Utang Pemerintah, Apa Kabar?

Utang Pemerintah, Apa Kabar?

Betapa besar beban utang pemerintah, sementara mayoritas penduduk Indonesia hidup pada level ekonomi bawah, jauh dari kata sejahtera.

Oleh. Nilma Fitri
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Jelang Presiden Joko Widodo lengser, jumlah utang pada Agustus 2024 turun Rp40,76 triliun dibandingkan bulan sebelumnya. Turunnya utang ini, apakah kabar baik bagi masyarakat?

Berdasarkan data Kemenkeu, dalam waktu 1 bulan, jumlah utang pemerintah turun menjadi Rp8.461,93 pada Agustus 2024 dari Rp8.502,69 pada bulan sebelumnya, di saat kepemimpinan Presiden Joko Widodo akan berakhir. (finance.detik.com, 28-09-2024). Hal ini adalah kabar baik yang patut diapresiasi.

Namun, penurunan ini tidak serta-merta menghapus jejak utang selama dua periode kepemimpinannya. Pada awal pelantikan tahun 2014, jumlah utang Indonesia berada pada level Rp2.601,16 triliun.

Kemudian terus merangkak naik hingga akhir periode pertama di tahun 2019, mencapai angka Rp4.778 triliun. Bahkan, di periode kedua kepemimpinannya, utang tersebut melonjak hampir dua kali lipat menembus level Rp8.502,69 triliun pada September 2024. Jumlah kenaikan yang cukup fantastis dan menembus rekor tertinggi di Indonesia.

Utang Menumpuk tetapi Masih Sehat?

Akan tetapi, melejitnya utang tersebut dinilai negara bukan suatu masalah. Karena, rasio utang terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto) masih mampu ditekan di bawah standar 60% sesuai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Jumlah rasio tersebut berturut-turut sebagai berikut: 38,68% di 2020, 41% di 2021, 38,65% di 2022 dan terakhir 38,49% di Agustus 2024. Semuanya dinilai masih di bawah batas dan utang Indonesia dikatakan masih sehat, karena pemerintah dinilai mampu membayar utang-utang tersebut.

Antara Rasio Utang dan PDB

Pendapatan Domestik Bruto atau PDB merupakan salah satu indikator mengukur kinerja pemerintah, pertumbuhan ekonomi suatu negara, dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Istilah ini muncul pertama kali di Amerika Serikat, sebagai respons depresi besar perekonomian negara tersebut. Kemudian dipakai secara global oleh negara-negara di dunia setelah Konferensi Bretton Woods pada 1944 (ocbc.id, 22-03-2022).

Secara teori, hubungan rasio utang PDB berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi dan kekayaan suatu negara. Artinya, semakin tinggi persentasi rasionya, maka pertumbuhan ekonomi dan kekayaan yang dimiliki negara semakin rendah. Rasio maksimal 60% sebagai batas beban utang telah ditetapkan oleh UU. Apabila nilainya melebihi angka tersebut, maka beban utang sulit dibayar.

Salah Kaprah Utang Pemerintah

Sederhananya, walaupun jumlahnya melejit, tetapi utang Indonesia dikatakan berada dalam kondisi aman. Akan tetapi, Direktur Institute for Demographic and Proverty Studies Yusuf Wibisono menganggap sebaliknya.

Menurutnya, nilai PDB hanya menunjukkan potensi penerimaan pemerintah. Sedangkan penerapannya tidak demikian. Dalam penerimaan anggaran perlu juga memperhitungkan rasio perpajakan (tax ratio) sebagai perbandingan antara PDB dan penerimaan perpajakan (koran.tempo.co, 26-01-2024).

Dengan demikian, untuk mengetahui sanggup tidaknya pemerintah berutang, rasio bunga dan cicilan pokok, serta penerimaan perpajakan perlu juga diperhatikan, karena ketiga parameter tersebut lebih terkait pada pemasukan yang sebenarnya.

Utang untuk Bayar Utang

Jika demikian, walaupun stok utang terhadap PDB masih aman, tetapi beban utang akan sangat memberatkan APBN (Anggaran Pendapatan dan Bepanja Negara). Pada era Presiden Joko Widodo, jumlah perbandingan beban bunga dan cicilan pokok utang totalnya mencapai 47,4 persen dari penerimaan negara. Berarti hampir setengahnya penerimaan negara hanya untuk membayar utang.

Lalu, bagaimana dengan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat? Apalagi proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Nusantara butuh dana sangat besar, dari mana lagi kalau bukan dari utang? Indonesia pun akan terus terjerat dalam utang yang tak berkesudahan.

Utang Pemerintah Nonsens untuk Rakyat

Bayangkan, betapa besar beban utang pemerintah, sementara mayoritas penduduk Indonesia hidup pada level ekonomi bawah. Lebih miris lagi, pertumbuhan utang Indonesia masih lebih besar dari pada pertumbuhan ekonominya.

Pemerintah akhirnya perlu mengambil langkah meningkatkan penerimaan pajak demi membayar beban utang yang terus membengkak dan membebaskan negara dari utang di masa depan. Pajak ini merupakan satu-satunya harapan pembebasan utang, lantaran menjadi sumber pemasukan terbesar dalam APBN yang mencapai 80 persen (republika.co.id, 27-03-2017).

Namun, fakta yang berkembang di masyarakat berkata sebaliknya. Utang seolah menjadi tugas mulia negara untuk mengurus rakyat dengan mengemasnya sebagai penyelamat ekonomi. Padahal jumlah utang pemerintah tidak sebanding dengan kesejahteraan rakyat.

Utang Pemerintah dan Kapitalisme

Begitulah skema besar yang terjadi di dunia saat ini, termasuk Indonesia. Utang yang digadang-gadang sebagai penyelamat ekonomi, nyatanya adalah alat politik negara penjajah dan kunci pembuka agenda neokolonialisme sebuah ideologi kapitalisme.

Kapitalisme, telah mengklasifikasikan status negara-negara di dunia berdasarkan laju kemajuan ekonominya. Indonesia, masuk dalam daftar negara dunia ketiga atau negera berkembang versi kapitalisme tersebut. Kemudian berupaya memantaskan diri menjadi bagian negara maju.

Pembenahan ekonomi pun dilakukan menuju visi Indonesia Emas 2045. Namun, ambisi ini tidak didukung oleh ruang APBN negara. Di satu sisi, perbaikan infrastruktur membutuhkan dana besar, tetapi di sisi lain anggaran negara sangat terbatas. Akhirnya, jalan berutang yang kemudian dipilih negara demi tercapainya tujuan tersebut.

Melalui lembaga internasional dan negara besarnya, kapitalisme memfasilitasi utang kepada negara-negara berkembang untuk mewujudkan proyek pembenahan ekonomi mereka. Semakin proyek ekonomi berjalan, secara otomatis dana yang dibutuhkan juga semakin besar. Utang Indonesia pun kian membengkak.

Pajak sebagai sumber utama pemasukan negara yang kemudian digenjot untuk menutupi beban utang yang terus bertambah. Tak ayal lagi, rakyat menjadi korbannya. Rakyat digenjot layaknya sapi perah yang diambil manfaatnya tanpa merasakan kesejahteraan.

Sementara itu, ekonomi kapitalisme yang diadopsi negara telah membiarkan sumber daya alam Indonesia dikuasai Barat dan dikeruk untuk keuntungan mereka. Padahal, hasil pengelolaan sumber daya alam Indonesia dapat digunakan untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, sekaligus memberikan kesejahteraan sangat layak untuk rakyat.

Utang bertambah dan kekayaan alam berlimpah semuanya bukan untuk rakyat. Hegemoni kapitalisme telah berhasil mencengkeram negara Indonesia dengan kuat.

Membebaskan Indonesia dari Utang Pemerintah

Berbicara tentang utang pemerintah, maka hal ini berkaitan dengan sistem kebijakan negara. Jumlah utang Indonesia yang terus bertambah adalah indikasi ada sistem kebijakan yang perlu dibenahi. Terlebih lagi, pembengkakan utang tersebut berimbas pada kehidupan masyarakat.

Sebenarnya, Indonesia mampu menjadi negara mandiri tanpa terlibat dengan utang dan intervensi negara-negara lain. Pengaturan ekonomi berdasarkan sistem ekonomi Islam, tidak hanya akan membebaskan Indonesia dari utang, tetapi juga mampu memperbaiki kehidupan ekonomi rakyat.

Baca juga: Utang IMF Lunas Tumbalnya Tak Kalah Mengerikan

Baitulmal

Dalam sistem ekonomi Islam, sumber pemasukan negara bukan berasal dari utang dan pajak seperti dalam kapitalisme. Dalam Islam, terdapat tiga sektor sumber pemasukan yang dikelola oleh lembaga negara yang bernama baitulmal. Baitulmal ini yang akan mengelola kas negara, baik pendapatan maupun pengeluarannya, termasuk pembiayaan sarana dan infrastruktur negara.

Dengan kata lain, baitulmal adalah jantungnya ekonomi Islam yang menampung dan memompa dana bagi semua kegiatan ekonomi negara. Adapun tiga sektor sumber pemasukan baitulmal, yaitu:

Pertama, sektor kepemilikan individu. Pada sektor ini, hasil dari pengelolaan kekayaan milik individu tidak langsung masuk ke baitulmal. Tetapi dari sedekah, wakaf, zakat, dan infak dari hasil pengelolaan kepemilikan individu yang ditampung di baitulmal.

Kedua, sektor kepemilikan negara, yang terdiri dari: ganimah, fai, kharaj, jizyah, dan BUMN. Sektor ini dikelola oleh negara dengan tidak berkooperasi dengan negara mana pun. Kemudian hasil pengelolaannya akan masuk ke baitulmal. Apabila terjadi kas negara (baitulmal) kosong bahkan minus, dari sektor inilah negara boleh memungut pajak (dharibah) tetapi sifatnya tidak permanen dan tidak dipungut kepada seluruh rakyat.

Ketiga, sektor kepemilikan umum, yang terdiri dari: fasilitas atau sarana umum dan sumber daya alam. Indonesia mempunyai potensi yang sangat luar biasa besar sebagai sumber pemasukan negara dari sektor ini. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah berupa barang tambang, minyak bumi, emas, perak, dll., akan memberikan keuntungan besar sebagai sumber pembiayaan negara.

Tentu saja sektor yang ketiga ini tidak boleh dimiliki oleh negara, individu, apalagi asing, tetapi pengelolaannya adalah tanggung jawab negara. Lalu hasilnya masuk ke baitulmal, dan digunakan untuk mengurus rakyat seperti pemberian layanan pendidikan dan kesehatan gratis.

Bahaya Utang

Dari semua sumber pemasukan ini, sepanjang sejarah Islam, kas negara tidak pernah kosong, apalagi mengalami defisit anggaran. Jadi, mustahil negara akan berutang. Karena Nabi saw. bersabda:

لا تُخِيْفُوْا أنفُسَكم بعْدَ أَمْنِها. قالوا: وما ذاكَ يا رسولَ اللهِ؟ قال: الدَّيْنُ

 “Jangan kalian meneror diri kalian sendiri, padahal sebelumnya kalian dalam keadaan aman. Mereka (para sahabat) bertanya: 'Apakah itu, wahai Rasulullah?'. Rasulullah menjawab: 'Itulah utang!'" (HR. Ahmad).

Hadis tersebut menjelaskan, utang bisa menjadi teror yang mengancam kita. Padahal sebelum berutang, kita dalam kondisi aman. Kita pun wajib melunasi utang sesuai dengan kesepakatan. Rasulullah juga melarang untuk bermudah-mudah dalam berutang, karena akan mendatangkan rasa takut akibat hak yang Allah berikan kepada pemberi utang untuk menagihnya.

Khatimah

Demikianlah begitu banyak kerugian yang ditimbulkan utang. Sistem kapitalisme yang menjerat negara ke dalam utang tidak layak dipertahankan. Demi mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, negara mesti menjadi negara mandiri tanpa utang, dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang besar milik Indonesia.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan Indonesia bebas utang, kita mesti berbenah meninggalkan kapitalisme dan beralih kepada sistem Islam.

Wallahu alam bisshawab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Nilma Fitri Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Wabah Kolera Menghantui Sudan
Next
Perbudakan Kampus, Mahasiswa Dipaksa Kerja
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca juga: Utang Pemerintah, Apa Kabar? […]

trackback

[…] Baca: Utang Pemerintah Apa Kabar? […]

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram