
Bencana banjir yang terjadi di sebagian wilayah di Sumatra ini adalah kombinasi dari faktor alam dan ulah tangan manusia yang serakah.
Oleh. Ummu Rahmat
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Sumatra berduka, beberapa titik daerahnya terguncang banjir dan tanah longsor. Banyak warga kehilangan tempat tinggal. Fasilitas umum lumpuh total. Banyak wilayah terisolasi yang mengakibatkan pada terlambatnya bantuan masuk. Korban jiwa pun masih terus bertambah. Seiring dengan proses evakuasi yang masih terus berlanjut.
Bencana alam yang terjadi pada penghujung November 2025 ini menjadi luka mendalam di tiga Provinsi di Pulau Sumatra seperti Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Di Aceh saking parahnya, amukan air bah ini disebut sebagai tsunami kedua. Ya, bukan apa tetapi yang membuat kita shock ketika bencana hidrometereologi ini terjadi serentak di tiga provinsi sekaligus di Pulau Andalas. Itu menyisakan kerusakan yang cukup parah dari segi infrastruktur. Ini mengisyaratkan bahwa bencana ini tak main-main. Maka sungguh sangat disayangkan, bila tak masuk dalam kategori bencana nasional.
Baca juga: Lautan Kayu, Tanda Kerusakan yang Diabaikan
Terlepas dari itu, bencana ini juga membuat kita akhirnya bertanya-tanya. Pasalnya, air bah yang mengamuk itu membawa serta ratusan bahkan mungkin ribuan gelondongan kayu yang berukuran variatif. Dan spechless-nya, gelondongan ini dalam kondisi terpotong rapi. Dari manakah asal kayu-kayu berdiameter besar ini? Adakah ia tumbang akibat terpaan hujan? Atau ini kayu para kapitalis yang belum sempat diangkut? Mari kita telusuri pada uraian berikut ini!
Banjir Sumatra: Kondisi Alam atau Buruknya Perilaku Manusia?
Berbicara bencana alam terutama banjir dan tanah longsor, tentu semua ini terjadi bukan dengan tiba-tiba. Bila kita hendak membuka literatur, banjir terjadi akibat dari hilangnya populasi atau ekosistem hutan, dalam hal ini pohon yang berfungsi sebagai penampung kadar air kala hujan turun. Hujan tentu tak bisa kita tahan untuk tidak jatuh membasahi. Karena ia adalah siklus alami yang terus berproses setiap saat. Hanya saja Tuhan sudah mengatur agar hujan yang turun ini tak merusak alam. Sang Pencipta hadirkan sejumlah tanaman yang menjulang tinggi yang akarnya menghunjam jauh ke dasar tanah yang berfungsi untuk menampung setiap titik air hujan yang jatuh ke bumi, agar ia dapat memperkaya sumber mata air kehidupan juga menjaga manusia dari bencana alam seperti banjir, tanah longsor, perubahan iklim, pemanasan global, dan lain sebagainya. Ya, Allah Swt. begitu rapi dan teratur menata alam semesta beserta isinya. Hanya saja, tangan manusia itu sendiri yang merusaknya akibat kerakusan dan ambisi memabi buta manusia dalam menjadikan alam sebagai lahan bancakan sampai lupa menjaga keseimbangan yang sudah Sang Pencipta tetapkan. Alhasil, alam pun tercederai.
Jika kita berbicara mengenai tragedi banjir di Pulau Sumatra yang terjadi serentak pada 27 November 2025 lalu, kita akan sampai pada satu kesimpulan, bahwa ini terjadi bukan semata karena faktor alam melainkan ada campur tangan manusia. Hal ini diungkap oleh seorang peneliti. Memang benar saat itu kondisi atmosfer di atas pulau ini sedang tidak baik-baik saja. Namun, semua tak akan menjadi runyam kalau saja kondisi alam di sana masih sehat.
Ya, peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU mengatakan bencana banjir yang terjadi di penghujung November 2025 ini adalah kombinasi dari faktor alam dan ulah manusia. Beliau pun menuturkan bahwa memang pada akhir November 2025 lalu terdapat Siklon Tropis Senyar, yakni sebuah fenomena gangguan atmosfer yang dapat memicu bencana hidrometereologi. Ini berpusat di Selat Malaka, kemudian memicu hadirnya curah hujan yang tinggi. Bahkan hasil temuan BMKG di hari puncak kejadian itu, wilayah Sumatra di beberapa titik diguyur hingga 300 mm hujan/per harinya.
Akan tetapi, menurut akademisi asal UGM itu, peristiwa yang berlaku di tiga provinsi itu tidak semata karena curah hujan yang tinggi tersebut. Melainkan rapuhnya pertahanan benteng alam yang berada di kawasan hulu. Benteng pertahanan alam ini adalah hutan yang menjadi pengendali daur air kawasan. Dirinya juga menambahkan bahwa hutan yang rimbun sejatinya punya peran yang sangat signifikan di musim hujan seperti saat ini, keberadannya sebagai penyangga yang menahan air sebelum sampai ke sungai.
Persoalannya kemudian, Sumatra adalah salah satu wilayah di tanah air yang tinggi dalam aktivitas deforestasinya. Alhasil, vegetasi hutan pun hilang. Air hujan turun tak lagi punya tempat singgah, yakni akar-akar pohon. Sebagaimana lumrahnya kita diajarkan pada buku-buku pelajaran di sekolah bahwa di akar pohon inilah air hujan ditampung sementara. Hilangnya hutan dan pohon membuat air hujan tak lagi memiliki penahan hingga akhirnya ia langsung menerjang ke sungai. Sungai ketika sudah tak mampu menampung akhirnya meluap hingga kemudian menjadi bahaya banjir bandang. Namun, banjir dan tanah longsor yang dahsyat mengguncang Pulau Sumatra beberapa waktu lalu mengisyaratkan sebuah kerusakan yang amat parah di kawasan hutan tersebut. Hal ini makin diperkuat dengan banyaknya gelondongan kayu yang keluar bersama amukan air. Maka, mustahil bila tak ada campur tangan manusia di sana.
Tingginya Aktivitas Deforestasi di Sumatra
Berbicara soal deforestasi mari kita pahami apa itu deforestasi, penyebab, bahaya, serta kaitannya dengan gelondongan kayu yang keluar bersama bencana banjir dan longsor di Pulau Sumatra.
- Pengertian Deforestasi
Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), deforestasi adalah sebuah aktivitas penebangan kayu komersial dalam skala yang besar. Secara lebih luas, deforestasi adalah suatu kondisi di mana hilangnya hutan beserta dengan komponen di dalamnya baik secara alami maupun karena campur tangan manusia. Fenomena deforestasi ini sering dikaitkan dengan wujud eksploitasi berlebihan dan serampangan oleh manusia kepada alam (baca: hutan) demi keuntungan materi. Hutan sebagaimana yang kita ketahui, ia menyimpan banyak potensi berharga yang tak ternilai jumlahnya.
- Penyebab Deforestasi
Dikutip dari environment-Indonesia.com (5-02-2025), deforestasi adalah faktor utama di balik rusaknya hutan. Ini berangkat dari dalih pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Kemudian diikuti dengan penebangan kayu dan produk lainnya di dalam hutan. Lalu menempel bersamanya aktivitas illegal loging atau produksi kayu yang berasal dari konsesi Hak Penguasa Hutan (HPH). Ada pula karena alasan perluasan infrastruktur dan permukiman akibat tingginya pertumbuhan penduduk. Kebakaran hutan yang disengaja karena dianggap murah dalam membuka lahan baru, juga menjadi penyebab deforestasi.
- Dampak Deforestasi
Deforestasi memiliki bahaya laten bagi alam. Di mana ini sangat merugikan seluruh komponen eksosistem di sekitarnya.
Pertama, alam menjadi kehilangan keanekaragaman hayati, banyak flora dan fauna menjadi punah. Kedua, penggundulan hutan akan membuat perubahan pada keseimbangan alam di mana iklim akan terganggu. Karena hutan yang sebelumnya berperan sebagai penyerap karbon alami. Kini kehilangan pemasoknya yakni pepohonan itu sendiri.
Ketiga, hutan yang hilang akan mengganggu sumber air.
Keempat, deforestasi menyebabkan hilangnya vegetasi alami yang berfungsi sebagai penyangga alami tanah, sehingga pada musim penghujan tiba tanah tidak mudah longsor dan erosi.
- Deforestasi di Pulau Sumatra
Lalu bagaimana dengan fakta deforestasi di tiga provinsi di Sumatera ini?
Pada tahun 2024 angka deforestasi netto Indonesia berada di angka 175,4 ribu hektar. Mayoritasnya terjadi di hutan sekunder, yakni hutan yang tumbuh kembali karena reboisasi setelah mengalami kerusakan daripada aktivitas manusia. Mari kita lihat bagaimana angka deforestasi di beberapa provinsi yang terdampak banjir cukup parah pada beberapa waktu lalu!
- Aceh
Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), empat kabupaten di Provinsi Aceh yang masih terisolir akibat banjir yang menerjang beberapa waktu lalu. Empat kabupaten tersebut di antaranya Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Gayo Lues, dan Kabupatqen Singkil. Keempat kabupaten ini terisolir karena akses penghubung, yakni jembatan putus dan rusak parah akibat terjangan arus banjir. Di Kabupaten Pidie Jaya, lumpur menutupi rumah warga setinggi 2 meter. Di daerah lain gelondongan kayu juga memenuhi perkampungan warga.
Berkaitan dengan hal ini, Aceh rupanya menjadi salah satu provinsi yang melakukan aktivitas pembalakan liar. Menurut data dari Kementrian Kehutanan (Kemenhut) yang dilansir dari laman cnnindonesia.com (30/11/2025), ditemukan 86,60 meter kubik kayu ilegal tepatnya di Kabupaten Aceh Tengah. Hari ini Aceh Tengah merupakan salah satu wilayah yang masih terisolir akibat mengalami kerusakan parah dari segi infrastrukturnya. Selain itu, Aceh juga menjadi provinsi yang sejak tahun 1990-2000 telah kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutannya akibat deforestasi (ugm.ac.id, 1/12/2025).
- Sumatra Utara
Lalu bagaimana dengan Sumatra Utara? Di provinsi ini total deforestasi nettonya mencapai 7.034,9 ha, lebih kecil dari Aceh. Namun, pada tahun 2020 hutan Sumut yang tersebar di Pegunungan Bukit Barisan bagian barat, tutupan hutan atau jumlah pohon yang menutupi suatu area lahan tertentu tinggalah sekitar 29 persen saja atau sekitar 2,1 juta ha. Kini benteng terakhir hutan bagi provinsi ini hanyalah Kawasan Ekosistem Batang Toru yang berlokasi di Tapanuli. Namun mirisnya, kawasan yang menjadi tumpuan hutan bagi Sumatra Utara ini, telah terjamah oleh aktivitas manusia. Mulai dari hadirnya aktivitas penambangan, pembukaan kebun, dan lain sebagainya (ugm.ac.id, 1/12/2025). Alhasil, provinsi ini terancam kehilangan kawasan hutannya.
Berbicara soal asal muasal gelondongan kayu yang juga ditemukan di provinsi ini saat banjir beberapa waktu lalu. Dari hasil temuan Kemenhut, di Sipirok Tapanuli Selatan pada Oktober 2025 lalu, sebanyak 4 buah unit truk yang bermuatan kayu bulat dengan dokumen kayu dari Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) yang sudah dibekukan. Dan kayu ini sebanyak 44,25 meter kubik. Artinya bahwa, di sana memang sedang berlangsung pembalakan liar. Maka tentu ini dapat menjawab rasa penasaran publik dari mana asal datangnya kayu-kayu gelondongan tersebut.
- Sumatra Barat
Untuk provinsi Sumatra Barat (Sumbar) sendiri, lokasi terdampak banjir dan tanah longsor tersebar di tujuh kabupaten dan kota. Di antaranya, Kabupaten Padang Pariman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Limah Puluh Kota, Kota Padang, dan Kota Solok. Kabupaten Pariaman adalah titik wilayah yang paling terdampak. Di mana di sini terdapat 13 kecamatan yang terkena longsor dan 11 kecamatan yang terdampak banjir. Sungguh, ini duka yang sangat mendalam bagi penduduk sekitar.
Merujuk pada data tahun 2020, Sumatra Barat masih memiliki hutan sekitar 54 persen dari luas wilayahnya, yakni kurang lebih 2,3 juta ha. Secara data pula ia masih lebih baik dari Sumut. Hanya saja di provinsi ini angka deforestasinya adalah yang tertinggi. Dari kurun tahun 2001 hingga 2024 sebanyak 320 ribu ha hutan primer dan 740 ribu ha tutupan, yakni baik itu hutan primer maupun sekunder telah raib (ugm.ac.id, 1/12/2025).
Pada Agustus 2025 lalu, Kemenhut menemukan 152 batang kayu yang ditebang dari luar PHAT dan ini terjadi di Kabupaten Solok. Ini baru data yang berhasil ditemukan. Bagaimana dengan yang tidak pernah terungkap. Tentu tak terhitung jumlahnya. Hal ini pun akhirnya terkuak kala banjir tempo hari. Barangkali saja kayu-kayu itu belum sempat diangkut dan akhirnya keluar bersama aliran banjir. Maka harapan hutan bagi provinsi ini pun sama dengan Sumatra Utara, yakni sama-sama berada di lereng curam bukit barisan.
Pulau Sumatra secara gografis merupakan wilayah di tanah air yang beriklim tropis basah, sehingga hujan lebat kerap terjadi di sini. Maka seharusnya, alam di pulau ini harus dijaga dengan baik. Hutannya harus dijaga dan dipelihara. Karena bila hutan di pulau ini hilang maka bencana alam besar-besaran tinggal menunggu waktunya saja. Itulah mengapa, pentingnya peran pemangku kebijakan yang tidak boleh memihak apalagi kepada para pemilik modal. Karena bila alam rusak maka nyawa seluruh masyarakat di sekitar dalam taruhannya. Lantas sejak kapan sebenarnya, asal muasal eksploitasi hutan Indonesia ini mulai berlaku?
Awal Mula Eksploitasi Hutan Indonesia
Setiap ciptaan Tuhan di bumi semua hadir bukan dengan tanpa alasan. Walau dalam standar syarak kita tak boleh mempertanyakan, tetapi dengan kemajuan sains dan teknologi serta masifnya riset yang dilakukan, akhirnya ditemukan bukti ilmiah. Begitu pun dengan keberadaan hutan, hutan adalah sebuah ekosistem alami yang di dalamnya berdiam banyak populasi makhluk hidup yang saling bersimbiosis. Hutan dihadirkan untuk menjaga keseimbangan alam. Hutan juga hadir sebagai urat nadi bagi kehidupan. Ia menyimpan banyak potensi dan peran dalam keberlangsungan kehidupan umat manusia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi besar tersebut. Ya, Indonesia mempunyai kawasan hutan yang luas di dunia setelah hutan Kongo dan Brasil di Amerika Latin. Luas hutan Indonesia mencapai 131.156.904,97 ha. Jumlah ini mencakup di dalamnya hutan konservasi seluas 27.215.511,5 ha, hutan produksi 73.946.572,41 ha, dan 29.994.821,01 ha hutan lindung (Histori.id, 4/10/2025). Hutan yang besar ini tentu menyimpan segudang kekayaan biodiversitas yang bernilai ekonomi tinggi.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2023, provinsi dengan luas tutupan hutan terbesar ialah Papua dengan 32,9 juta hektare; Kalimantan sebesar 28,5 hektare; Sumatra 16 hektare; Sulawesi 11,6 hektare; Maluku 6,8 hektare; Bali 2,7 hektare; dan Jawa 1,6 hektare. Tutupan hutan sendiri adalah jumlah dari pohon yang berfungsi menutupi area tanah tertentu. Tutupan hutan inilah yang berfungsi menjaga keberlanjutan ekosistem juga kesejahteraan manusia. Keberadaan tutupan hutan dapat melindungi manusia dan makhluk lain dari bencana banjir dan tanah longsor, menghalangi dari erosi, pemanasan global, menjaga sumber air, mengatasi perubahan iklim, dan lain sebagainya. Jadi, keberadaan tutupan hutan ini harus dijaga dan dilestarikan.
