‎Perceraian Marak: Keluarga Runtuh, Generasi Rapuh‎

Perceraian marak

Dalam sistem kapitalisme, perceraian bukanlah akhir dari masalah, justru menjadi awal dari persoalan baru termasuk fatherless.

Oleh. Sri Yana, S.Pd.I.
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id-Dalam pernikahan, setiap pasangan tentu menginginkan kebahagiaan. Namun, siapa sangka pernikahan yang dibina dengan harapan dapat bertahan seumur hidup justru berujung pada perceraian. Walaupun perkara perceraian dihalalkan, Allah Swt sangat membencinya. Oleh karena itu, pernikahan merupakan ikatan sakral yang seyogianya dijaga hingga ajal menjemput.

‎Pernikahan merupakan mitsaqan ghalizan, perjanjian yang berat di hadapan Allah Swt. sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nisa ayat 21, “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Ironisnya, pada minggu terakhir Agustus 2025, kata kunci “cerai” mencapai puncak pencarian tertinggi sepanjang tahun. Google Trends mencatat bahwa popularitas kata tersebut tidak surut hingga kembali memuncak pada minggu ketiga Oktober. Fenomena ini bukan sekadar rasa ingin tahu publik terhadap kisah rumah tangga yang berakhir, tetapi menjadi ruang empati dan refleksi kolektif di era digital (kompas.id, 7-11-2025).

Kasus Perceraian Meningkat

Meningkatnya kasus perceraian di tingkat nasional dan daerah kontras dengan angka pernikahan yang cenderung menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat 399.921 kasus perceraian sepanjang 2024. Angka ini sedikit menurun dari tahun 2023 yang mencapai 408.347 kasus. Namun, jumlah tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan masa sebelum pandemi COVID-19 yang hanya 291.677 kasus. Sementara itu, jumlah pernikahan justru terus menurun dari 1,78 juta pernikahan pada 2020 menjadi hanya 1,47 juta pada 2024 (voi.id, 9-11-2024).

Data Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kementerian Agama juga menunjukkan bahwa sepanjang periode 2020–2024, perceraian paling banyak terjadi pada usia pernikahan di bawah lima tahun, yakni mencapai 604.463 kasus. Jumlah ini jauh di atas kelompok usia pernikahan 5 s.d.10 tahun (583.130 kasus) dan usia 11 s.d. 15 tahun (398.548 kasus). Setelah itu, angka perceraian menurun seiring bertambahnya usia pernikahan (detik.com, 4-11-2025).

‎Sesungguhnya perceraian dapat terjadi pada siapa saja. Sayangnya, data menunjukkan bahwa usia pernikahan yang masih muda lebih rentan bercerai karena bangunan rumah tangga belum kuat. Terlebih, banyak faktor yang memicu perceraian seperti pertengkaran, KDRT, perselingkuhan, judi daring, dan sebagainya. Fakta menunjukkan lemahnya pemahaman masyarakat tentang makna dan tanggung jawab pernikahan. CNBC Indonesia (2-3-2025) memberitakan bahwa kasus perceraian akibat judi kembali melonjak pada 2024 mencapai 2.889 kasus. Angka ini meningkat 83,77% dibandingkan tahun sebelumnya.

Paradigma Kapitalisme-Sekularisme

Masalah ini diperburuk oleh paradigma kapitalisme-sekularisme dalam sistem pendidikan, sistem sosial, serta sistem politik dan ekonomi, yang melemahkan ketahanan keluarga sekaligus merusak pembentukan karakter generasi. Sistem hidup yang rusak dan merusak telah masuk ke seluruh lini kehidupan. Membuat keluarga, khususnya keluarga Muslim, kehilangan arah dalam menentukan jati dirinya.

Masyarakat pun dibuat sibuk dengan urusan duniawi sehingga peran keluarga tergerus dan akhirnya runtuh. Padahal, keluarga adalah fondasi pertama bagi setiap individu untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, kasih sayang, dan perhatian. Namun, pada sistem saat ini banyak keluarga kehilangan fungsi tersebut.

‎Tidak dapat dimungkiri, kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi bahkan menimbulkan kriminalitas hingga pembunuhan dalam keluarga. Media sosial pun dipenuhi berita tentang hancurnya keluarga kecil karena tekanan hidup yang lahir dari sistem kapitalisme-sekularisme. Faktor terbesar biasanya adalah ekonomi yang melemahkan stabilitas keluarga hingga perceraian menjadi jalan terakhir.

Fenomena Fatherless

Ironisnya, perceraian bukanlah akhir dari masalah. Sebaliknya justru menjadi awal dari persoalan baru. Setelah bercerai, banyak anak tidak mendapatkan nafkah yang layak dari ayahnya. Mereka juga kehilangan kasih sayang dan pendampingan orang tua secara utuh. Inilah yang dikenal sebagai fenomena fatherless. Anak kehilangan sosok ayah sebagai pembimbing, panutan, dan pelindung.

‎Fenomena fatherless dapat menimbulkan berbagai dampak serius, seperti depresi, kecemasan, hubungan sosial yang kurang sehat, rendahnya kepercayaan diri, hingga risiko perilaku menyimpang seperti kenakalan, perilaku seksual berisiko, dan kriminalitas. Anak laki-laki kehilangan figur teladan untuk menjadi pria dewasa, sedangkan anak perempuan kehilangan model hubungan dengan figur laki-laki. Faktor-faktor tersebut membuat generasi hari ini rapuh. Mereka hidup di tengah tekanan ekonomi, sosial, dan budaya yang berat. Tanpa iman yang kuat, mereka mudah terseret arus kerusakan sistem. Oleh karena itu, diperlukan peran negara yang menghadirkan sistem Islam sebagai solusi menyeluruh.

Baca juga: Mengembalikan Peran Hakiki Seorang Ayah

Kembali pada Islam

Mari kembali kepada sistem yang dicontohkan Rasulullah saw. Dengan meneladani beliau, berarti kita menjalankan perintah Allah Swt. Sistem Islam adalah sistem paripurna yang memberikan kemaslahatan bagi umat, membina kepribadian islami yang kokoh, dan memampukan pasangan untuk membangun keluarga sakinah mawaddah warahmah.

Islam memberikan pendidikan kepada umat tentang pernikahan sebelum seseorang memasuki jenjang tersebut agar siap menjadi suami, istri, ayah, atau ibu sesuai syariat. Begitu pula sistem pergaulan Islam menjaga hubungan dalam keluarga dan masyarakat tetap harmonis berlandaskan ketakwaan. Dengan sistem politik dan ekonomi Islam, kesejahteraan keluarga dan masyarakat dapat terjamin secara menyeluruh. Wallahualam bissawab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Sri Yana, S.Pd.I Kontributor Narasiliterasi.Id
Previous
Turki: Upaya Pembebasan Palestina dari Cengkeraman Penjajah
Next
Prancis, Negeri Pusat Mode Terancam Mati Suri
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram