk dalam wilayah usaha pertambangan Freeport. Selain itu, Freeport juga memberikan bantuan kepada masyarakat di Fanamo, Omawita, dan Otakwa yang dianggap terkena dampak tidak langsung dari limbah perusahaan.
Janji-janji Manis
Namun, setelah masalah yang dihadapi oleh warga Agimuga ini dibahas di DPR, Freeport pun berjanji akan memberikan bantuan agar masyarakat Agimuga, Jita, dan Mimika Timur Jauh dapat berlalu lalang ke Timika dengan mudah. Freeport juga berjanji akan mendirikan rumah singgah bagi warga Agimuga. Selain itu, perusahaan tersebut juga berjanji akan menormalisasi jalur air tradisional sepanjang 24 km. Hingga kini, warga Agimuga masih menunggu realisasi janji-janji itu. Lebih dari itu, masyarakat di sana juga khawatir akan terulangnya Tragedi 1977, yaitu tragedi yang terjadi setelah Organisasi Papua Merdeka (OPM) melakukan penyerangan ke kantor polisi di Agimuga pada 18 Juni 1977. Selain itu, OPM dan warga sipil Papua menutup lapangan terbang dan menyandera 30 pendatang yang berasal dari Flores, Kei, dan Sulawesi.
Kemudian, pada Juli 1977, kelompok itu juga memotong dan meledakkan sebagian pipa konsentrat Freeport. Pipa itu digunakan untuk mengalirkan hasil tambang ke Pelabuhan Amamapare. Pipa itu merupakan satu-satunya jalur yang digunakan Freeport. Wakil Ketua DPRD Jayawijaya G.A. Mandika mengatakan bahwa aksi itu dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat yang merasa dirugikan dengan eksploitasi yang dilakukan Freeport.
Kekecewaan Penduduk Asli
Pemerintah kemudian menggelar operasi militer ke wilayah di pegunungan Papua pada 1977–1978. Namun, pemerintah mengatakan bahwa militer berupaya memadamkan perang antarsuku di sana. Mantan Gubernur Irian Barat Eliezer Bonay mengatakan bahwa operasi militer itu mengakibatkan jatuhnya ribuan rakyat sipil. Menurut kesaksian warga, jumlahnya mencapai 4.146 orang. Inilah yang menyebabkan penduduk asli yang tinggal di sekitar Blok Warim menolak eksplorasi minyak bumi di sana. Eksplorasi itu tidak memberikan kesejahteraan bagi mereka. Hingga saat ini, masyarakat di sana tetap miskin. Tidak ada jaringan telekomunikasi. Sinyal internet hanya ada di kantor koramil serta puskesmas. Mereka juga harus membayar jika hendak memanfaatkan fasilitas tersebut. Mereka pun terpaksa mengubur dalam-dalam mimpi hidup sejahtera dari pengelolaan kekayaan di sana.
Kapitalisme Sumber Masalah
Disetujuinya pengelolaan SDA di Papua oleh Freeport dan ditawarkannya Blok Warim ke perusahaan swasta menunjukkan diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini. Eksploitasi yang mendatangkan bencana bagi penduduk asli itu tetap disetujui oleh penguasa, padahal mereka dapat menolaknya. Penguasa seperti tidak berkutik saat berhadapan dengan para kapitalis.
Baca juga : Kapitalisasi SDA, Siapa yang Diuntungkan?
Fakta ini menunjukkan adanya sistem pemerintahan oligarki dalam negeri ini. Oligarki adalah penguasaan pemerintahan oleh sekelompok kecil orang. Mereka memiliki kekuatan yang sangat besar sehingga dapat menguasai ekonomi, sumber daya, bahkan kebijakan negara. (wikipedia.org)
Hal itu menunjukkan bahwa penguasa lebih berpihak kepada pemilik perusahaan. Keberadaan penguasa dalam sistem kapitalisme memang hanya menjadi regulator untuk memuluskan proyek-proyek para kapitalis. Sementara itu, kepentingan rakyat diabaikan.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di semua negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Para penguasa di negara-negara tersebut telah tersandera karena mendapat dukungan dari para kapitalis untuk meraih kekuasaan. Sebagai balas budi atas dukungan itu, mereka memberikan izin usaha, meskipun harus mengorbankan rakyat sendiri.
Pengelolaan SDA dalam Islam
Pengelolaan SDA dalam Islam dilandaskan pada tiga prinsip, yaitu kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, serta distribusinya. Selain itu, penguasa tidak berperan sebatas regulator, tetapi sebagai pelayan rakyat. Hal ini sesuai dengan HR. Bukhari dan Muslim.
ألَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأمِيْرُ الَّذِيْ عَلَي النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ
Artinya: “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawabannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban atas mereka.”
Oleh karena itu, negara akan mengelola SDA sebagai kepemilikan umum yang hasilnya harus dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu seluruh rakyat. Selain itu, dalam mendistribusikan hasil pengelolaan SDA, negara tidak akan berorientasi pada laba. Jika negara menjual hasil pengelolaan SDA tersebut ke rakyat, keuntungan yang diambil pun sangat sedikit.
Dalam melakukan eksploitasi SDA, negara juga tidak akan merusak lingkungan karena hal ini dilarang. Allah Swt. telah menyatakannya dalam QS. Al-A’raf [7]: 56.
وَلَا تُفْسِدُوْا فِي الْأرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
Oleh karena itu, pengelolaan SDA dalam Islam tidak akan menimbulkan dampak negatif karena lingkungan tetap terjaga kelestariannya. Selain itu, masyarakat yang berada di sekitar lokasi eksploitasi juga tidak dirugikan. Mereka tetap dapat hidup sejahtera dan menikmati hasil kekayaan alam yang ada di sana.
Khatimah
Inilah fakta pengelolaan SDA dalam sistem kapitalisme yang hanya menguntungkan para kapitalis. Sementara itu, rakyat yang menjadi pemilik sah kekayaan alam tersebut harus menerima dampak negatif akibat kerusakan alam yang menjadi sumber penghasilan mereka. Mereka pun makin miskin dan jauh dari kata sejahtera.
Oleh karena itu, sudah semestinya jika pengelolaan SDA menggunakan aturan Islam. Dengan aturan ini, seluruh rakyat akan ikut menikmati hasilnya. Sayangnya, hal ini hanya dapat dilaksanakan dalam sistem yang menerapkan Islam secara kaffah. Wallaahua'lam bi ash-shawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