Ironisnya, di Sumatra sendiri tutupan hutannya sudah makin berkurang. Di mana kini sudah beralih fungsi menjadi areal perkebunan sawit, kawasan pertambangan, dan pembalakan liar. Bila kita telusuri lebih jauh, penghilangan hutan di Pulau Sumatra ini ternyata sudah terjadi sejak lama. Jika mengutip ungkapan Zulkifli Hasan dalam podcastnya bersama Deny Sumargo (01/12/2025), bahwa hutan Sumatra itu habis duluan sejak lama, bahkan sejak orde baru. Saat itu ungkap Menteri Koordinator Bidang Pangan itu mengatakan, pendapatan negara bertumpuh pada hasil hutan. Dan hutan Sumatra itulah yang pertama dikelola.
Meski begitu, bila kita hendak membuka lembaran sejarah, potensi hutan Indonesia ini sudah dilirik sejak zaman kolonialisme. Saat VOC eksis di Nusantara, eksploitasi terhadap hasil hutan di negeri ini mulai dilakukan. Apalagi pada saat itu, komoditas seperti kina; tebu; kopi; tembakau; dan teh laku keras di pasaran dunia. Alhasil, kongsi dagang Hindia Timur itu melakukan pembukaan lahan baru untuk memperluas jangkauan penanaman beberapa komoditas yang laku keras tersebut.
Di masa Soekarno, eksploitasi hutan masih terbilang minim. Namun, pada tahun 1964 setelah isu konfrontasi dengan Malaysia mereda, mulailah para konglomerat melirik hutan Kalimantan yang saat itu masih belum terjamah. Isinya masih lengkap dengan potensi yang sangat luar biasa.
Eksploitasi hutan ini pun makin legal dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1967. Saat itu, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mulai diberikan kepada para pengusaha. Puncak kerusakan hutan Indonesia terjadi pada tahun 1980-an. Saat itu, negara betul-betul menggelar karpet merah bagi para konglomerat hutan sampai-sampai jumlah HPH yang dikeluarkan mencapai 519 izin dengan luas areal 53 juta hektare. HPH ini tak hanya diberikan kepada perusahaan nasional melainkan kepada asing pun diobral. Maka mulailah saat itu masuk para kapitalis dunia berburu kapital di hutan Indonesia.
Ekspor kayu gelondongan pun mulai terjadi saat itu. Bayangkan saja, seorang konglomerat kayu bernama Bob Hasan kala itu menguasai pemasokan dan pasar kayu lapis terbesar di dunia. Ia memegang HPH dari negeri ini dan keuntungannya untuk dirinya sendiri (Historia. id, 4/06/2024). Sungguh, negara ini sudah ditawan oleh para pemilik modal. Maka bencana yang hari ini melanda negeri ini seperti banjir dan tanah longsor, bukan karena peristiwa beberapa tahun belakangan ini tetapi akumulasi dari kebijakan eksploitasi itu berlaku. Kini dipanen dampaknya oleh anak dan generasi yang datang kemudian. Hari inilah semua terjadi. Mereka yang tak menikmati apa-apa, harus menyaksikan rumah mereka amblas digilas banjir yang mengganas, juga kehilangan orang-orang tersayang. Sungguh, ini kepiluan yang amat menyayat hati.
Buah Penerapan Sistem Kapitalisme
Apa yang berlaku dalam penjabaran di atas, bermuara pada satu kesimpulan, yakni kebijakan pengaturan kehidupan yang kapitalistik yang itu lahir dari rahim ideologi kapitalisme yang punya syahwat materi tak terbendung. Inilah yang ia kejar dalam sistem perekonomiannya. Maka tak heran bila negara dibuat tak berdaya. Negara berubah fungsi sebagai regulator semata sang penggelar karpet merah kepada para konglomerat. Inilah fungsi negara di dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Untuk memudahkan hal itu, maka dibuatlah konsep liberalisasi sumber daya alam, yakni bagi siapa saja yang bermodal besar boleh dan bebas mengakses potensi kekayaan alam tersebut. Tak terkecuali potensi hutan dan sekitarnya yang memang turut menjanjikan. Akhirnya, tak ada konsep kepemilikan yang jelas, mana yang menjadi milik negara dan bukan. Karena semua pengelolaan dan pemanfaatan berbasis investasi. Mirisnya, negara mendapat bagian yang kecil dibanding para pengusaha. Padahal, bila ditimbang, negaralah yang punya kekayaan itu. Tapi, inilah fakta di dalam sistem ini. Negara dibuat tak berdaya ketika berhadapan dengan para pemilik modal.
Solusi Islam
Dalam pandangan dan kacamata Islam, alam dan seluruh isinya harus dijaga. Manusia dilarang keras melakukan perusakan kepada alam. Apalagi sampai mengganggu keseimbangan ekosistem yang sudah Allah Swt. ciptakan dengan begitu baik dan teraturnya. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-A’raf ayat 56 yang artinya, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Semua upaya pencegahan yang bisa menjaga manusia agar tidak melakukan perusakan ini, efektifnya dilakukan oleh negara. Karena negara punya power, kuasa, serta aturan. Itulah mengapa di dalam Islam negara berfungsi sebagai pelindung dan pengatur segala hajat hidup warganya tanpa terkecuali. Karena kelak berlaku hisab padanya di hari akhir nanti. Sebagaimana sabda Nabi saw. yang berbunyi, “Amir (khalifah) yang mengurus banyak orang adalah pemimpin dan akan ditanya tentang mereka.” (HR. Bukhari).
Maka negara tentu akan takut bila memberi izin tanpa melakukan pengawasan ketat apalagi dalam hal pengelolaan kekayaan alam. Ditambah lagi, Islam begitu jelas memetakan suatu kawasan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Sebagaimana yang termaktub dalam hadis riwayat Ibnu Majah, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api.”
Makna berserikat ini meniscayakan bahwa rakyat punya hak atas air, rumput, dan api. Maka hutan yang di dalamnya terdapat sumber air, rumput yang berarti pohon dan semak belukar lainnya, haram hukumnya diswastanisasi oleh para pemilik modal. Karena ia adalah milik orang banyak. Adapun bila negara hendak mengelolanya, maka hasilnya harus dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memenuhi kantong para kapitalis.
Di dalam sistem Islam, kerusakan lingkungan tak akan ditemukan. Karena dalam Al-Quran, Allah Swt. melarang keras aktivitas merusak alam. Sebagaimana pesannya dalam surah Al-Baqarah ayat 205 yang artinya, “Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanaman-tanaman dan ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.”
Pun di dalam agama yang mulia ini, melestarikan alam dalam hal ini melakukan penanaman pohon diganjar dengan pahala oleh Allah Swt. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa dari Nabi saw. bersabda, “Tiada seseorang muslim yang menanam pohon atau tumbuhan lalu dimakan oleh seseorang, hewan ternak, atau apa pun itu, melainkan ia akan bernilai sedekah bagi penanamnya.”
Maka dalam sistem Islam dengan kondisi iman yang kuat, manusia akan sadar dan berlomba-lomba untuk menjaga dan memakmurkan hutan. Ada lahan yang tandus akan segera ditanami. Tanah yang kosong akan dimanfaatkan dan lain sebagainya. Alhasil, tertutup celah untuk melakukan pengrusakan pada alam.
Inilah mulianya syariat, sudahlah terdapat larangan untuk aktivitas privatisasi kekayaan alam. Juga lahirnya kesadaran yang tinggi dari rakyat akibat iman yang menghunjam akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Maka terjagalah kita dengan sebaik-baik penjagaan. Kita menjaga alam dan alam pun akan menjaga kita. Inilah bedanya paradigma Islam dengan kaptalisme dalam memandang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Khatimah
Hanya Islam yang akan menjaga dan memuliakan alam semesta beserta isinya. Sistem lain tak mampu karena tak membawa paradigma riayah syu'unil ummah, yakni meriayah seluruh umat. Sedangkan kapitalisme hanya membawa misi eksploitasi guna memperkaya pundi-pundi harta para kapitalis.
Semoga Allah Swt. memberi tambahan kesabaran kepada saudara-saudara kita di Pulau Sumatra. Insyaallah, di balik setiap kesukaran hidup ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Semoga segala kehilangan yang dialami, akan diganti dengan sesuatu yang jauh lebih baik. Allah Swt. tak menguji di luar batas kemampuan hambanya. Semoga peristiwa memilukan ini menjadi momentum muhasabah bagi semua pemangku kebijakan.
Wallahu a’lam bis-sawab []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com


















