Kekeringan di Spanyol dapat diatasi dengan mengembalikan pengelolaan sumber daya alam sesuai aturan Islam yang kaffah
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Spanyol tengah dilanda kekeringan parah. Sudah lebih dari delapan bulan hujan tidak turun di Negeri Matador itu. Akibatnya, debit air di waduk pun menyusut. Cuaca sangat panas karena suhu udara mencapai 44 derajat Celcius.
Bencana itu menyebabkan warga kesulitan mendapatkan air minum. Pemerintah menyarankan kepada masyarakat untuk tidak mengonsumsi langsung air keran karena tingkat salitinas (tingkat keasinan) air meningkat. Sebagai gantinya, pemerintah memberikan air kemasan secara gratis. Para turis pun terpaksa ikut antre untuk mendapatkan air kemasan tersebut. (cnnindonesia.com, 23-08-2024)
Penyebab Kekeringan di Spanyol
Spanyol merupakan negara yang terletak di Eropa Barat Daya. Wilayahnya meliputi Kepulauan Canary di lepas pantai Afrika Utara dan Kepulauan Balearic di Laut Mediterania. Spanyol berbatasan dengan Portugal di sebelah barat, dengan Gibraltar dan Maroko di sebelah selatan, serta Prancis dan Andorra di timur laut. Adapun di bagian utara berbatasan dengan Samudra Atlantik, sedangkan di timur laut berbatasan dengan Laut Mediterania.
Madrid adalah ibu kota negara sekaligus menjadi kota terbesar di negara ini. Negara terpadat keenam di Eropa ini memiliki jumlah penduduk sekitar 47 juta jiwa pada 2022, di mana 80% dari mereka tinggal di perkotaan. Spanyol merupakan negara terbesar kelima di Eropa. Spanyol juga merupakan negara maju dengan ekonomi terbesar ketiga belas di dunia. (http://wikipedia.org)
Lanskap Spanyol didominasi oleh pegunungan dan dataran tinggi, seperti Sierra Nevada dan Pirenia. Dari tempat-tempat tersebut, mengalirlah sungai-sungai. Meskipun memiliki banyak sungai, Spanyol juga rentan terhadap musim panas yang panjang dan kering, seperti yang terjadi di Barcelona yang terletak di wilayah Mediterania.
Barcelona mengalami panas lebih cepat dari wilayah lain di dunia. Hal ini menyebabkan wilayah tersebut rentan mengalami kekeringan. Sejak 2023, volume air sungai di sana menyusut dan hanya mampu menyediakan 19% kebutuhan air minum masyarakat. Sisanya dipenuhi dari air sumur (23%), desalinasi (33%), dan air waduk (25%).
Desalinasi adalah proses untuk mengurangi kadar garam yang terlalu tinggi yang terkandung dalam air, seperti air laut. Desalinasi telah menjadi bagian penting dari Spanyol sejak lebih dari setengah abad. Pabrik desalinasi pertama didirikan pada 1964 di Pulau Lanzarote yang terletak di Kepulauan Canary. Hingga 2023, Spanyol telah memiliki 800 pabrik desalinasi yang mampu menghasilkan 5 juta liter kubik air per hari.
Jumlah itu sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan minum sekitar 70% penduduknya dan dapat membantu mereka mengatasi kekeringan. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kebutuhan air di Spanyol terus mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena air sangat dibutuhkan untuk mendukung dua pilar ekonomi negara tersebut, yaitu pertanian dan pariwisata. (apnews.com, 29-05-2023)
Peran Negara dalam Mencegah Kekeringan
Itulah sebabnya, sektor pariwisata juga dianggap sebagai penyebab kekeringan di Spanyol. Anggapan itu tidak berlebihan. Seperti yang terjadi di wilayah Marina Alta. Konsumsi air di wilayah ini naik menjadi 19,67 miliar liter pada Juli, padahal pada Januari hanya 2,3 miliar liter. Pasalnya, di wilayah tersebut terdapat hampir 38 ribu kolam renang.
Dewan kota menilai bahwa penggunaan air untuk kolam renang ini menjadi salah satu penyebab kekeringan. Oleh karena itu, dewan kota meminta masyarakat untuk menghemat air. Masyarakat dilarang mengisi kolam renang, menyiram tanaman, serta mencuci mobil di siang hari.
Kekeringan ini tidak hanya membuat masyarakat kesulitan dalam mendapatkan air. Bencana ini juga merugikan para petani. Menurut asosiasi pertanian ASAJA, pihaknya telah mengalami kerugian hingga lebih dari 65 juta euro atau sekitar Rp1,1 triliun akibat kekeringan.
Memang, air adalah sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Manusia, tumbuhan, serta hewan membutuhkannya agar tetap hidup. Tanpa air, makhluk hidup akan mati.
Oleh karena itu, negara harus menjamin ketersediaan air bagi setiap warga. Selain itu, negara juga harus mencegah dikuasainya sumber air yang berlimpah. Sumber air yang jumlahnya besar ini dapat dikelola oleh negara agar tidak terjadi perselisihan di antara anggota masyarakat karena memperebutkannya. Negara dapat membuat saluran untuk mengalirkan air hingga ke rumah-rumah warga sehingga memudahkan mereka saat hendak memanfaatkannya.
Namun, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan menyebabkan kerusakan alam yang parah. Akibatnya, terjadi perubahan iklim dan pemanasan global sehingga menyebabkan bencana bagi manusia, seperti kekeringan yang terjadi di Spanyol saat ini. Bencana ini juga melanda wilayah lain di dunia, termasuk Indonesia.
Hal ini terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme dalam kehidupan. Konsep pembangunan kapitalisme hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan konsumerisme. Inilah yang menyebabkan eksploitasi sumber daya alam dan aktivitas industrialisasi besar-besaran. Pada akhirnya, kerusakan alam yang parah pun tak terelakkan.
Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Mengatasi Kekeringan
Bencana kekeringan ini dapat diatasi dengan kemajuan teknologi, yaitu teknologi modifikasi cuaca untuk membuat hujan buatan. Dalam laman climate4life.info disebutkan bahwa upaya teknologi modifikasi cuaca dilakukan pertama kali pada 1940 berupa penyemaian awan. Militer AS juga pernah mencoba menggunakan teknologi ini saat Perang Vietnam untuk menghambat pasukan lawan.
Teknologi modifikasi cuaca dapat digunakan untuk mempercepat turunnya hujan, seperti yang dilakukan menjelang pelaksanaan Olimpiade Beijing. Hujan pun turun di luar kota Beijing sehingga saat pelaksanaan olimpiade, cuaca selalu cerah. Sebaliknya, teknologi ini juga dapat digunakan untuk menghambat berkembangnya awan hujan, sehingga hujan tidak turun.
Baca : banjir-bukan-sekadar-fenomena-alam/
Ada tiga prinsip dasar teknologi modifikasi cuaca untuk membuat hujan buatan. Pertama, menemukan awan yang berpotensi untuk menurunkan hujan, yaitu awan jenis kumulus. Kedua, menaburkan partikel garam ke awan. Penaburan garam dilakukan melalui pesawat atau menembakkan ke udara.
Selain itu juga ditambahkan CaCl2 untuk menambah volume awan serta NaCl untuk menambah kepadatan awan. Berikutnya juga ditambahkan CO2 dan urea untuk menurunkan suhu dalam awan. Hal ini dilakukan agar uap air segera berubah menjadi embun dan akhirnya menjadi butiran air. Jika butiran air ini membesar dan mengalahkan gaya gravitasi bumi, ia dapat turun sebagai hujan.
Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam upaya membuat hujan buatan ini. Di antaranya adalah kecepatan dan arah angin, serta suhu dan kelembapan udara. Jika angin terlalu kencang, awan bisa menghilang. Demikian pula, arah angin harus diperhatikan agar hujan turun di wilayah yang diinginkan. Selain itu, partikel-partikel yang digunakan untuk membuat hujan buatan akan menambah polusi udara jika mengalami kegagalan.
Solusi Islam dalam Mengatasi Kekeringan
Kekeringan juga pernah dialami oleh kaum muslim pada masa Khalifah Umar bin Khaththab. Saat itu, kemarau berlangsung hingga lebih dari sembilan bulan. Usaha di bidang pertanian dan peternakan mengalami kegagalan. Unta dan domba kurus kering sehingga tidak mampu menghasilkan susu. Bencana kelaparan pun melanda.
Mereka yang terkena bencana itu, seperti masyarakat Arab Badui kemudian berbondong-bondong menuju ke Kota Madinah untuk meminta bantuan kepada khalifah. Melihat kondisi kaum muslim yang memprihatinkan itu, Khalifah Umar bin Khaththab pun bersumpah tidak akan makan daging dan samin hingga keadaan kembali normal. Beliau pun memegang sumpahnya hingga masa sulit itu berakhir.
Untuk menangani bencana kelaparan tersebut, Khalifah Umar bin Khaththab kemudian mengirim surat kepada Amru bin Ash di Mesir dan Abu Musa al-Asy’ari di Bashrah untuk meminta bantuan. Kedua gubernur itu kemudian mengirimkan bantuan dalam jumlah besar yang dikirim melalui laut. Bantuan juga dikirimkan oleh Abu Ubaidah berupa 4.000 hewan tunggangan yang membawa makanan. Semua bantuan itu kemudian didistribusikan oleh Khalifah Umar bin Khaththab kepada mereka yang membutuhkan.
Selain itu, Khalifah Umar bin Khaththab juga melakukan salat istisqa’, yaitu salat untuk meminta hujan. Beliau meminta Abbas bin Abdul Muthalib untuk berdoa, memohon kepada Allah Swt. agar segera diturunkan hujan. Bencana kekeringan yang terjadi saat itu bukan disebabkan oleh kerusakan alam akibat kerakusan manusia. Namun, hal itu merupakan ujian dari Allah Swt.
Demikianlah cara Khalifah Umar bin Khaththab dalam menangani bencana kekeringan yang terjadi saat itu. Hal ini beliau lakukan sebagai bentuk tanggung jawab sebagai seorang pemimpin yang harus melayani rakyatnya, seperti sabda Rasulullah saw. dalam HR. Bukhari.
الإماَمُ رَاعٍ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: “Imam itu pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Khatimah
Kekeringan di Spanyol ini tidak dapat diatasi hanya dengan memperbanyak pabrik desalinasi. Yang harus dilakukan adalah melakukan pengelolaan sumber daya alam dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan sehingga sumber air tetap tersedia. Namun, hal ini hanya dapat dilakukan dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah.
Wallaahu a’lam bi ash-shawaab []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
[…] Baca Juga : Kekeringan di Spanyol: Penyebab dan Cara Mengatasinya […]