One Piece dan Cermin Ketidakadilan Kapitalisme

One piece dan ketidakadilan

Kapitalisme juga memberikan kebebasan berkepemilikan yang memungkinkan individu atau segelintir orang yang memiliki modal besar menguasai SDA sehingga menyebabkan terjadi kesenjangan ekonomi dan kemiskinan di tengah-tengah masyarakat

Oleh. S. Imelianti Tahir
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id-17 Agustus diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia yang identik dengan pengibaran bendera merah putih. Namun, ada yang menarik perhatian belakangan ini di media sosial yaitu pengibaran bendera One Piece yang bersanding dengan bendera merah putih.

Bendera khas bajak laut dengan gambar tengkorak dan topi jerami merupakan simbol kelompok bajak laut dalam cerita fiksi Jepang. Dalam One Piece bendera tersebut merupakan simbol perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan.

Tindakan pengibaran bendera One Piece tersebut mendapat respons dari pemerintah. Menurut wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, pengibaran bendera tersebut diduga menimbulkan adanya gerakan sistematis untuk memecah belah persatuan bangsa, “Kita juga mendeteksi dan juga dapat masukan dari lembaga-lembaga pengamanan intelijen, memang ada upaya-upaya untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Dasco. (Kompas.com, 31-7-2025)

Respons yang sama disampaikan Menko Polkam Budi Gunawan. Ia berpendapat bahwa bangsa yang menghargai sejarah seharusnya tidak memancing provokasi melalui simbol-simbol yang tak relevan dengan nilai perjuangan nasional.

Simbol Ketidakadilan dalam Kapitalisme

Sebagian masyarakat menganggap kisah One Piece relevan dengan kondisi masyarakat saat ini, sehingga pengibaran bendera One Piece tersebut dilakukan sebagai bentuk ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap berbagai ketidakadilan yang terjadi.

Masyarakat dibiarkan berjuang sendiri di tengah keadaan krisis ekonomi. Segala akses publik dikomersialkan, korupsi terjadi bagaikan penyakit menular, kekayaan alam dikeruk untuk kepentingan segelintir orang.

Penegak hukum sering kali bersikap lemah terhadap pihak yang berkuasa dan keras terhadap rakyat kecil. Kasus Harvey Moeis yang merugikan negara Rp300 triliun hanya divonis 6,5 tahun penjara. Di sisi lain warga Gunungkidul terancam hukuman hingga lima tahun penjara karena didapati mencuri kayu di kawasan hutan negara.

Kekecewaan masyarakat kembali dirasakan karena praktik beras oplosan yang melibatkan pencampuran beras subsidi dan kualitas rendah kemudian dijual sebagai beras premium telah merugikan masyarakat hingga sekitar Rp99 triliun per tahun. Selain menyebabkan konsumen membayar lebih mahal hingga Rp9.000 per kilogram, banyak beras oplosan juga tidak memenuhi standar mutu dan berat yang sesuai label.

Baca: One Piece dan Simbol Perubahan

Belum lagi rakyat dibebani pajak yang semakin menggila. Sebagai bagian dari reformasi fiskal, pemerintah menetapkan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari, menambah panjang daftar beban yang harus ditanggung rakyat.

Baru-baru ini juga pedagang online di berbagai marketplace dikenakan pajak dan berbagai macam pajak lainnya yang memberatkan rakyat. Sementara, di sisi yang lain, hasil SDA yang harusnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat malah diizinkan oleh negara dikelola dan dinikmati hasilnya oleh oligarki melalui UU Minerba tahun 2020.

Kapitalisme Dalangnya

Semua ini terjadi karena sistem yang dianut adalah sistem kapitalisme yang berasas sekularisme. Sistem ini meniscayakan negara hanya berperan sebagai regulator (pembuat hukum) sehingga negara tidak hadir untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.

Rakyat dibiarkan berjuang sendiri memenuhi kebutuhannya. Penerapan ideologi ini menghasilkan ketidakadilan karena bertentangan dengan fitrah dan akal manusia.

Kapitalisme juga memberikan kebebasan berkepemilikan yang memungkinkan individu atau segelintir orang yang memiliki modal besar menguasai SDA sehingga menyebabkan terjadi kesenjangan ekonomi dan kemiskinan di tengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan World Inequality Report 2022, dalam dua puluh tahun terakhir kesenjangan ekonomi di Indonesia masih timpang. Dengan 50% populasi hanya menguasai di bawah 5% dari total kekayaan nasional.

Demokrasi sebagai sistem politik ideologi kapitalisme digadang-gadang sebagai sistem terbaik karena mengusung kebebasan berpendapat, kesetaraan, dan keadilan. Namun justru fakta di lapangan menunjukkan bahwa kesejahteraan tidak dinikmati oleh rakyat secara luas, melainkan terpusat pada segelintir elite yang menyandang sebagai wakil rakyat.

