Ramadan: Beban Ganda Perempuan, Benarkah?

Ramadan Beban Ganda Perempuan, Benarkah

Narasi yang menyatakan bahwa perempuan harus menanggung beban ganda selama bulan Ramadan merupakan dampak dari norma budaya patriarki.

Oleh. Mahganipatra
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu oleh seluruh umat Islam, termasuk para perempuan (muslimah). Selama bulan Ramadan, mereka memiliki peran yang sangat krusial untuk meningkatkan spiritualitas, baik untuk diri mereka sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Keberadaan perempuan menjadi salah satu pilar utama dalam menghadirkan suasana Ramadan yang penuh berkah.

Produktivitas perempuan di bulan Ramadan akan makin tampak dan berpengaruh, baik bagi aspek keagamaan maupun aspek sosial. Pada saat Ramadan, seorang istri/ibu biasanya harus bangun lebih awal untuk menyiapkan hidangan sahur. Lalu jadwal tidur pun akan lebih larut karena harus membersihkan perabotan rumah. Meskipun anggota keluarga berpuasa, bukan berarti pekerjaan rumah berkurang. Biasanya beban tugas seorang istri/ibu akan berkali-kali lipat dibandingkan dengan biasanya.

Sebaliknya, bagi laki-laki justru memiliki lebih banyak kesempatan untuk lebih fokus dalam beribadah. Demikian pula dengan masalah pekerjaan nondomestik, para bapak biasa mendapatkan dispensasi dari tempat kerja mereka. Dari perbedaan ini, tampak jelas bahwa tugas domestik perempuan makin bertambah sehingga peluang untuk kegiatan nondomestik makin berkurang.

Teori mubadalah menilai hal ini sebagai bentuk ketimpangan konsep kesalingan. Fenomena tersebut dianggap sebagai beban ganda yang menyelisihi sifat fitrah perempuan. Benarkah produktivitas perempuan yang berusaha menjadi hamba Allah yang lebih taat dengan menjadi istri/ibu yang penuh kasih dan mendukung keluarganya agar bisa menjalani ibadah Ramadan ini menyelisihi fitrah perempuan?

Ramadan dan Teori Mubadalah

Pandangan adanya perlakuan berbeda terhadap kedua gender ini (baca suami/istri) dalam teori mubadalah yang dikembangkan oleh aktivis gender di mubadalah.id. Hal ini dianggap sebagai penindasan dan subordinasi gender akibat paham patriarki yang masih kuat di Indonesia. Ketersalingan antara laki-laki dan perempuan dalam pemahaman teori mubadalah bermakna bahwa kedua gender tersebut harus memiliki hubungan yang setara, adil, dan saling melengkapi dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam keluarga, sosial, maupun keagamaan. (mubadalah.id, 20-2-2025)

Oleh karena itu, dalam pandangan mubadalah, momentum Ramadan adalah kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan refleksi atas ketimpangan gender supaya relasi kesalingan antara laki-laki dan perempuan bisa berjalan secara harmonis dalam kehidupan. Perempuan tidak boleh menanggung beban ganda dan tanggung jawab yang lebih berat dibandingkan dengan laki-laki.

Menurut mereka, kondisi ini sangat berat dirasakan oleh perempuan. Selain harus menjalankan peran domestik (seperti mengurus rumah tangga dan keluarga), perempuan juga harus melakukan perannya di beragam sektor publik. Contohnya ketika perempuan harus bekerja dan terjun langsung di berbagai bidang, seperti menjadi pelaku UMKM dan anggota legislatif.

Akibatnya, menurut mereka, telah terjadi peran ganda bagi perempuan karena dituntut untuk bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas tersebut. Seharusnya, menurut teori mubadalah, itu bukan tanggung jawab dan kewajiban perempuan saja, tetapi juga tanggung jawab dan kewajiban laki-laki. Paradigma dan narasi berpikir teori mubadalah ini, jelas-jelas telah merusak dan menyesatkan opini tentang peran dan fungsi perempuan dalam hubungan relasi suami dan istri.

Narasi Sesat Beban Ganda Perempuan

Ungkapan yang menyatakan bahwa perempuan harus menanggung beban ganda selama bulan Ramadan sebagai dampak dari norma budaya patriarki. Narasi ini dibangun berdasarkan pada paradigma berpikir yang dilandasi oleh pemikiran feminisme sekuler.

Hubungan relasi suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga muslimah bukan berdasarkan konsep ketersalingan antara laki-laki dan perempuan seperti yang digambarkan serta dipahami oleh teori mubadalah. Menurut teori mubadalah, kedua gender ini harus memiliki hubungan yang setara, adil, dan saling melengkapi dalam berbagai aspek kehidupan.

Akibatnya, mereka akan saling menuntut peran yang sama atau bahkan berganti peran. Contohnya pada bulan Ramadan ini, umumnya perempuan (istri/ibu), mereka menyiapkan keperluan buka dan sahur untuk keluarganya. Sebaliknya seorang suami/ayah justru lebih fokus pada hal-hal yang bersifat spiritual. Hal ini bukan berarti telah terjadi sebuah penindasan atau subordinasi gender. Namun, lebih kepada kesadaran akan fungsi dan perannya yang telah ditetapkan oleh hukum syarak:

Baca juga: https://narasiliterasi.id/opini/02/2025/proyek-deradikalisasi-meredam-peran-politik-ulama/

Ketika perempuan yang menjalankan perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (umm wa rabbatul bayt) sesungguhnya perempuan sedang berlomba-lomba untuk meraih pahala pada bulan Ramadan yang Allah lipat gandakan pahalanya, bukan justru bermakna terjebak ke dalam peran ganda perempuan.

Relasi Suami Istri dalam Islam

Di dalam sistem Islam kaffah, laki-laki dan perempuan keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama, bahkan kedudukan mereka sama di hadapan Allah Swt. Artinya bahwa kaum laki-laki dan perempuan setara sebagai hamba Allah Swt. yang memiliki peluang yang sama untuk meraih derajat takwa.

Hikmah dan penjelasan terkait "takwa" ini bisa kita tangkap dari tadabur Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 183: "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Seruan Allah Swt. dengan frasa "Wahai orang-orang beriman" ditujukan kepada manusia tanpa melihat gender. Artinya seruan kewajiban berpuasa ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan tanpa memandang jenis kelamin (gender). Dalam pandangan Islam, kedudukan dan kewajiban keduanya dari sisi sifatnya sebagai manusia (insaniah) setara di hadapan Allah Swt.. Mereka sama-sama terkena taklif hukum syarak untuk menunaikan ibadah puasa supaya meraih derajat takwa.

Peluang Berlomba Raih Ketakwaan

Demikian pula dalam perkara-perkara penting terkait kewajiban dan tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan yang sesuai dengan ajaran Islam, banyak sekali dalil Al-Qur'an maupun hadis yang menjelaskannya. Adapun dalam masalah peran dan fungsi dari keduanya, Rasulullah saw. telah menjelaskan dengan rinci dalam hadis-hadis beliau.

Bahkan beliau juga pernah mencontohkannya dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga beliau. Rasulullah saw. suka sekali membantu pekerjaan istri-istrinya terutama di dalam kehidupan keluarga dan urusan domestik.

Bantuan ini bukan berarti mengubah peran dan fungsi seperti yang dipahami oleh mubadalah. Namun, semata-mata untuk saling meringankan dalam menunaikan hak dan kewajiban saja. Begitu pun dengan kondisi dan suasana ketika puasa di bulan Ramadan. Semestinya banyaknya beban pekerjaan menjadi peluang bagi laki-laki dan perempuan untuk saling berlomba-lomba meraih derajat takwa.

Mereka memiliki tanggung jawab yang sama untuk menyelesaikan problem rumah tangganya sesuai dengan hak dan kewajiban berdasarkan ketetapan hukum syarak. Di dalam sistem Islam kaffah, suami dan istri dituntut untuk kompak dan harus mampu menjadi sahabat bagi pihak yang lain sehingga keduanya akan senantiasa saling membahagiakan. Demikian pula dengan seluruh anggota keluarga. Semua bisa saling bekerja sama, saling bantu untuk meringankan pekerjaan anggota keluarga yang lain. Semua dilakukan dalam rangka membangun keluarga dan masyarakat yang harmonis, bahagia, dan berhasil.

Khatimah

Relasi suami dan istri hanya bisa dilaksanakan secara sempurna ketika setiap individu muslim memahami hak dan kewajiban masing-masing. Tanpa memelintir atau menginterpretasikan makna ayat maupun hadis tertentu sesuai hawa nafsu semata.

Tentu saja hal ini hanya bisa terwujud ketika negara menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam naungan institusi negara Khilafah Islamiah. Jika negara masih mengatur seluruh urusan dengan sistem kapitalisme sekuler, relasi suami istri yang berkah dan barakah hanyalah mimpi di siang bolong.. Wallahualam bissawab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Mahganipatra Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Parental Abduction dan Pengasuhan Anak dalam Islam
Next
Ambil Peran Perubahan VS #KaburAjaDulu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Mahganipatra
Mahganipatra
4 months ago

Jika paradigma berpikir kita sekuler dan terpengaruh oleh pemikiran feminisme, numpuknya pekerjaan bagi istri/ibu memang bikin beban. Akan tetapi kalau pemikiran kita bersaudara pada syariat Islam tentunya Ramadan itu momentum untuk panen pahala.
MasyaAllah, semoga Ramadan kita tahun ini benar-benar bisa meraih derajat takwa. Aamiin Allahumma aamiin

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram