
Saat curah hujan tinggi datang, permukaan meningkat drastis, membawa lumpur, batu, dan gelondongan kayu menjadikan sungai seakan berubah menjadi lautan kayu.
Oleh. Avrinna, Skep., BSN
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)
NarasiLiterasi.Id-Fenomena kayu gelondongan yang menumpuk di sungai dan pesisir Sumatra setelah banjir bandang pada akhir November 2025 kembali membuka mata publik. Foto-foto yang beredar menunjukkan hamparan kayu berserakan di bantaran sungai, garis pantai, bahkan masuk ke area pemukiman.
Bagi sebagian orang, kayu-kayu ini mungkin hanya dianggap sebagai sampah yang terbawa arus. Namun, bagi siapa pun yang memahami dinamika hutan dan ekologi Sumatra, pemandangan ini adalah tanda peringatan yang jelas. Hutan kita sedang sakit.
Menurut laporan cnn.news, 30-11-2025, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, menyampaikan bahwa kayu-kayu tersebut bisa berasal dari berbagai sumber, termasuk pohon yang roboh atau lapuk secara alami. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ada banyak kemungkinan, tetapi tidak menutup dugaan adanya aktivitas pembalakan liar yang tidak terkendali.
Banjir Bukan Hanya Bencana Alam, tetapi Akumulasi Kerusakan
Secara alami, pohon tumbang dan kayu lapuk memang ditemukan di hutan tua. Namun, jumlah yang sangat besar, keseragaman jenis kayu, serta adanya bekas-bekas pengolahan menunjukkan bahwa fenomena ini bukan sekadar proses alami.
Banjir bandang bukan peristiwa mendadak, ini adalah saat ketika kerusakan yang terjadi selama bertahun-tahun tersibak, deforestasi sistematis, baik yang berizin maupun ilegal.
Kegiatan pembalakan legal, meskipun berizin, kerap kurang diawasi. Reboisasi berjalan lambat, pemetaan wilayah rawan longsor tidak optimal, dan banyak perusahaan tidak memenuhi standar keselamatan ekologis.
Di sisi lain, pembalakan liar berjalan tanpa aturan menyerbu kawasan lindung, merusak lereng curam, dan mengabaikan prinsip konservasi. Ketika keduanya terjadi bersamaan, ketahanan hutan pun runtuh.
Hilangnya tutupan hutan membuat tanah tidak lagi mampu menyerap air. Saat curah hujan tinggi datang, permukaan meningkat drastis, membawa lumpur, batu, dan gelondongan kayu menjadikan sungai seakan berubah menjadi lautan kayu. Artinya, banjir bandang bukan kejadian yang tiba-tiba, tetapi gambaran dari kerusakan ekologis yang dibiarkan menumpuk.
Kelalaian Struktural dan Paradigma yang Keliru
Kerusakan hutan Sumatra tidak lahir seketika. Ia terjadi perlahan, terus menerus, dan diperparah oleh lemahnya pengawasan, celah perizinan, serta dominasi kepentingan ekonomi jangka pendek. Deforestasi sering kali dibenarkan dengan mudah melalui izin yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan daya dukung wilayah ataupun suara masyarakat lokal.
Paradigma ekonomi kapitalis turut memperburuk situasi. Dalam sistem ini, hutan dipandang sebagai komoditas yang boleh dieksploitasi semaksimal mungkin demi keuntungan. Selama aliran uang terus berjalan, kerusakan lingkungan dianggap sebagai risiko yang wajar.
Padahal, masyarakat sekitar hutan yang paling terdampak, hampir tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Padahal kerusakan lingkungan bukan hanya hilangnya pepohonan. Ia merusak mata pencarian, menghancurkan ekosistem sungai, mengubah iklim mikro, dan mengancam keanekaragaman hayati.
Jutaan makhluk hidup, termasuk manusia, menderita akibat cara pandang yang keliru terhadap alam.
Baca juga: Relevansi Islam dalam Mitigasi Bencana
Perspektif Islam: Bumi adalah Amanah, Bukan Komoditas
Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia memiliki landasan moral yang kuat untuk menjaga lingkungan. Islam menegaskan larangan melakukan kerusakan di muka bumi. Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)
Ayat ini menegaskan bahwa menjaga kelestarian bumi adalah tanggung jawab manusia. Perusakan hutan, pencemaran sungai, dan eksploitasi alam tanpa batas adalah bentuk kerusakan yang bertentangan dengan perintah-Nya.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih, kemudian hasilnya dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali itu menjadi sedekah baginya.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa menjaga lingkungan merupakan bagian dari ibadah. Setiap pohon yang ditanam memberi manfaat bagi banyak makhluk, dan itu bernilai sedekah. Sebaliknya, merusak hutan berarti menghilangkan potensi kebaikan bagi ribuan kehidupan.
Dalam perspektif hukum Islam, hutan dan sumber daya alam adalah milik umum yang tidak boleh dikuasai demi keuntungan pribadi. Negara wajib mengelolanya untuk kepentingan rakyat, menjaga keberlanjutan ekologis, dan mencegah segala bentuk kerusakan.
Saatnya Mengubah Arah Pengelolaan Hutan
Fenomena lautan kayu pascabanjir adalah cermin dari buruknya pengelolaan hutan. Selama kebijakan masih mengedepankan kepentingan jangka pendek, tragedi ekologis akan berulang. Indonesia perlu mengubah cara pandang terhadap alam. Dari eksploitasi menuju pemulihan,
dari mengejar laba menuju keberlanjutan, dari kepentingan korporasi menuju kemaslahatan rakyat.
Kita tak hanya membutuhkan keberanian politik untuk menindak tegas pembalakan liar, memperbaiki sistem perizinan, meningkatkan transparansi, dan memperkuat peran masyarakat lokal. Namun, perubahan mendasar secara sistemis yang akan menyolusi semua permasalahan. Nilai-nilai Islam dapat menjadi fondasi moral untuk membangun sistem yang adil dan lestari.
Hutan bukan sekadar kumpulan pohon.
Ia penjaga kehidupan. Ketika hutan rusak, bencana hanya tinggal menunggu waktu. Jika gelondongan kayu kembali memenuhi sungai, itu artinya alam sedang berbicara lantang. Pertanyaannya, apakah kita siap mendengarkan?
Wallahualam bissawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com


















