
Parental abduction sejatinya terjadi karena sistemnya membiarkan manusia bertindak menurut aturannya sendiri. Hawa nafsulah yang berbicara. Baik dan buruk disandarkan pada manfaat. Salah dan benar ditentukan menurut pemikiran masing-masing sehingga rawan konflik dan bahaya.
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Parental abduction. Mungkin banyak yang belum familier dengannya. Namun ternyata, hal itu merupakan isu yang penting lo, Bunda!
Lalu, apa sih parental abduction? Kenapa itu bisa terjadi? Apa dampaknya bagi keluarga, khususnya anak-anak? Yuk, Bunda, kita belajar sama-sama tentang ini supaya paham dan dapat menghindari serta menemukan solusi yang tepat.
Tentang Parental Abduction
Parental abduction adalah tindak melarikan, membawa, atau menyembunyikan anak yang dilakukan oleh salah satu orang tua kandung dari orang tua satunya selaku pemegang hak asuh anak. Hal ini dilakukan oleh orang tua yang kalah dalam sidang perebutan hak asuh anak. Ia tidak terima dengan keputusan pengadilan tersebut sehingga melarikan sang anak dan memisahkannya dari orang tua yang lain.
Kondisi ini dapat terjadi dalam proses perceraian. Perpisahan yang berlangsung secara tidak baik-baik dapat memunculkan aksi mengambil anak secara paksa dan menghalangi orang tua satunya untuk dapat bertemu dengan anak.
Pada pernikahan campuran atau beda negara yang berujung perceraian, penculikan anak oleh salah satu orang tua juga rentan terjadi. Anak dibawa kabur ke luar negeri sehingga tidak bisa bertemu dengan ibu atau ayah kandungnya sendiri. Terlebih lagi ketika pihak yang melarikan sang anak tersebut sengaja memutus kontak sehingga makin sulit bagi ayah atau ibunya untuk berhubungan dengan sang anak.
Parental abduction juga mungkin terjadi ketika ada kekhawatiran dari salah satu pihak bahwa sang anak akan mengalami kekerasan atau pelecehan dari orang tua satunya. Terlebih lagi bila ada riwayat kekerasan dalam rumah tangga sebelumnya, salah satu pihak membawa kabur sang anak untuk menyelamatkannya. Dalam pemikirannya, hal itu sebagai upaya melindungi sang anak dari bahaya KDRT yang mungkin terjadi lagi.
Dari situlah, Bunda, ada perbedaan antara parental abduction dengan penculikan pada umumnya. Pada yang pertama, pelakunya adalah orang tua kandungnya sendiri dan biasanya tidak ditujukan untuk mengeksploitasi anak. Tujuan dari tindakan tersebut "hanya" untuk menjauhkan anak dari orang tua satunya.
Adapun pada penculikan biasa, pelakunya adalah orang lain selain kedua orang tua. Tujuannya untuk eksploitasi anak demi mendapatkan keuntungan tertentu, yang biasanya materi.
Baca Juga: https://narasiliterasi.id/world-news/02/2025/eksploitasi-anak-di-balik-gedung-gisbh-malaysia/
Dampak Parental Abduction
Perpisahan orang tua yang tidak baik-baik saja dan perebutan hak asuh anak hingga terjadi parental abduction merupakan kondisi yang sangat buruk bagi anak. Keadaan semacam itu akan memengaruhi psikologi atau kesehatan mental anak. Dampaknya, anak dapat mengalami masalah komunikasi, gangguan kepercayaan diri, dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan, dan kesulitan dalam bersosialisasi.
Ada kasus di mana anak mengatakan tidak mau bersama sang ibu saat di depan ayahnya. Namun, ketika diajak berbicara dari hati ke hati tanpa adanya sang ayah, ternyata anak mengatakan sebaliknya. Ia sebenarnya sangat merindukan sang ibu.
Pengambilan paksa atau penculikan anak oleh salah satu orang tua kerap kali dibarengi dengan brain wash untuk memperburuk pandangan anak terhadap orang tua satunya. Anak dipengaruhi untuk membenci salah satu orang tuanya.
Kondisi semacam ini jelas tidak nyaman bagi anak. Psikis anak akan terganggu. Anak merasa tertekan dan tidak bahagia seutuhnya. Bahkan, anak akan merasakan trauma dengan semua keadaan yang dialaminya tersebut. Trauma itu dapat berkembang dan menghambat kemampuan anak dalam berkomunikasi dan bersosialisasi.
Pada anak-anak yang dibawa kabur ke luar negeri dan terpisah dari orang tuanya, bayangkan seberat apa kondisi mereka? Mereka dipaksa tinggal di lingkungan yang baru dan asing. Tak ada orang yang dikenal selain orang tua yang membawanya kabur. Mereka tidak kuasa berbuat apa-apa selain menerima yang terjadi.
Anak-anak yang tumbuh dalam keadaan seperti ini sangat rentan mengalami salah pergaulan. Mereka mungkin saja mencari kenyamanan di luar sana yang tidak dapat didapatkan dalam keluarganya sendiri. Namun, sayangnya tidak ada jaminan bahwa yang di luar itu semuanya adalah baik. Mereka dapat tersesat dalam pergaulan dan keadaan malah memburuk.
Parental Abduction di Indonesia
Kasus penculikan anak oleh orang tua yang terjadi di Indonesia ternyata juga banyak lo, Bunda! Menurut Findawati Ahmad selaku Case Analyst Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), ada lebih dari 476 kasus parental abduction yang masuk dari tahun 2011 hingga 2019. Findawati kemudian menyebutkan bahwa dalam rentang tahun 2021 hingga awal 2025 terdapat 104 kasus pemenuhan hak anak setelah perceraian yang 46 di antaranya merupakan kasus pengambilan paksa dari si pemegang hak asuh. (mediaindonesia.com, 11-2-2025)
Parental abduction dalam hukum Indonesia dianggap sebagai pelanggaran hukum sebagaimana ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 330 ayat 1. Sanksinya bisa dihukum 7 sampai 9 tahun, apalagi kalau disertai dengan kekerasan.
Pasal ini sebelumnya menyebutkan bahwa bila yang melarikan anak adalah orang tua kandung, maka tidak dianggap sebagai penculikan dan bukan tindak pidana. Namun setelah ada putusan MK tanggal 3 September 2024, maka membawa kabur anak merupakan tindak pidana.
Menjaga Hubungan Baik demi Anak
Pernikahan bisa saja bubar di tengah jalan. Pasangan bisa saja putus hubungan. Ayah dan ibu yang telah bersama sekian tahun lamanya bisa saja berpisah. Namun, hubungan orang tua dengan anak tak dapat dihapuskan. Ikatan orang tua dengan anak tidak dapat diputuskan begitu saja. Selamanya, anak adalah tetap anak bagi orang tuanya.
Bila memang perpisahan menjadi pilihan orang tua, hendaknya itu jangan sampai memberi luka lebih dalam lagi bagi anak-anak. Persoalan kedua orang tua sebagai manusia dewasa tidak perlu melibatkan, apalagi mengorbankan anak-anak. Perasaan kepada pasangan jangan sampai dilampiaskan kepada anak-anak. Seburuk apa pun pasangan, ia tetaplah ayah atau ibu dari anak-anaknya.
Anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Perpisahan orang tua tidak lantas mengugurkan tanggung jawab tersebut. Orang tua harus mengusahakan agar perpisahan mereka tidak menyebabkan anak terabaikan, apalagi menempatkan anak dalam bahaya.
Banyak kok kasus perpisahan orang tua yang terjadi secara baik-baik meskipun luka tak mungkin dihindari. Keduanya tetap berkomitmen untuk saling bekerja sama dan menjaga hubungan baik demi anak. Orang tua tetap fokus dalam mengasuh anak secara bersama meski telah berpisah.
Pernikahan boleh gagal, tetapi menjadi orang tua yang baik masih bisa terus diusahakan. Menjadi pasangan boleh saja tak lagi berjodoh, tetapi menjadi partner dalam mengurus dan mendidik anak-anak masih dapat diupayakan. Jangan sampai gagal membina rumah tangga, gagal pula menjadi orang tua. Setuju nggak, Bunda?
Pengasuhan Anak dalam Islam
Dalam Islam, pengasuhan anak atau hadhanah adalah wajib hukumnya. Pengasuhan anak merupakan bentuk penjagaan jiwa yang telah diwajibkan oleh Allah. Jiwa anak wajib dijaga agar terhindar dari kebinasaan.
Islam memandang bahwa pengasuhan anak merupakan hak dan kewajiban bagi perempuan, terutama ibunya. Ibu lebih memiliki hak untuk mengasuh anaknya dibanding ayahnya.
Ketika terjadi perceraian orang tua, maka pengasuhan anak tetap wajib dilaksanakan. Anak yang masih kecil, yakni yang belum balig dan belum bisa mengurus dirinya sendiri, tetapi sudah mampu membedakan perlakuan ayah dan ibunya, maka ia diberikan kebebasan untuk memilih. Jika anak tersebut belum disapih, belum bisa memikirkan banyak hal, dan belum dapat membedakan perlakuan ayah dan ibunya, maka anak tidak diberikan pilihan dan langsung diserahkan kepada ibunya.
Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah: Seorang wanita berkata, “Ya, Rasulullah, anakku ini, perutkulah yang menjadi tempatnya; susukulah yang menjadi air minumnya; dan pangkuankulah yang menjadi tempat berlindungnya. Namun, ayahnya menceraikan diriku dan ingin mengambilnya dari sisiku.” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Engkau lebih berhak atas anak itu selama engkau belum menikah lagi.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Hak untuk memilih ini tidak terikat dengan usia tertentu. Namun dikembalikan kepada ketetapan hakim setelah mendengarkan pendapat para ahli. Karena itu, pada pelaksanaannya dapat berbeda menurut keadaan sang anak.
Hadhanah tidak hanya kewajiban, tetapi juga berkaitan dengan hak kerabat anak atas pengasuhannya. Pengasuhan tersebut adalah hak setiap anak dan setiap orang yang diwajibkan oleh syariat untuk mengasuh anak.
Hadhanah berakhir ketika anak sudah tidak lagi memerlukan pengasuhan dan perawatan. Selanjutnya, kondisi berganti menjadi perwalian untuk anak. Syarak menetapkan bahwa perwalian hanya menjadi hak kerabat yang muslim.
Hak Pengasuhan Anak
Hak pengasuhan tidak diberikan kepada orang yang berpotensi menelantarkan anak. Pengasuhan anak juga tidak diserahkan kepada orang-orang yang memiliki sifat buruk seperti fasik. Orang yang memiliki sifat buruk semacam itu dapat mengakibatkan anak yang diasuhnya tumbuh dengan sifat-sifat yang buruk sehingga pertumbuhan anak pun menjadi rusak.
Hak pengasuhan anak juga tidak dapat diberikan kepada orang kafir, kecuali atas anak yang masih kecil dan memerlukan ibunya. Ini karena pemeliharaan terhadap anak-anak adalah hak dan kewajiban perempuan, baik yang muslimah maupun bukan, selama anak kecil tersebut masih memerlukan pemeliharaan. Adapun ketika anak tersebut sudah dapat disapih dan tidak lagi membutuhkan pengasuhan, maka ia diserahkan kepada bapaknya yang muslim.
Ketika Perselisihan Terjadi
Adapun menurut syariat, urutan hak asuh jika terjadi perselisihan adalah sebagai berikut:
Adapun menurut syariat, urutan hak asuh jika terjadi perselisihan adalah sebagai berikut:
- Ibu, nenek (ibunya ibu), lalu terus ke atas dari yang terdekat. Mereka semua berkedudukan sebagai ibu.
- Ayah, nenek (ibunya ayah), kakek (ayahnya ayah), lalu nenek buyut (ibunya kakek), dan seterusnya. Mereka punya hak meskipun bukan ahli waris.
- Saudara-saudara perempuan, mulai dari saudara perempuan seayah-seibu, saudara perempuan seayah, kemudian saudara perempuan seibu.
- Saudara laki-laki seayah-seibu, saudara laki-laki seayah, kemudian anak-anak laki-laki dari keduanya (saudara seayah-seibu dan saudara seibu). Hadhanah tidak boleh diserahkan kepada saudara laki-laki seibu.
- Para bibi dari pihak ibu (al-khalat), baru kemudian para bibi dari pihak ayah (al-’amat).
- Paman dari ayah ibu, lalu paman dari pihak ayah. Hadhanah tidak boleh diserahkan kepada paman dari pihak ibu.
- Para bibi (al-khalat)-nya ibu dari pihak ibu, lalu para bibi (al-khalat)-nya ayah dari pihak ibu, dan kemudian para bibi (al-’amat)-nya ayah dari pihak ayah. Hadhanah tidak diserahkan kepada bibi (al-’amat)-nya ibu dari pihak ibu, karena mereka semua mengalir dari pihak ibu dan tidak berhak mengasuh anak.
Pengasuhan anak baru akan berpindah pada orang-orang yang disebutkan dalam dalil syar’i ketika terjadi kondisi tertentu. Namun, selama anak masih membutuhkan perawatan atau pemeliharaan, maka kewajiban pengasuhan melekat pada ibunya atau kerabat perempuan terdekatnya.
Hadhanah berakhir ketika anak sudah tidak lagi memerlukan pengasuhan dan perawatan. Selanjutnya, kondisi berganti menjadi perwalian untuk anak. Syarak menetapkan bahwa perwalian hanya menjadi hak kerabat yang muslim.
Demikianlah Islam mengatur terkait pengasuhan anak. Islam tidak menghendaki anak telantar dan tanpa pengasuhan orang tua atau kerabatnya. Perebutan hak asuh anak hingga terjadi parental abduction pun dapat dihindarkan karena aturannya jelas dalam syariat.
Peran Negara
Pengasuhan anak dapat berjalan dengan baik bila seluruh pihak mendukung. Tidak hanya keluarga yang memberikan perlindungan dan kenyamanan, tetapi anak juga membutuhkan lingkungan di luar yang aman. Bisa dibilang bahwa membesarkan anak membutuhkan kehadiran seluruh pihak.
Dalam hal ini, negaralah yang mampu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang anak. Peran penting negara dalam menegakkan aturan yang menjaga dan melindungi setiap anak dari berbagai hal buruk atau bahaya.
Saya jadi teringat pepatah yang berbunyi, “It takes a village to raise a child.” Ada benarnya juga, ya, Bunda, pepatah ini. Faktanya memang tanggung jawab terhadap anak menjadi sulit bila dijalankan sendirian. Bahkan bukan hanya satu desa yang diperlukan untuk mendidik anak, tetapi satu negara malah.
Karena itulah, keberadaan negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah sangat penting. Negara hanya menerapkan Islam yang aturannya lengkap dan detail untuk setiap sisi kehidupan sehingga kemaslahatan bagi setiap jiwa dapat terwujud. Dalam negara seperti ini, setiap anak akan terjaga dan terawat dengan baik. Mereka dapat tumbuh dengan sehat dan bahagia. Anak-anak hidup dalam suasana ketakwaan sehingga mereka pun menjadi pribadi yang baik dan bertakwa kepada Allah Swt.
Khatimah
Parental abduction sejatinya terjadi karena sistemnya membiarkan manusia bertindak menurut aturannya sendiri. Hawa nafsulah yang berbicara. Baik dan buruk disandarkan pada manfaat. Salah dan benar ditentukan menurut pemikiran masing-masing sehingga rawan konflik dan bahaya.
Inilah konsekuensi penerapan sistem sekularisme dalam kehidupan. Sekularisme menafikan agama dan membiarkan manusia membuat aturan sendiri. Orang akan membuat aturan berdasarkan kepentingannya sendiri. Akibatnya, terjadilah banyak konflik kepentingan sehingga menimbulkan kekacauan dan kerusakan.
Dengan kata lain, parental abduction adalah masalah sistemis yang harusnya diselesaikan dari sistemnya. Mengatasi atau mencegahnya haruslah dalam kerangka sistem. Untuk itu, Islam telah memberikan konsep dan panduan untuk menjaga generasi dari berbagai ancaman bahaya.
Masyaallah, Bunda, Islam begitu detail dalam mengatur kehidupan manusia. Bersyukur sekali kita punya Islam sebagai panduan dalam menjalani setiap detik dan setiap jengkal kehidupan. Karena itu, yuk, kita terus belajar tentang Islam dan berusaha menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari!
Wallahu a’lam bishshawwab []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