Sebagai wujudnya banyak kebijakan, UU, dan peraturan yang mereka buat dengan dalih demi kemaslahatan rakyat nyatanya merugikan rakyat. Misalnya saja pengesahan UU Minerba merugikan masyarakat karena memudahkan izin pengelolaan tambang bagi pengusaha, menghapus royalti, dan mengabaikan keterlibatan publik.

UU Minerba lebih banyak menguntungkan pengusaha dan penguasa karena membuka celah eksploitasi sumber daya tanpa kontrol publik yang ketat. Sebaliknya, masyarakat menanggung dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari kebijakan tersebut.

Dengan dalih kedaulatan di tangan rakyat, demokrasi memberikan kebebasan penuh kepada manusia untuk membuat hukum sendiri. Akibatnya, hukum mudah dimanipulasi sesuai kepentingan, dan jadilah hukum yang lemah terhadap penguasa, tetapi keras terhadap rakyat kecil.

Inilah realitas dan bagaimana cara kerja ideologi kapitalisme, sebuah sistem yang tidak mungkin mewujudkan kesejahteraan menyeluruh dalam masyarakat.

Islam, Sistem Paripurna

Maka dari itu, tidak cukup hanya merasakan ketidakadilan, kita perlu sebuah sistem yang membebaskan dari keburukan kapitalisme sekaligus membangun kesadaran akan akar masalah ketidakadilan di negeri ini.

Islam bukan sekadar ajaran spiritual belaka, melainkan juga merupakan sistem politik yang memiliki mekanisme pengaturan kehidupan termasuk pengurusan terhadap rakyat.

Negara dalam Islam berperan sebagai pelindung dan raa’in (pengurus) terhadap rakyat yang dipimpinnya. Bukan hanya berperan sebagai regulator, tetapi negara juga sebagai penjaga agama dan pelaksana syariat.

Negara bertanggung jawab atas akhlak, ibadah, pendidikan Islam, ekonomi halal, sistem hukum Islam, dll. Prinsip pokoknya menempatkan kedaulatan pada syariat, bukan rakyat.

Islam hanya mengakui Allah Swt. satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum dan syariat, baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun sanksi. Ini sebagaimana firman Allah Swt.,

إِنِ ٱلْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ ٱلْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ ٱلْفَٰصِلِينَ

”Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’am [6]:57).

Dalam kitab Sistem Pemerintahan Islam hlm. 14, Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan, ”Tidak ada peluang bagi siapa pun di dalam negara Islam untuk membuat hukum yang dipergunakan untuk mengatur seluruh hubungan manusia, termasuk di antaranya adalah membuat undang-undang dasar atau perundang-undangan lainnya. Begitu pula tidak ada peluang bagi penguasa untuk memaksa manusia atau memberikan alternatif kepada mereka agar mengikuti ketentuan serta hukum buatan manusia dalam mengatur interaksi mereka.”

Hukum atau aturan dalam Islam tidak akan mengalami bongkar pasang sesuai dengan keinginan manusia, sebab setelah Allah menetapkan aturan bagi suatu perkara, maka itu berlaku sampai hari kiamat.

Islam memiliki pengaturan yang paripurna mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk ekonomi, pergaulan, politik dalam negeri, politik luar negeri, dan lain-lain.

Penerapan Islam di Masa Lalu

Penerapan sistem Islam dalam mengatur urusan rakyat telah terbukti selama kurang lebih 13 Abad, salah satunya pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz dalam masa kekuasaannya hanya sekitar dua setengah tahun, jejak kepemimpinannya sangat luar biasa dalam perjalanan sejarah Islam.

Salah satu keberhasilan terbesar Umar bin Abdul Aziz adalah menciptakan kondisi masyarakat yang makmur dan sejahtera sampai-sampai tidak ada yang membutuhkan zakat, membuat petugas zakat mengalami kesulitan dalam menyalurkan bantuan.

Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz menjadi teladan tentang bagaimana seorang pemimpin seharusnya mengutamakan keadilan, kesederhanaan, dan kesejahteraan rakyat di atas segalanya.

Dalam Islam, negara tidak mencap buruk rakyatnya yang melakukan kritik bagi penguasa karena itu merupakan bagian dari muhasabah lilhukkam. Mengkritik penguasa dalam negara Islam atau Khilafah adalah kewajiban penting untuk menjaga syariat dan keadilan.

Bila rakyat menginginkan perubahan, maka diawali dengan kesadaran bahwa sistem kehidupan terbaik adalah sistem Islam (Khilafah).

Kemudian mencontoh perubahan secara revolusioner yang dilakukan oleh Rasulullah di Madinah 14 abad yang lalu yakni dengan menerapkan syariat Islam secara keseluruhan dan totalitas. Perjuangan perubahan itu dilakukan dengan dakwah jemaah. Wallahualam bisshawab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

S. Imelianti Tahir Kontributor NarasiLiterasi.Id
Previous
Krisis Kelaparan Gaza: Momentum Kebangkitan Umat
Next
Kelaparan Gaza dan Kewajiban Iman Kita
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram