
Amanah yang diletakkan di bahu mereka untuk menyampaikan suara rakyat dan memedulikan nasib rakyat tak pernah benar-benar terlaksana.
Oleh. Arda Sya'roni
Kontributor NarasiLiterasi.Id
NarasiLiterasi.Id--Gaji besar tentu impian setiap manusia, apalagi di tengah impitan ekonomi yang makin tinggi ini. Mungkin tak salah bila mendapat gaji fantastis membuat hati riang gembira hingga berjoget ria. Namun, apabila yang mendapat gaji fantastis kemudian berjoget ria adalah anggota dewan, yang mana digaji oleh rakyat, tentu hal ini tidaklah etis. Hati rakyat mana yang tak geram melihatnya, tatkala rakyat terimpit ekonomi yang makin menyesakkan dada, para wakil rakyat ini justru menerima take home pay lebih dari 100 juta per bulannya.
Dikutip dari tempo.co, 19-08-2025, Adies Kadir wakil Ketua DPR, seusai rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan menegaskan bahwa gaji pokok anggota parlemen periode 2024-2029 tidak mengalami kenaikan. Yaitu, tetap di kisaran 4-5 juta. Sedangkan yang mengalami kenaikan adalah tunjangan-tunjangan yang diterima. Di antaranya adalah tunjangan beras, bensin dan perumahan. Adapun tunjangan beras naik dari 10 juta menjadi 12 juta per bulan, tunjangan bensin dari 4-5 juta menjadi 7 juta per bulan, serta tunjangan perumahan sebesar 50 juta per bulan sebagai kompensasi rumah dinas yang dianggap sudah tidak layak pakai.
Buah Kapitalisme Sekularisme
Ya, beginilah potret asli demokrasi kapitalisme. Kesenjangan adalah sebuah keniscayaan dalam demokrasi kapitalisme. Politik transaksional merupakan hal wajar dalam sistem ini, karena materi adalah tujuan. Jabatan hanya dijadikan sarana untuk memperkaya diri sendiri dan golongannya saja. Bahkan, mereka sendiri yang menentukan besarnya anggaran dan sedihnya anggaran itu hanya untuk kalangan mereka sendiri.
Wakil rakyat hanyalah status semata. Nasib rakyat justru diabaikan. Mereka seakan hilang empati terhadap derita rakyat. Amanah yang diletakkan di bahu mereka untuk menyampaikan suara rakyat dan memedulikan nasib rakyat tak pernah benar-benar terlaksana.
Ironisnya, keringat rakyat diperas dengan beragam pajak yang mencekik leher. Sementara itu, para dewan yang katanya wakil rakyat justru menerima berbagai tunjangan yang demikian fantastis. Kesenjangan yang demikian bertolak belakang tentunya membuat rakyat menangis geram. Bagaimana tidak, para dewan ini menerima tunjangan fantastis dari hasil peluh rakyat pada kondisi ekonomi yang sulit ini. Sungguh tak sepadan dengan kinerja mereka yang kurang memuaskan.
Baca juga: Kemerdekaan Semu Rakyat Masih Terbelenggu
Islam Meriayah Rakyat
Hal demikian sangat berbeda jauh dalam sistem Islam. Dalam Islam dewan rakyat disebut sebagai Majelis Umat. Majelis Umat tidak digaji layaknya dewan rakyat dalam demokrasi. Namun, apabila diperlukan dalam aktifitas menjalankan perannya, maka Majelis Umat bisa mendapatkan ujrah (imbalan) sebatas yang dibutuhkan dari baitulmal. Wakil rakyat yang tergabung dalam Majelis Umat ini akan menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum syarak.
Dalam Islam, hukum syarak menjadi landasan semua aktivitas, termasuk dalam mengurus urusan rakyat. Hukum syarak dijadikan landasan karena yang berhak mengatur manusia hanyalah Sang Pencipta manusia. Apabila urusan manusia dilandaskan pada hukum buatan manusia yang bersumber dari akal manusia, maka sudah dipastikan keadilan tidak akan teraih. Hal ini karena keterbatasan akal manusia dan juga karena manusia kerap menggunakan hawa nafsu demi kepentingan pribadi atau golongan.
Islam mengajarkan bahwa setiap jabatan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah. Karena itu dalam kepemimpinan Islam, baik penguasa, Majelis Umat ataupun rakyat akan menjalankan setiap amanah yang dibebankan sebaik mungkin. Amanah itu akan dijaga dengan keimanan utuh, yaitu dengan hanya melakukan segala aktivitas dan memutuskan perkara berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah saja. Hal ini termaktub dalam firman Allah pada QS. an Nisa ayat 59, "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat)."
Khatimah
Dengan penerapan syariat Islam sebagai landasan kehidupan, maka kepribadian Islam akan terpancar dari pribadi setiap penguasa maupun Majelis Umat sehingga semangat fastabiqul khoirot, berlomba untuk memegang amanah dengan baik dan berbuat kebaikan dalam menjalankan tugasnya. Mereka semua akan takut bila berkhianat dan lalai dalam menjalankan tugasnya, karena paham betul bahwa azab Allah sangat pedih.
Apabila Islam memimpin dunia, insyaallah rakyat tak lagi menangis dan wakil rakyat tak lagi menikmati fasilitas fantastis. Wakil rakyat akan bekerja maksimal dan hanya mengharap rida Allah semata. Rakyat pun akan bersuka hati dalam membantu penguasa dan para wakil rakyat dalam segala aktivitasnya seperti halnya yang telah dibuktikan pada masa kejayaan Islam di era kekhalifahan selama 13 abad lamanya. Sungguh harmonis, bukan? Bukankah itu yang kita harapkan? Jadi, sudah siapkah menghadapi era kebangkitan Islam?
Wallahualam bissawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
