Tanah untuk Hidup, Bukan Sumber Pajak

Tanah untuk hidup bukan sumber pajak

Masyarakat kecil yang hidup dari hasil tanah justru dipajaki, sementara korporasi besar dan para kapitalis yang mengeruk sumber daya alam diberi berbagai keringanan dan fasilitas.

Oleh. Dhini Sri Widia Mulyani
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

Narasiliterasi.Id--Belakangan ini, masyarakat Kabupaten Bandung diresahkan oleh isu kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Tersiar kabar tentang naiknya tarif PBB yang tercantum dalam rancangan APBD 2026 sontak menuai perhatian dan menjadi bahan diskusi di tengah masyarakat. Namun, DPRD Kabupaten Bandung menegaskan bahwa besaran tarif tersebut tetap, tanpa adanya peningkatan. Hal ini ditegaskan untuk meredam keresahan publik yang khawatir akan beban pajak tambahan di tengah kondisi ekonomi yang sulit (Tribun Jabar, 21-08-2025). Senada dengan itu, Pemkab Bandung menegaskan bahwa fokus kebijakan justru pada upaya melindungi lahan pertanian agar tidak makin tergerus oleh alih fungsi lahan, bukan pada menaikkan tarif PBB. (Radar Bandung, 19-08-2025)

Meski demikian, isu ini tetap menimbulkan keresahan. Sebab, meskipun tarif tidak naik, pemerintah daerah tetap dituntut mencari cara untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Upaya pemerintah melalui optimalisasi pemungutan pajak, perbaikan data wajib pajak, serta sosialisasi masif kepada publik, pada dasarnya menunjukkan bahwa beban pemenuhan kebutuhan anggaran tetap diarahkan kepada rakyat. Inilah problem utama dalam sistem kapitalisme. Pajak menjadi sumber pemasukan utama, sementara kekayaan alam yang semestinya dikelola untuk rakyat justru banyak dinikmati oleh segelintir kapitalis.

Pajak dalam Sistem Kapitalisme

Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber Utama untuk menopang anggaran negara. Ketika pemerintah pusat menerapkan efisiensi atau bahkan salah kelola dalam anggaran, beban seringkali dilempar ke daerah. Daerah pun mencari jalan pintas dengan mengoptimalkan pungutan dari masyarakat, termasuk PBB. Ironisnya, masyarakat kecil yang hidup dari hasil tanah justru dipajaki, sementara korporasi besar dan para kapitalis yang mengeruk sumber daya alam diberi berbagai keringanan dan fasilitas.

Fenomena ini menunjukkan ketidakadilan yang nyata. Dana pajak yang disetor masyarakat tidak seluruhnya dialokasikan kembali dalam wujud layanan publik yang bermutu. Bocornya anggaran karena korupsi, lemahnya pengawasan, dan ketidaktegasan dalam penegakan hukum menambah daftar panjang masalah pengelolaan pajak. Maka, wajar jika isu kenaikan PBB, meskipun dibantah, tetap menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat.

Dalam Islam, harta yang bersumber dari tanah dan sumber daya alam memiliki status yang berbeda dengan kepemilikan individu biasa. Rasulullah ﷺ bersabda:
Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, sahih)

Hadis ini menegaskan bahwa tanah, air, dan energi pada hakikatnya merupakan milik umat. Artinya, sumber daya alam tidak semestinya diprivatisasi, apalagi dibebani dengan pajak yang berlebihan, karena keberadaannya diperuntukkan bagi kemaslahatan seluruh masyarakat. Tanah yang menjadi sumber penghidupan tidak boleh terus-menerus dijadikan objek pungutan negara.

Pajak Bukan Sumber Utama

Islam memiliki mekanisme yang adil dalam mengatur keuangan negara, di mana setiap sumber penerimaan dan pengeluaran diarahkan untuk kepentingan umat, bukan untuk memperkaya segelintir pihak. Sumber pemasukan utama dalam baitulmal (kas negara) bukanlah pajak, tetapi pos-pos tetap seperti fai’, kharaj, jizyah, zakat, serta pengelolaan kepemilikan umum seperti tambang, hutan, air, dan energi.

Hasil pengelolaan tersebut seharusnya dikembalikan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat, bukan dimanfaatkan demi kepentingan segelintir pihak. Dalam Islam, pajak (dharibah) bersifat sementara, tidak dipungut secara rutin, dan hanya diberlakukan kepada kaum muslim yang mampu ketika baitulmal benar-benar kosong guna memenuhi kebutuhan darurat, seperti pembiayaan jihad atau menghadapi bencana besar. Hal ini berbeda jauh dengan kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai tumpuan utama APBN maupun APBD. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Tidak akan masuk surga orang yang memungut pajak (secara zalim).”
(HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Hakim, hadis sahih)

Hadis ini memberi peringatan keras bahwa pungutan pajak tanpa alasan syar’i adalah bentuk kezaliman yang diancam dengan neraka. Oleh karena itu, dalam Islam, penarikan pajak harus memenuhi syarat: hanya dari muslim yang kaya, sifatnya sementara, dan tujuan jelas untuk kemaslahatan umat.

Al-Qur’an juga menegaskan agar pemimpin berlaku adil dan tidak memakan harta rakyat dengan cara yang batil. Allah ﷻ berfirman:
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 188)

Ayat ini relevan untuk mengingatkan bahwa praktik pungutan pajak yang tidak adil, ditambah kebocoran anggaran, merupakan bentuk memakan harta rakyat secara batil.

Keadilan Hanya dengan Islam

Isu kenaikan PBB di Kabupaten Bandung seharusnya membuka mata kita bahwa sistem kapitalisme hanya akan terus menekan rakyat kecil. Pajak dijadikan instrumen utama, sementara pengelolaan sumber daya alam tidak diprioritaskan untuk kesejahteraan rakyat. Padahal, tanah sejatinya adalah sumber kehidupan yang harusnya memberi manfaat, bukan menjadi beban pajak.

Islam hadir dengan solusi kafah. Negara wajib mengelola sumber daya alam untuk rakyat, menyediakan layanan publik secara gratis atau murah, serta hanya memungut pajak dalam kondisi darurat dengan syarat yang ketat. Dengan penerapan sistem Islam, rakyat akan merasakan keadilan karena kekayaan alam benar-benar kembali pada mereka, bukan dikuasai segelintir kapitalis atau bocor akibat korupsi.

Oleh karena itu, solusi atas persoalan pajak dan PBB tidak cukup hanya dengan menahan kenaikan tarif, melainkan dengan melakukan perubahan paradigma dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Islam dengan syariahnya telah menyediakan solusi yang adil, kafah, dan membawa keberkahan bagi seluruh umat.
Wallahualam bissawab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Dhini Sri Widia Mulyani Kontributor Narasiliterasi.id dan Pegiat Literasi Kabupaten Bandung
Previous
Keracunan MBG, Dampak Program Populis Ala Kapitalis
Next
Wakil Rakyat dalam Demokrasi dan Islam
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram