Berlimpahnya impor ikan untuk pengusaha kuliner dan olahan ikan, menambah kuat dugaan bahwa kebijakan perikanan lebih berpihak kepada kapitalis.
Oleh. Irma Sari Rahayu
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Indonesia dikenal sebagai negara bahari dengan ribuan pulau tersebar membentang dari Sabang hingga Merauke. Kondisi ini menyebabkan Indonesia dinobatkan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Luas lautan di Indonesia sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km yang menjadikannya sebagai garis pantai produktif yang terpanjang nomor dua di dunia.
Negeri Berlimpah Sumber Daya Ikan
Dilansir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, potensi lestari perikanan di Indonesia diperkirakan sekitar 12,54 juta ton per tahun yang tersebar di seluruh perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Potensi perikanan Indonesia sangat besar terutama ikan-ikan pelagis besar seperti cakalang, tuna, dan tongkol.
Tak hanya ikan, Indonesia memiliki terumbu karang yang luasnya mencapai 25.000 km persegi, sehingga menjadi surga bagi berbagai jenis ikan hias. Di dalam laut Indonesia terdapat 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 jenis biota terumbu karang. Semuanya menunjukkan betapa kayanya laut Indonesia.
Berlimpahnya sumber daya ikan tak hanya sekadar jumlah, tetapi memiliki nilai ekonomis tinggi yang dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Udang, kepiting, lobster, tilapia, dan rumput laut adalah lima komoditas yang menjadi primadona dan memiliki nilai jual tinggi.
Impor Ikan Tetap Menjadi Andalan
Besarnya potensi perikanan Indonesia rupanya tidak dapat menghentikan laju impor ikan ke dalam negeri. Pada periode Januari-Agustus 2024, nilai impor Indonesia sebesar US$130,039 juta atau Rp1,99 triliun, setara dengan 56,80 juta kilogram. Nilai ini dilaporkan oleh Deputi Bidang Distrubusi dan Jasa BPS Puji Ismartini (detik.com, 18-9-2024).
Nilai impor ikan tersebut ternyata naik secara signifikan dalam dua bulan berturut-turut. Jika di bulan Juli 2024 senilai US$15.63 juta, pada bulan Agustus 2024 sebesar US$19,23 juta. Adapun negara pengimpor ikan ke Indonesia berasal dari Norwegia, Cina, Korea Selatan, Rusia, dan Amerika Serikat.
Pemerintah melalui Staf Ahli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut, Hendra Yusran Siry, menjelaskan alasan mengapa masih mengimpor ikan. Masalahnya adalah ketersediaan jenis ikan tertentu yang tidak ditemukan di perairan Indonesia. Ikan-ikan tersebut adalah makarel, trout, tuna skipjack hingga salem Atlantik. Ikan-ikan ini dibutuhkan oleh industri perikanan seperti ikan kaleng, konsumsi para ekspatriat, wisata kuliner, dll.
Haruskah Impor Ikan?
Sungguh sayang, luas perairan dan kekayaan sumber daya perikanan yang dimiliki Indonesia ternyata belum memberikan efek ketersediaan ikan yang memadai. Meningkatnya jumlah impor ikan tentu menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana nasib ikan lokal? Apakah tidak mampu menjadi pilihan industri perikanan, kuliner, dan ekspatriat?
Beberapa alasan mengapa Indonesia masih mengimpor ikan adalah:
1.Tidak semua jenis ikan tersedia di Indonesia.
Tak dapat dimungkiri, bedanya iklim menyebabkan beberapa jenis ikan tidak ditemui di perairan Indonesia, misalnya ikan makarel. Pemerintah mengeklaim permintaan dan kebutuhan ikan tersebut sangat tinggi, sehingga harus diimpor. Namun, seyogianya pemerintah juga bisa membatasi jumlah impor dan mulai mengenalkan spesies ikan lokal yang tak kalah bermutu dari ikan impor.Â
2. Perubahan iklim.
Perubahan iklim menjadi salah satu faktor alam yang tak dapat dielakkan oleh nelayan. Pada bulan September hingga November, biasanya terjadi angin barat yang berembus sangat kencang. Pada musim ini nelayan biasanya tidak pergi melaut, sehingga ketersediaan ikan pun berkurang.Â
3. Berkurangnya produksi ikan lokal.
Alasan ini pun sempat ditanyakan oleh masyarakat, apakah produksi perikanan lokal tidak mencukupi sehingga harus impor? Namun, alasan ini disanggah oleh KKP dengan mengatakan produksi perikanan lokal kita surplus, sehingga kebijakan mengimpor ikan tidak mengganggu produksi ikan dalam negeri.Â
Faktanya, kebijakan impor ikan dirasakan tidak adil dan dianggap mematikan penghasilan nelayan. Mahalnya BBM, reklamasi, peralatan tangkap yang tidak memadai, menjadi hambatan tersendiri bagi nelayan untuk bisa melaut.
Keterbatasan alat tangkap yang dimiliki nelayan menjadikan mereka tidak mampu menjangkau area fishing ground atau area penangkapan ikan yang lebih jauh lagi. Belum lagi mahalnya BBM, es untuk mengawetkan ikan, dan teknologi seadanya, membuat nelayan lebih memilih untuk tidak melaut.
Berlimpahnya impor ikan untuk pengusaha kuliner dan olahan ikan, makin menambah kuat dugaan bahwa kebijakan perikanan lebih berpihak kepada para kapitalis. Di sinilah dipertanyakan seriuskah pemerintah mengelola sumber daya bahari kita yang sangat kaya ini?
Baca: https://narasiliterasi.id/opini/09/2024/ekonomi-turun-kelas-kesejahteraan-terhempas/
Pandangan Islam
Islam dengan sistem perekonomiannya, memiliki pandangan yang khas untuk masalah impor. Aktivitas impor tidak hanya dipandang sebagai aktivitas jual beli biasa, tetapi dikaitkan juga dengan kebijakan politik luar negeri sebuah negara.
Dalam urusan impor yang pertama kali harus diperhatikan oleh Daulah Islam adalah negara asal pengekspor. Daulah Islam tidak boleh melakukan aktivitas jual beli dengan negara kafir harbi atau negara yang memerangi Islam dan umat Islam. Berbeda jika negara tersebut tidak memerangi Islam, maka daulah boleh melakukan kerja sama dagang sesuai perjanjian.
Maka Daulah Islam tidak boleh membeli komoditas apa pun dari negara Cina, Amerika, Israel dan negara- negara yang memusuhi Islam secara nyata. Kebijakan impor ikan pun diambil jika dalam kondisi terdesak, urgen, dan ketersediaan bahan pangan tidak mencukupi. Khalifah akan mengupayakan semaksimal mungkin agar komoditas dalam negeri cukup untuk kebutuhan rakyatnya.
Pengelolaan potensi bahari seyogianya dilakukan optimal. Misalnya pengaturan jenis ikan yang boleh dan tidak boleh ditangkap untuk menghindari over fishing dan menjaga ketersediaan ikan untuk jangka panjang. Penyediaan sarana teknis melaut untuk nelayan, seperti BBM dan es dengan harga terjangkau, kemudahan memiliki alat tangkap yang memadai, peningkatan keahlian nelayan, dll.
Khatimah
Perhatian khalifah terhadap pengelolaan bahari adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Allah Swt. telah menyediakan laut dengan segala potensinya untuk dimanfaatkan oleh manusia. Allah Swt. berfirman dalam surah Fatir ayat 12 yang artinya:
"Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur".
Wallahu a’lam bishawaab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com