
Pajak dalam sistem kapitalis ibarat tulang punggung yang membuat tubuh tegak berdiri. Pajak dipungut dari rakyat dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat pula.
Oleh. Arda Sya'roni
Kontributor NarasiLiterasi.Id
NarasiLiterasi.Id--Kemerdekaan Indonesia yang ke-80 baru saja diselenggarakan, harapan mencapai Indonesia emas laksana jauh panggang dari api. Sebaliknya, justru bertepatan dengan perayaan kemerdekaan kebebasan finansial rakyat terenggut sebab seluruh transaksi online akan terhubung dengan NIK. Tak hanya itu, gempuran aneka pajak pun dihadiahkan untuk rakyat.
Dikutip dari cnbcindonesia.com, 15-08-2025, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebagai pembicara dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025, Rabu (13-8-2025), menyatakan bahwa kewajiban membayar pajak sama mulianya seperti membayar zakat maupun wakaf, sebab ketiganya berfungsi untuk menyalurkan sebagian harta kepada yang membutuhkan. Bahwa di setiap rezeki yang kita terima ada hak orang lain yang harus dikeluarkan. Pajak yang dibayarkan itupun akan kembali lagi kepada rakyat dalam bentuk lain, semisal program-program kemasyarakatan, berbagai subsidi serta fasilitas umum, tambahnya.
Pernyataan yang disampaikan Sri Mulyani ini merupakan upaya agar rakyat taat pajak demi mencapai penerimaan pajak yang sedang seret saat ini. Demikianlah sifat dasar kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama. Pajak menjadi tumpuan pendapatan APBN, bahkan pemerintah sedang gencar mencari celah demi sekadar mencari objek pajak baru. Misalnya, pajak warisan, karbon, digital, rumah ketiga, dan lain-lain. Tak hanya itu, pajak yang sudah ada turut ditingkatkan berkali-kali lipat, seperti Pajak Bumi dan Bangunan.
Zakat dan Pajak
Menyatakan pajak seperti zakat dan wakaf bukanlah padanan yang apple to apple. Wakaf hukumnya sunah, bukan sebuah kewajiban. Sedangkan zakat adalah kewajiban atas harta bagi muslim yang kaya dan kekayaannya melebihi nisab serta mencapai haul. Zakat hanya dikeluarkan oleh yang mampu dan diperuntukkan hanya bagi 8 asnaf saja, yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, righab, gharim, fisabilillah, ibnu sabil.
Hal ini termaktub dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 60, yaitu "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Islam tidak memungut pajak bagi warga negaranya. Pajak dalam Islam hanya dipungut dari lelaki muslim yang kaya dan hanya dipungut saat mendesak yang sudah ditentukan syariat sebagaimana tercantum dalam kitab Al-Amwal, sifatnya temporer hanya ketika kas negara kosong.
Wajah Kapitalis
Pajak dalam sistem kapitalis ibarat tulang punggung yang membuat tubuh tegak berdiri. Pajak dipungut dari rakyat dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat pula. Dikembalikan lagi ke rakyat dalam bentuk lain semisal program kesehatan gratis, MBG, subsidi ini dan itu, bantuan ini dan itu. Namun faktanya, pajak tersebut hanya untuk menggaji penguasa, ladang korupsi sebagian pihak, dan tentunya menjadi akses proyek yang menguntungkan kaum kapitalis. Rakyat kembali merana dan berjuang sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup dan membayar pajak-pajak tersebut. Alhasil, kemiskinan tersistem, kesenjangan sosial makin nyata terpampang.
Kapitalisme menjadikan penguasa dan para kapitalis makin pongah dan membusungkan dada karena telah mendominasi perekonomian negara. Laksana anak emas dalam negara, mereka mendapatkan kemudahan fasilitas dari negara untuk mengeruk kekayaan alam semau mereka. Tak hanya itu, kebijakan UU yang dibuat pun berdasarkan pesanan mereka untuk memuluskan bisnis mereka. Rakyat cukup menggigit jari, tercekik dan terimpit akibat birokrasi yang berbelit dan mempersulit rakyat jelata.
Sumber daya alam yang semestinya bisa dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan negara justru diserahkan pada pihak swasta, baik lokal maupun asing. Pengelolaan SDA oleh pihak swasta tentu saja bersifat kapitalis, di mana hanya untuk mencari keuntungan sebesar mungkin, tidak memedulikan nasib rakyat. Kekayaan alam dikeruk tanpa regulasi jelas sehingga menimbulkan banyak kerusakan alam dan polusi di lingkungan sekitar. Parahnya lagi masyarakat setempat tidak turut menikmati hasil yang memuaskan, melainkan justru mendapat dampak negatif. Misalnya, kesehatan yang memburuk akibat polusi lingkungan yang ditimbulkan, kesulitan dalam mencari mata pencaharian, hingga pengusiran paksa.
Baca juga: Pajak vs Dharibah
Islam adalah Solusi
Lain halnya dengan sistem Islam, dalam Islam sumber pendapatan negara bukanlah pajak, bahkan pajak ditiadakan. Pajak hanya dipungut pada kafir dzimmi, yaitu nonmuslim yang bersedia diatur oleh Islam. Pajak ini pun tidak asal dan diada-adakan seperti yang dilakukan pada sistem kapitalis. Sebutan pajak yang dikenakan pada kafir dzimmi ini dinamakan jizyah. Kisaran jumlah wajib yang dipungut 1 dinar per tahun untuk lelaki dewasa. Adapun manfaat pembayaran jizyah adalah mendapatkan berbagai fasilitas dan perlindungan keamanan dari negara secara gratis sebagaimana yang didapatkan oleh kaum muslim.
Dalam Islam, baitulmal sebagai kas negara mempunyai banyak pintu pemasukan. Tidak hanya bersandar pada zakat, apalagi pajak. Dalam kondisi urgen, pajak bisa saja dipungut dari rakyat, yaitu saat terjadi kekosongan baitulmal atau saat terjadi kondisi genting semisal wabah yang membutuhkan banyak biaya. Kisaran pajak yang dipungut pun hanya sebatas kekurangan belanja negara, tidak boleh melebihi, dan hanya dipungut pada lelaki muslim dewasa yang kaya.
Dengan demikian hanya Islam dengan sistem ekonominya yang mampu menjadi solusi tuntas permasalahan umat saat ini. No pajak-pajak lagi, tetapi kehidupan aman, nyaman, dan sejahtera tergapai.
Wallahualam bissawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
