
Beras oplosan menjadi bukti lemah dan tidak bergiginya regulasi yang ada. Dalam kasus beras oplosan ini besarnya kerugian konsumen lebih dari Rp99 triliun yang terjadi di 10 provinsi.
Oleh. Sri Haryati
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)
NarasiLiterasi.Id-Beras merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia. Keberadaannya yang sangat penting menjadi ladang bisnis yang menghasilkan banyak keuntungan bagi para pengusaha. Terlebih pengusaha nakal yang menghalalkan segala cara demi meraup untung besar. Bagaimana tidak, baru-baru ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan adanya fenomena beras oplosan.
Fakta Beras Oplosan
Dikutip dari, nasional.kompas.com, (13-07-2025) dalam investigasinya Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman beserta Satgas Pangan menemukan beras oplosan yang beredar di pasaran. Bahkan, sampai di rak-rak minimarket juga supermarket yang dikemas premium padahal kualitas dan kuantitasnya medium.
Sedikitnya ditemukan 212 merek beras yang terbukti tidak memenuhi standar mutu. Mulai dari berat kemasan yang tidak sesuai, komposisi, hingga label mutu. Kerugian akibat praktik ini mencapai Rp99 triliun per tahun atau hampir Rp100 triliun.
Untuk menindak lanjut kasus tersebut Mentan telah menyerahkah kepada Kapolri, Satgas Pangan, dan Jaksa Agung untuk segera memproses secara hukum para produsen beras yang bermain curang di sektor pangan pokok nasional. Sebab, keberadaan mafia pangan tersebut telah merugikan masyarakat.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Ketua Satgas Polri, Brigjen (Pol) Helfi Assegaf mengungkapkan baru menemukan 26 merek beras yang diduga merupakan hasil praktik penipuan. 26 merek beras yang ditemukan berasal dari empat perusahaan besar, seperti Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).
Sungguh memprihatinkan, selama ini masyarakat sudah ditipu besar-besaran oleh para mafia pangan. Beras premium yang mereka beli dengan harga mahal dan melebihi harga eceran tertinggi (HET), tetapi kualitasnya biasa. Begitu pun dengan kuantitas beras yang ditawarkan ada yang menerangkan dalam label kemasan 5 kg padahal isinya hanya 4,5 kg. Sungguh rakyat kembali menjadi korban atas perbuatan para mafia pangan.
Mungkin masyarakat masih ingat kasus dugaan korupsi PT Wilmar Group terkait pemberian fasilitas ekspor clude palm oil (CPO) dan produk turunannya pada tahun 2022. Juga kasus Minyakita palsu yang sempat heboh di berbagai media sosial dan pemberitaan negeri ini. Bagaimana kabarnya kasus-kasus tersebut? Apakah mafia-mafia yang bermain curang telah mendapat hukuman berat dan menjerakan?
Baca juga: Beras Mahal Ulah Ekonomi Kapital
Sistem Kapitalisme Sekuler Melahirkan Praktik Curang
Praktik kecurangan dalam hal kualitas dan kuantitas beras adalah suatu keniscayaan dalam sistem kapitalisme sekuler. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini hanya berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya tanpa memedulikan kemaslahatan rakyat. Meskipun dengan menghalalkan segala cara dan melabrak regulasi yang ada. Hal tersebut dianggap biasa dalam sistem ini. Alhasil, praktik-praktik curang dapat dijumpai dalam segala aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan sebagainya.
Sistem ini telah menjauhkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Agama hanya sekadar dalam ranah pribadi ketika menjalankan ibadah saja. Sedangkan untuk kehidupan dunia, aturan yang diambil berdasarkan aturan manusia yang serba terbatas. Hukum yang dilahirkan pun sangat lemah serta tidak memberi efek jera dan cenderung tebang pilih. Alhasil, berbagai tindak kejahatan tumbuh dan terus berkembang seperti pohon jamur di musim hujan.
Terbukti setiap hari kasus kejahatan dan kecurangan dalam segala aspek kehidupan selalu ada. Sistem kapitalisme sekuler pun telah menimbulkan kesenjangan sosial yang sangat nyata. Di mana kekayaan hanya berputar di kalangan para elite, sedangkan rakyat dimiskinkan secara sistemis. Pada akhirnya, sistem kapitalisme sekuler hanya melahirkan berbagai persoalan hidup yang tidak ada jalan keluarnya.
Regulasi yang Lemah
Menurut pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung M.Si. kepada MNews, (09-07-2025), bahwa terjadinya penipuan pada beras oplosan menjadi bukti lemah dan tidak bergiginya regulasi yang ada. Dalam kasus beras oplosan ini besarnya kerugian konsumen lebih dari Rp99 triliun yang terjadi di 10 provinsi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan di daerah lain di Indonesia juga ditemukan beras oplosan.
Akar persoalan penipuan ini adalah tidak adanya peran utuh dari pemerintah dalam pengurusan pangan rakyat. Akibatnya, celah praktik-praktik curang dan mafia-mafia pangan terbuka lebar. Peran pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator, sedangkan pelaku utama pengelolaan pangan adalah korporasi dan pedagang swasta. Hal ini menyebabkan orientasi pengelolaan hanyalah untuk bisnis dan meraup untung besar, sementara kemaslahatan rakyat diabaikan. Alhasil mafia pangan tumbuh subur dan sulit diberantas.
Regulasi yang tidak bergigi menurut Emilda Tanjung, M.Si., disebabkan konsep yang mendasarinya adalah demokrasi sekuler yang sangat sarat akan kepentingan pembuat kebijakan. Regulasi yang dibuat oleh manusia yang sangat terbatas kemampuan dan akalnya serta sarat kepentingan tentunya tak mampu menjadi solusi.
Ideologi Islam Solusi Hakiki
Satu-satunya solusi hakiki untuk memberantas mafia pangan adalah kembali kepada ideologi Islam. Hal ini dikarenakan Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi ideologi yang mampu mengatur seluruh kehidupan. Aturan dalam Islam sepenuhnya berdasarkan wahyu dari Allah Swt. yang pasti sempurna dan terbebas dari kepentingan manusia.
Allah Swt. sangat mencela perilaku curang dan sewenang-wenang dalam muamalah atau jual beli. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Muthaffiffiin ayat 1-3 yang artinya, “Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar atau menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”
Islam memiliki orientasi pelayanan secara optimal untuk memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Dalam Islam, pemimpin negara wajib hadir sebagai raa’in (pelayan/pengurus rakyat) dan junnah (pelindung umat). Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Pemimpin dan pejabat dalam Islam wajib amanah dan bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. Sebab, amanah dan jabatan mereka akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Oleh sebab itu, mereka akan bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pangan dan kemaslahatan rakyatnya.
Islam mewajibkan negara berperan utuh dari hulu hingga ke hilir dalam pengurusan pangan rakyat, mulai dari produksi, distribusi hingga konsumsi. Negara tidak hanya memastikan pasokan pangan tersedia, akan tetapi bertanggung jawab penuh terhadap distribusi pangan agar tersalurkan kepada rakyat, sehingga tidak terjadi praktik kecurangan. Negara juga akan memastikan setiap individu rakyat tercukupi pangannya dengan baik, layak, berkualitas, dan halal juga tayib.
Selain itu, pemimpin dalam Islam atau khalifah akan mengangkat para qadi muhtasib atau qadi hisbah yang akan berkeliling ke pasar-pasar untuk mengawasi dan menindak langsung setiap terjadi kecurangan. Sanksi yang diberikan kadi hisbah kepada pelaku disesuaikan dengan tingkat kesalahan dan peraturan yang berlaku. Wallahu’alam bissawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
