Wakil Rakyat dalam Demokrasi dan Islam

Wakil rakyat dalam demokrasi

Sejarah mencatat, para wakil umat dalam sistem Islam adalah sosok-sosok zuhud, sederhana, dan dekat dengan rakyat. Kontras sekali dengan kondisi DPR hari ini.

Oleh. Rizki Ika Sahana
(Kontributor Narasiliterasi.id & Aktivis Muslimah)

Narasiliterasi.id-Kekecewaan rakyat terhadap DPR kembali mencuat. Kali ini dipicu oleh kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR di tengah isu gejolak ekonomi yang penuh ketidakpastian dan performa DPR yang dipandang belum optimal.

Gaji dan tunjangan anggota DPR bahkan mencapai lebih dari Rp100 juta setiap bulannya. Jumlah tersebut termasuk fasilitas tambahan, mulai dari tunjangan transportasi, perumahan, komunikasi, hingga tunjangan beras Rp12 juta dan tunjangan bensin Rp7 juta. (Tempo.co, 19-08-2025)

Tentu saja, hal ini sangat melukai hati rakyat yang sedang berjibaku dalam gelombang PHK besar-besaran, melambungnya harga-harga kebutuhan, serta kenaikan pajak yang angkanya di luar nalar.

Berbagai fasilitas yang diberikan kepada anggota DPR bukan hanya dinilai sebagai nirempati, tapi menyakiti sekaligus tidak selaras dengan kinerja DPR yang sering dianggap masih jauh dari memuaskan.

Gelombang Demonstrasi dan Tuntutan Reformasi pada Wakil Rakyat

Kemarahan rakyat tidak terjadi tiba-tiba. Namun, merupakan akumulasi kekecewaan yang berulang dan sudah lama ditahan. Terlebih, aspirasi dan masukan kepada anggota dewan yang sudah diupayakan sebelumnya seakan bertepuk sebelah tangan.

Aksi demonstrasi di berbagai daerah bahkan menelan korban jiwa dan luka-luka. Penjarahan terhadap rumah para elite yang mewarnai aksi juga bagian dari puncak kemarahan publik yang tak terbendung.

Terlepas apakah anarkisme dan penjarahan tersebut di-setting atau murni organik, yang jelas penegakan hukum realitasnya sering kali ompong, jauh dari rasa keadilan. Ditambah, indikasi provokasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan semakin memperkeruh situasi di lapangan.

Hingga tulisan ini dibuat, telah tersebar luas 18+7 tuntutan rakyat terhadap DPR dan institusi lain yang saling berkelindan. Kepada DPR, secara garis besar rakyat menuntut reformasi.

Baca: Tunjangan Dewan Fantastis Rakyat Menangis

Rakyat menilai lembaga ini tidak amanah, baik dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, maupun sebagai representasi rakyat.

Sungguh, demonstrasi kali ini menjadi sinyal keras bahwa ada jurang yang dalam antara kepentingan elite dengan penderitaan rakyat.

Demokrasi Kapitalisme: Melahirkan Kesenjangan

Fenomena gaji dan tunjangan DPR yang fantastis mempertontonkan wajah asli demokrasi kapitalisme. Kesenjangan antara elite dan rakyat kecil adalah keniscayaan dalam praktik sistem demokrasi kapitalisme. Pasalnya, politik transaksional menjadi hal lumrah, sebab orientasi utamanya adalah materi, bukan mengurus urusan publik.

Dalam sistem ini, jabatan bukan lagi amanah, melainkan komoditas. Para politisi melihat kursi legislatif sebagai sarana memperkaya diri. Mereka bahkan memiliki kewenangan menentukan besaran anggaran untuk diri sendiri. Maka lahirlah ironi: rakyat makin terimpit, sementara wakil rakyat makin merdeka secara finansial.

Dalam praktik demokrasi, jabatan sering disalahgunakan. Empati terhadap rakyat yang diwakilinya lenyap, jabatan dijadikan alat untuk memperkaya diri bukan sarana pelayanan.

Padahal, secara hakikat, jabatan adalah amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, tidak hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah Swt.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat, lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR. Bukhari)

Konsep Wakil Rakyat dalam Demokrasi dan Islam

Di sinilah penting membandingkan antara demokrasi dengan Islam. Demokrasi menjadikan akal manusia sebagai asas, sehingga hukum dan aturan tunduk pada kepentingan manusia. Sementara dalam Islam, asasnya adalah akidah Islam, dengan syariat Allah sebagai pedoman.

Dalam sistem Islam, jabatan sebagai wakil rakyat, yakni sebagai anggota Majelis Umat sangat berbeda dengan wakil rakyat dalam konteks demokrasi.

Majelis Umat tidak melegislasi undang-undang, melainkan wakil kaum muslimin dalam menyampaikan pendapat sebagai bahan pertimbangan pemimpin negara (khalifah).

Sementara nonmuslim yang menjadi anggota Majelis Umat hanya boleh menyampaikan pengaduan tentang kezaliman penguasa.

Kedudukan sebagai Majelis Umat tidak pernah menjadi sarana memperkaya diri. Mereka tidak berhak menentukan gaji dan fasilitas sesuka hati sebagaimana fenomena wakil rakyat hari ini.

Majelis Umat bukanlah pegawai negara yang wajib digaji. Namun, mereka boleh diberi tunjangan dari baitulmal agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Mereka juga jauh dari kata foya-foya dengan memanfaatkan harta rakyat dan negara untuk kepentingan pribadi. Semua tunduk pada syariat, dengan orientasi utama menyejahterakan rakyat.

Islam menuntut setiap anggota Majelis Umat yang muslim agar memiliki kepribadian Islam. Keimanan menjadi kontrol paling efektif, lebih kuat daripada lembaga pengawas mana pun.

Kesadaran bahwa jabatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah membuat wakil umat ini tidak berani menggunakan amanah untuk kepentingan pribadi.

Semangat fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan) yang tertanam kuat, justru mendorong mereka menunaikan amanah dengan penuh tanggung jawab.

Sejarah mencatat, para wakil umat dalam sistem Islam adalah sosok-sosok zuhud, sederhana, dan dekat dengan rakyat. Kontras sekali dengan kondisi DPR hari ini.

Dalam demokrasi kapitalisme, jabatan adalah privilese. Sedangkan dalam Islam, jabatan dipandang sebagai amanah.

Dalam demokrasi, orientasi materi tak bisa dielakkan. Pandangan Islam, orientasi utamanya adalah keridaan Allah.

Karena itu, rakyat kerap merasa dikhianati oleh wakilnya dalam sistem demokrasi. Sementara dalam sistem Islam, keimanan dan syariat menjadi pagar agar amanah selalu terjaga.

Momentum untuk Merenung

Kemarahan rakyat terhadap DPR hari ini mestinya menjadi momentum untuk merenung dengan berpikir lebih jernih. Apakah akar masalahnya sekadar individu yang serakah, atau sistem yang memang cacat sejak kelahirannya?

Selama sistem demokrasi kapitalisme dipertahankan, fenomena kesenjangan, politik transaksional, dan pengkhianatan amanah akan terus berulang. Karena itu, solusi sejati hanya bisa ditemukan dengan kembali pada sistem Islam yang paripurna. Wallahu a'lam. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Rizki Ika Sahana Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Tanah untuk Hidup, Bukan Sumber Pajak
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram