Namun Ma, Pa, ternyata hatiku belum juga mencicipi rasa lega. Pikiranku masih bergemuruh riuh, bahkan kian berisik tiap harinya.
Oleh. Hafida N.
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Hai Pa, Ma. Ini putri kalian, yang menulis ini dengan penuh berat hati sebab pada awalnya aku tidak ingin mengatakan apa-apa, sebab pada awalnya ingin aku pendam dalam hati saja.
Mega mendung tengah menghiasi langit saat seorang gadis keluar dari area kampus. Dia mendongak untuk melihat senja yang biasanya menemani pulang, tetapi sekarang tak memunculkan keindahannya. Gadis itu mendesah kecewa lantas kembali bergegas sebelum air mata langit menimpa. Meski jarak antara kampus dan kosnya hanya berkisar tujuh menit perjalanan, jalan kaki saat hujan bukanlah suatu hal yang menyenangkan untuk dilakukan.
Baru beberapa langkah meninggalkan area kampus, ponselnya berdering. Gadis bersweater cokelat itu segera mengecek siapa gerangan yang meneleponnya. Mama. Membiarkan ponselnya berhenti berdering adalah tindakan yang sering dia lakukan. Setelah dering berhenti, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard ponsel. [Kenapa Ma? Aku baru keluar kampus, otw pulang].
Ponsel kembali dimasukkan ke tote bag setelah pesan terkirim. Gadis berkerudung cokelat milo itu kembali melanjutkan perjalanan sembari menikmati embusan angin. Saat sampai di kos, suasana sepi menyambutnya. Para tetangga kamar masih banyak yang sedang beraktivitas di luar.
“Huh,” hela napasnya terdengar berat. Gadis itu menatap kamarnya yang berantakan. Maklum, tadi siang dia hampir terlambat. Lima menit baru on the way dari kos sebelum matkul dimulai, tetapi sepertinya semesta tidak mengizinkan dia terlambat sebab dosen datang 15 menit setelah dirinya sampai di kelas.
Beasiswa
Setelah cuci muka dan berganti baju, gadis itu segera membereskan kamar. Tak butuh waktu lama karena selain barangnya yang sedikit, ukuran kamarnya yang standar membuat pekerjaannya cepat selesai. Di saat itulah, dering ponsel kembali menyapa. Cepat-cepat dia menutup pintu kamar lalu merebahkan diri di tempat ternyaman, kasur tidur.
”Wa’alaikumussalam, Ma. Haloo,”
“Gimana kuliahnya, Kak? Lancar ‘kan?”
“Alhamdulillah, lancar kok, Ma.”
Obrolan pun mengalir. Secara bergantian, orang di ujung sana yaitu sang mama, papa, abang, dan adiknya saling bertukar kabar dan cerita. Terkadang diselingi jerit kesal si anak bungsu. Terkadang dibumbui tawa puas si anak sulung. Sedangkan dirinya, si anak tengah hanya berperan sebagai pendengar. Jika di rumah, dia juga tetap berperan menjadi penonton, melihat serunya pertengkaran kecil keduanya.
“Oh ya, gimana kabar beasiswanya, Kak? Udah ada kabar?”
Ah, tiba juga di pertanyaan yang dirinya takutkan. Bagaimana cara menjelaskan, ya? Dia juga tak bisa memastikan apakah beasiswa itu benar rezekinya atau bukan. “Gak tahu, Pa. Dari kampus belum turun pengumuman SK rektor jadi belum pasti. Ya, walau dulu verifikator bilang namaku disetujui diajukan jadi penerima.”
“Oh, ya sudah gak papa. Papa bisa kok biayai kamu. Kalau gak keterima, bayar berapa?”
Sang gadis merenung sejenak. “Kalau gak lolos beasiswa, kemungkinan dapat UKT golongan satu Pa, 500 ribu atau golongan dua kayanya si satu juta.”
“Per enam bulan ‘kan bayarnya? Papa bisa usahain.”
“Iya Pa. Makasih.” Meski ragu menyelimuti, dia tetap mengiyakan. Bukan meragukan kerja keras sang papa bagaimana beliau dapat membiayai perkuliahannya, tetapi dia ragu apakah gaji sang papa yang jauh dari kata UMR itu juga mampu membiayai kesehariannya, untuk makan dan bayar kos misalnya.
Tak Ingin Jadi Beban
“Dalila.”
“Iya?”
“Kuliah yang bener. Insyaallah, Abang bisa bantu biayain kuliah kamu. Kalau ada apa-apa, cerita ke Mama. Paham?”
“Paham, Bang. Makasih banyak-banyak.”
Gadis itu–Dalila memang mengiyakan petuah dari sang abang, tetapi bagaimana jika tak bisa? Bagaimana jika rasa untuk bercerita itu tak kunjung datang? Memaksanya untuk tetap bungkam. Untuk tetap memendam apa pun ke dalam lubuk hati paling dalam.
Namun, Pa, Ma, ternyata hatiku belum juga mencicipi rasa lega. Pikiranku masih bergemuruh riuh, bahkan kian berisik tiap harinya.
Middle Child Syndrom
Sebagai anak tengah, Dalila terbiasa memendam keinginannya. Gadis itu pernah menemukan sebuah artikel yang menyinggung soal middle child syndrom atau sindrom anak tengah. Middle child syndrom adalah kepercayaan bahwa anak tengah cenderung diabaikan dan dikucilkan dalam keluarga. Anak tengah memiliki kecenderungan terjepit karena berada di antara saudara yang lebih tua dan lebih muda. Meski teori yang dikembangkan oleh Alfred Adler pada 1964 itu belum diakui secara resmi dan banyak peneliti yang tak setuju, Dalila kurang lebih merasakan hal yang sama. Dia merasa ‘tenggelam’ di antara para saudaranya.
Dalila tahu bahwa para tetangga tak terlalu mengenalnya. Sang mama sering kali dianggap hanya punya dua anak. Dalila tak keberatan, toh dia juga anak rumahan yang jarang sekali keluar rumah selain pergi ke sekolah atau sesekali ke warung membeli mi. Hal terparah yang membuat Dalila berpikiran para tetangga tak mengenalnya adalah di suatu hari Lebaran, saat bersalam-salaman dia dianggap sebagai pacar abangnya. Dalila tak menyangka, setidak kelihatan itukah diriku? batin gadis itu tak percaya.
Dalila jarang sekali meminta sesuatu pada orang tuanya. Sedari kecil, dia tak pernah neko-neko meminta ini-itu. Gadis itu terbiasa diam menerima, sebab dia tahu butuh waktu lama agar permintaannya terpenuhi. Terbiasa memendam, sebab dia takut menambah beban pikiran orang tuanya. Akan tetapi, memendam perasaan bukanlah hal baik sebab dapat menjadi ledakan api, right? Itu juga terjadi pada Dalila. Saat perasaan dan emosi dipendam, menumpuk, dan menumpuk melebihi batas, di saat itulah Dalila sulit mengendalikan diri. Emosi bercampur tangis pun meledak. Itu pernah terjadi, sesaat setelah pengambilan rapor.
PTN atau PTS
“Aku mau ke PTN, Ma.”
“Kenapa gak ke PTS kampusnya Abang? Di sana juga ada beasiswa.”
“Lolosnya Abang belum tentu bikin aku lolos juga, Ma. Abang masuk 4 tahun yang lalu. Kebijakan pasti berubah.”
Wanita paruh baya itu menghela napas. Belum juga kembali bersua, adik ibunya berkata, “Kecil kemungkinan kamu lolos PTN.”
Dalila terpaku. Ya, mungkin itu benar. Tetapi bisakah jangan ucapkan kalimat itu? Kenapa tiada yang mendukungnya masuk PTN? Apakah ada jaminan 100% beasiswanya lolos jika dia masuk PTS? PTN PTS sama saja, sama-sama diseleksi agar bisa lolos. “Nah, nangis.”
Dalila tak peduli jika dia dianggap cengeng. “Yang penting ‘kan udah coba. Lagian pernah gak sih aku minta ikut bimbel yang ratusan ribu atau minta dibayarin les privat buat masuk PTN, gak ‘kan? Terus kenapa aku gak boleh coba daftar?” kata Dalila disela isak tangisnya.
“Ah, udahlah. Pergi dulu.” Selepas mengucap itu, adik ibu bergegas pergi. Ah, wanita itu kabur rupanya. Tak menyadari seberapa sakit hati sang keponakan mendengar celetukannya.
“Kenapa sih Tante selalu ngomong aku gak bisa aku gak bisa, Ma? Emang dia siapa? Gak bisa ya bikin orang senang? Gimana mau keluarga ini maju kalau ada orang yang berusaha bikin maju malah disuruh pesimis?” Dalila meluapkan rasa kesalnya. Tak peduli meski sang mama masih berada di hadapannya. “Mama Papa bahkan gak tau kalau aku jadi siswa rank 1 eligible, ‘kan? Mama Papa bahkan gak dukung aku waktu aku ikut SNBP. Iyalah, kalian ‘kan gak tau. Aku takut ngecewain kalian makanya aku daftar diem-diem.”
Lolos PTN
Dengan mata berlinang dan hidung memerah, Dalila menatap sang mama. “Ma, aku udah daftar SNBT. Tesnya gratis karena kita termasuk terdata DTKS. Jadi kalau pun aku gak lolos, uang 200 ribu gak akan terbuang sia-sia kok, Ma.” Selepas bilang begitu, Dalila masuk ke dalam kamar dan melanjutkan tangisnya. Saat itu Dalila selalu heran dengan dirinya sendiri. Kenapa saat dia marah, air matanya juga ikut keluar?
Hari itu diakhiri dengan sang mama yang meminta maaf dan memeluknya. Andai sang mama tak melakukan hal itu duluan, pasti untuk beberapa hari ke depan, Dalila akan melakukan silent treatment. Disela tangis dan dalam pelukan sang mama, Dalila berucap, “Aku udah daftar SNBT, boleh ‘kan, Ma? Kalau gak lolos, aku bakal langsung daftar di PTS-nya Abang. Gak akan ngejar-ngejar PTN.”
Ucapan Dalila diiyakan. Sejak hari itulah, Dalila tak lagi belajar dengan diam-diam. Gadis itu bahkan bisa mengikuti TO premium. Dengan keras Dalila memperjuangkan kemauannya untuk masuk PTN. Namun, ketika kemauannya terpenuhi, nyatanya kepala masih bergemuruh riuh. Mengatakan berbagai prediksi yang membuat hati Dalila tak kunjung merasa lega. Lantas, dia harus apa?
Terkadang aku masih merasa ragu, akan keputusan yang aku ambil di hari lalu. Aku takut, keputusanku tidak jauh lebih baik dari saran-saran yang kalian utarakan pada hari itu.
“Lolos, Ra?”
“Kamu gimana, Da?”
Dalila termenung, lantas berkata, “Screen shoot. Aku kirim SS juga.”
Ziara, sahabat Dalila membuka suara. “Ketemu aja deh, kita bahas ini. Gak enak please bahas di call.”
Esoknya, Ziara benar-benar datang ke rumah Dalila. Mereka saling bertanya dan bertukar pikiran bagaimana baiknya. “Habis nangis?” Tanpa tedeng aling-aling, Dalila bertanya. “Kenapa?”
“Sakit hati ditolak Teknik. Dua 2 ditolak.”
Keraguan
Dalila mengangguk, dia mengerti perasaan itu. “Aku juga ditolak prodi impian. Menurutmu, ambil gak? Menurut aku ini keajaiban karena, hey! Ada 27 ribu orang yang gagal masuk PTN. Kita gak ikut bimbel, les, segala macam cuma belajar dari TO Mipy.”
“Diambil masih gamon teknik. Gak diambil berarti sia-sia perjuangan kita belajar sampai tengah malam,” ucap Ziara lalu menghela napas. “Kalau gak ambil ini, kamu mau daftar mana lagi?”
Dalila mengganti posisi duduknya menjadi bersila. “Mungkin ngejar prodi di UNU atau ambil Manajemen di PTS yang sama kaya Abang. Tapi ah, prodi impianku ‘kan cuma ada di 2 PTS, UNU sama Telkom.”
Ziara berdecak kagum mendengar kampus opsi ke-2 dan ke-3 Dalila, “Telkom? Menyala duit. Kalau UNU, kamu yakin? Itu ‘kan PTS baru banget.” Dalila menggeleng, sebenarnya dia juga meragukan sarana prasarana di PTS itu sebab prodi impiannya merupakan prodi saintek, maka sarana prasarana yang memadai sungguhlah dibutuhkan.
Hari itu dihabiskan Dalila dan Ziara untuk berbagi pikiran dan menimbang-nimbang segala sudut pandang. Setelahnya, pengambilan keputusan pun dilakukan. Dua sahabat itu akhirnya memutuskan mengambil PTN. “Semoga beasiswa kita lolos di PTN ya, semoga rezeki kita benar-benar di PTN,” doa Dalila yang diaminkan Ziara.
Mengetahui sang anak tengah telah memutuskan, orang tua Dalila hanya bisa mendukung. Kerumitan daftar ulang, registrasi fisik, sampai keperluan beasiswa Dalila siapkan sendiri. Setelah melewati proses panjang, Dalila dan Ziara berhasil menggandeng status baru, mahasiswi.
Doa Dalila
Dua bulan berjalan menjadi mahasiswi, Dalila merasa baik-baik saja. Perkuliahannya lancar, dia pun mendapat teman kelas yang sejauh ini, baik juga. Tetapi kemudian, sampai Ulangan Tengah Semester dilaksanakan, pengumuman lolos beasiswa belum juga keluar. Dalila resah. Bagaimana jika rezekiku bukan di PTN ini? keluhnya di tiap kali dia akan tertidur.
Di suatu hari, saat Dalila pulang ke rumah, sang mama berkata padanya, “Itu keputusan kamu. Jangan sampai menyesal.” Ketakutan makin mendera Dalila. Gadis itu takut mengecewakan keluarganya. Maka pada dini hari yang dinginnya menembus tulang, Dalila menunaikan salat.
Baca: Rasa Takut dan Cara Menaklukkannya.
Selepas itu dia berkata, “Ya Allah, aku tahu Engkau mendengarku tiap saat. Engkau melihat dan mengawasiku tiap waktu. Tanpa aku bercerita pun, aku tahu Engkau sudah tahu. Namun, rasanya sesak sekali. Aku takut keputusanku tak jauh lebih baik dari saran orang tuaku. Aku juga tak berani bercerita pada manusia lain karena aku takut akan tanggapan dan jawaban mereka. Maka Tuhan, aku meminta pada-Mu, kuatkan aku untuk meniti takdir yang digariskan oleh-Mu. Perkuat ingatanku untuk menerima segala ilmu dunia dan akhirat. Lapangkan hatiku untuk menerima jika apa yang kumau tak Engkau kabulkan. Jika apa yang kumau dan kuharapkan memang yang terbaik bagiku, maka kabulkanlah. Tetapi jika itu berdampak buruk bagiku, gantilah dengan yang lebih indah dan baik dari apa yang aku mau. Permudahlah segala urusanku, aku berserah diri pada-Mu.”
Senyum kecil Dalila terulas tetapi dengan hujan air yang membasahi pipinya. Tuhan, Engkau mendengarnya, ‘kan?
Pa, Ma, khawatirku ada banyak. Jika anakmu ini gagal, masih adakah pelukan yang meletak?
Mengisi Waktu Luang
Hari-hari berlalu begitu saja. Dalila melakukan aktivitasnya seperti biasa. Sebenarnya, di semester satu ini Dalila merasa waktunya luang sekali. Kelas hanya 1-4 jam perhari dengan Rabu dan Kamis yang jadwalnya padat. Meski begitu, terkadang Dalila merasa waktu begitu cepat saat dia belajar, mencatat materi. Di lain sisi, Dalila sering gabut di kos. Dia menceritakan itu pada sang mama, yang kemudian disarankan untuk mencari kerja part time.
“Kerja part time apa?” Meski banyak warung makan di sekitar kos, Dalila belum pernah melihat ada loker yang terpampang. Dalila mencoba mencari freelancer, mengirimkan tulisan ke media yang jika dimuat akan mendapat honor. Gadis itu melakukannya diam-diam tanpa mengatakan pada siapa pun, tetapi sampai berminggu-minggu kemudian, naskahnya belum ada kabar.
“Ih, ikut lomba aja lah aku.” Jari Dalila lincah mengetik, gadis itu scrolling sampai menemukan lomba menulis nasional. Rutin mengikuti lomba sudah Dalila lakukan sejak duduk di bangku SMK, toh meski belum pernah menyabet juara tetapi menyabet penulis terpilih dan karya dibukukan sudah menjadi suatu pencapaian bagi Dalila. Hei, menulis itu susah-susah gampang, lho. Saat sibuk mencari info lomba, notif dari Ziara mengalihkan atensi gadis itu.
Rezeki Habis Kajian
Ziara
[Aku mampir kos kamu ya]
[Rapat sampai malam]
Dalila
[Boleh aja]
[Bawain jajan]
Pesan Dalila dibalas kata _‘dih’. Gadis itu tersenyum, membalas dengan stiker kucing memberi bunga lalu kembali sibuk dengan aktivitasnya.
“Kamu takut gak, Ra?” Selesai makan malam bersama, Dalila membuka suara.
“Takut kenapa?” Ziara yang sedang menikmati angin dari kipas mini portabel menoleh.
“Gak lolos beasiswa.” Mendengar itu, Ziara mengangguk. Ah, dia juga merasakan yang sama. “Aku takut gak lolos karena aku tahu Papa gak mungkin bisa biayain hidup aku. UKT mungkin okelah karena bayar 6 bulan sekali, tapi biaya bayar kos? Makan? Keperluan kuliah lainnya? Aku juga belum ada planning yang pasti kalau gak lolos mau gimana, mau ngapain.”
Ziara menghela napas, “Lebih dari itu, aku ngerasa bersalah banget kalau gak lolos karena orang tua gak pernah nuntut lebih dari aku. Aku gak pernah dipaksa nilai bagus, harus peringkat 1, atau ikut olimpiade apa gitu. Kamu juga ngerasa hal yang sama, ‘kan? Jadi saat ada kesempatan buat kuliah full gratis, itu kesempatan kita buat berbakti, cara yang kita bisa ya gitu. Right?”
“Aku pengin bilang. Sebenarnya, Ma, Pa khawatirku ada banyak. Kalau aku gagal, masihkah kalian menganggapku anak? Masihkah ada peluk hangat? Normal gak sih kepikiran gitu?” Dalila menatap Ziara dengan tatapan yang buram.
Sang sahabat mengangguk. ”Normal selama masih dalam batas. Khawatirmu gak bikin hidupmu stuck di tempat. Sebaliknya bikin kamu semangat biar apa yang kamu khawatirkan gak terjadi. Udah ih jangan nangis.” Ziara menyodorkan tisu, “Gimana? Aku udah cocok jadi Ziara Teguh belum?”
Dalila tertawa disela-sela tangisnya. “Cocok kok.” Di antara banyak kekhawatiran tentang masa depan, Dalila merasa bersyukur. Dia mengenal gadis bernama Ziara, sang sahabat.
Ma, Pa, Hilang Sudah Kekhawatiran
Ziara
[Da, aku yakin kalau kamu online langsung kaget]
[Grup sebelah ramai]
[Tiba-tiba banget]
Hari ini minggu pertama UTS telah dilewati. Jam menunjukkan pukul 5 sore. Dalila baru saja selesai berganti baju, beberapa menit yang lalu dia baru sampai kos. Sehabis kursus kajian yang rutin dilakukan tiap hari Sabtu, seminggu sekali. Saat membuka ponsel, notif chat dari Ziara membuat Dalila terheran-heran. Gadis itu membuka grup yang dimaksud, lantas terkejut saat melihat SS kolom penetapan penerima beasiswa. Segera menuju chrome, Dalila membuka akunnya.
“Aku lolos?” tanyanya tak percaya. Takut bila ini mimpi, Dalila segera membalas pesan Ziara untuk memastikan.
Dalila
[Ini beneran? Alhamdulillah]
[Tapi pengumuman dari kampus belum turun ‘kan, ya?]
Ziara
[Aku juga kaget. Tiba-tiba udah biru aja]
[Alhamdulillah rezeki kita beneran di PTN, Da]
“Rezeki abis kajiannya,” katanya sembari tersenyum penuh rasa syukur. Segera, gadis itu SS kolom penetapan dan mengirimkannya pada Abang. Tak lama, ponselnya berdering. Sang mama menelepon, memastikan yang dikirimkannya benar. Dalila menangis diam-diam saat itu, dia berterima kasih pada Yang Kuasa sebab mengabulkan doanya.
Dalila
[“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq ayat 2-3)]
[Look this. Ayat ini memberikan pencerahan]
Ziara
[Wow, ayat yang keren]
[Meski nanti ada banyak khawatir-khawatir yang lain lagi, yang mungkin bikin kita ngeluh dan ngerasa cape, semoga gak buat kita lupa bahwa kita punya Allah. Semoga gak buat kita nyerah banggain Papa Mama]
Dalila mengamini kalimat Ziara, “Semoga saja.” Semoga khawatir-khawatir yang akan datang tak membuatnya menyerah pada dunia. Semoga dia dapat menggapai asa, meninggikan derajat keluarga.
Selesai! []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
[…] Baca juga: Pa, Ma, Khawatirku Ada Banyak […]
Semangat untuk dalila. Semoga selalu optimis dalam menggapai asa.
Barakallah ananda@dida
[…] Baca juga: ma-pa-khawatirku-ada-banyak/ […]
[…] Baca: Ma, Pa Khawatirku Ada Banyak […]