
Persatuan bukan hanya soal berkumpul dalam ritual, tetapi menyatukan visi, misi, dan institusi politik di bawah naungan syariat Islam.
Oleh. Susi Rahma S.Pd
Kontributor NarasiLiterasi.Id
NarasiLiterasi.Id-Majelis Taklim Lentera Qur'an pada bulan Juni ini diselenggarakan tanggal 1 Juni 2025 kemarin. Seperti biasa diadakan di Mesjid Raya Bandung, dengan pembicara Ustazah Lisa Erisca.
Beliau memaparkan bahwa ibadah haji adalah rukun Islam yang unik. Ia tidak hanya menuntut kesiapan fisik dan materi, tetapi juga menggambarkan bagaimana Islam mengatur kehidupan kolektif umat secara menyeluruh. Dalam Surah Al-Hajj ayat 27, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh." (QS. Al-Hajj [22]: 27)
Ayat ini menggambarkan panggilan universal Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada seluruh umat manusia untuk melaksanakan ibadah haji. Menariknya, ayat ini tidak hanya menunjukkan aspek ritual haji, tetapi juga mengisyaratkan tentang nilai-nilai persatuan dan kesatuan umat.
Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi menegaskan bahwa dalam ibadah haji, seluruh perbedaan manusia (baik suku, ras, warna kulit, maupun bahasa) melebur menjadi satu. Ia berkata:
"Di tengah-tengah persatuan (ibadah haji) ini berbagai suku bangsa, warna kulit, dan bahasa manusia melebur (menjadi satu). Oleh karena itu, tidak ada yang pantas untuk dijadikan atribut (identitas), selain Islam, dan tidak ada yang perlu diperhitungkan, kecuali iman."
Baca juga: Kapitalisme Menjerat, Ibadah Haji Makin Berat
Haji: Cerminan Persatuan Umat
Dalam pelaksanaan haji, kita menyaksikan bagaimana jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di tempat dan waktu yang sama, dengan pakaian yang seragam (ihram), mengucapkan kalimat talbiyah yang sama, dan melaksanakan rangkaian ibadah yang sama: tawaf, sai, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina. Semua perbedaan status sosial, nasionalitas, dan budaya terlepas, digantikan dengan satu identitas: sebagai hamba Allah dan umat Muhammad ï·º.
Namun sayangnya, persatuan ini hanya bersifat temporer dan ritualistik. Setelah selesai ibadah, umat kembali ke negerinya masing-masing dengan membawa identitas nasional dan kepentingan masing-masing. Bahkan, pelaksanaan hari raya Iduladha saja sering berbeda waktunya di berbagai negara. Ini menjadi bukti bahwa persatuan umat saat ini masih semu dan bersifat simbolis.
Realitas Umat: Terpecah dan Tertindas
Di sisi lain, kita menyaksikan umat Islam di berbagai belahan dunia hidup dalam penderitaan akibat penjajahan, konflik, dan ketidakadilan. Palestina, Suriah, Yaman, Rohingya, Uighur, dan lainnya menjadi saksi bisu dari lemahnya posisi umat Islam di kancah global. Ketika saudara-saudara kita dibantai oleh Zionis Yahudi, dunia Islam tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti. Pemimpin negara-negara Muslim hanya mampu mengutuk, bahkan sebagian menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan penjajah.
Kondisi ini mencerminkan bahwa umat Islam tidak memiliki kekuatan politik yang nyata. Tidak ada institusi global yang dapat mewakili kepentingan umat secara menyeluruh. Hal ini menjadi akar permasalahan utama terpecahnya barisan kaum Muslimin.
Penyebab Perpecahan Umat
Perpecahan ini bukan tanpa sebab. Tiga hal mendasar dapat disebut sebagai biang keladinya:
Pertama, sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Islam dipandang hanya sebagai agama ritual, bukan sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Akibatnya, nilai-nilai Islam hanya dihidupkan dalam ranah ibadah personal, sementara hukum dan politik dikuasai oleh sistem buatan manusia.
Kedua, nasionalisme yang menumbuhkan batas-batas buatan antara kaum Muslim. Konsep nation-state telah memecah belah umat menjadi lebih dari 50 negara yang masing-masing mementingkan kedaulatan dan keamanannya sendiri. Ukhuwah Islamiah digantikan dengan loyalitas kepada bangsa dan tanah air.
Ketiga, ketiadaan institusi pemersatu umat secara hakiki, yaitu Khilafah. Tanpa institusi ini, umat Islam kehilangan perisai yang melindungi akidah, darah, dan kehormatannya.
Khilafah: Solusi Persatuan Hakiki
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang pernah dipraktikkan sejak masa Rasulullah ï·º hingga keruntuhannya pada 1924. Ia bukan sekadar simbol, tetapi institusi nyata yang menyatukan seluruh umat di bawah satu kepemimpinan. Khilafah menjadi perisai yang melindungi umat, sebagaimana sabda Rasulullah ï·º:
"Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Muslim)
Khilafah akan menyatukan kekuatan militer umat Islam di berbagai negeri, memobilisasi jihad untuk membebaskan wilayah-wilayah yang dijajah seperti Palestina, dan memutus ketergantungan terhadap kekuatan kafir global seperti Amerika Serikat.
Lebih dari itu, Khilafah akan menjadi mercusuar peradaban Islam, menyebarkan rahmat ke seluruh dunia melalui dakwah dan keadilan Islam. Ia akan mengakhiri sekat-sekat nasionalisme dan menggantinya dengan ikatan akidah yang menyatukan seluruh umat.
Penutup
Ibadah haji seharusnya tidak hanya menjadi rutinitas tahunan, tetapi momen kontemplatif yang membangkitkan kesadaran akan pentingnya persatuan hakiki. Persatuan bukan hanya soal berkumpul dalam ritual, tetapi menyatukan visi, misi, dan institusi politik di bawah naungan syariat Islam. Inilah yang akan mewujudkan firman Allah: "Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku." (QS. Al-Anbiya: 92)
Kini saatnya umat Islam menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak menuju persatuan hakiki dalam naungan Khilafah yang akan memimpin dunia dengan rahmat Islam. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
