BPJS: Bisnis Kesehatan ala Sistem Kapitalis

BPJS Bisnis Kesehatan ala Sistem Kapitalis

Kesehatan yang menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat setelah pangan, sandang, dan papan kini begitu sulit didapatkan. Penguasa yang seharusnya memberikan pelayanan kesehatan dengan baik kepada seluruh warga negara masih hitung-hitungan dalam memberikan pelayanan.

Oleh. Ni’matul Afiah Ummu Fatiya
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Sungguh luar biasa negeri kita tercinta ini. Hampir setiap pergantian tahun selalu ada saja kejutan-kejutan untuk rakyat dari para pembuat kebijakan. Tahun ini misalnya, iuran BPJS akan mengalami penyesuaian (bahasa halusnya dari kenaikan, karena tidak mungkin mengalami penurunan, kan?) per Juli 2025 nanti. Hal itu sudah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Agenda Pemerintah

Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Ali Ghufron Mukti telah mengusulkan kepada Presiden Prabowo untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan paling lambat pertengahan 2025 (CNN.com, 11-11-2024). Usulan itu dimaksudkan agar defisit keuangan yang mengancam penyelenggara Program Jaminan Kesehatan (JKN) bisa ditutup. Hal itu juga karena menurutnya, sudah dua periode ini iuran BPJS Kesehatan tak diubah oleh pemerintah. Padahal menurut dia, idealnya kenaikan iuran dilakukan setiap dua tahun sekali. “Nanti akhir Juni atau awal Juli akan ditentukan, kira-kira berapa iuran, target manfaat, dan juga tarif (akan disesuaikan),” kata Ali di Kantor Kementerian PPN/Bappenas (Senin, 11-11-2024) seperti dilansir dari detik.com.

Penerapan tarif baru ini sejalan dengan penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang menggantikan kelas 1, 2, dan 3 BPJS yang akan diberlakukan mulai 1 Juli 2025 mendatang. Kebijakan ini juga konon merupakan amandemen dari Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional. Iuran baru yang ditetapkan mencakup pembagian peserta dalam kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI), Pekerja Penerima Upah (PPU), dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).

Sementara itu Menteri Kesehatan Budi Gunadi mengakui bahwa BPJS saat ini belum mampu menanggung 100 persen pembiayaan obat dan pengobatan untuk semua jenis penyakit. Hal itu karena keterbatasan biaya yang dapat ditanggung oleh BPJS, terutama dengan iuran bulanan yang tergolong murah.

“Yang mau saya sampaikan, tidak semua itu tercover BPJS, BPJS hanya mengcover biaya untuk masing-masing treatment yang masuk dalam paketnya,” ungkapnya seperti dikutip oleh KOMPAS.com (16-1-2025). Untuk penyakit jantung misalnya, yang di-cover biayanya mungkin hanya pasang ring. Kalau biaya lebih tinggi dari itu, hanya 70—80 persen yang ditanggung. Menurut Budi hal itu wajar mengingat iuran BPJS Kesehatan saat ini hanya Rp48.000 per bulan untuk kelas tertentu.

Kesehatan Jadi Ladang Bisnis?

Beginilah realitas yang ada terkait pelayanan kesehatan di negeri yang menerapkan sistem kapitalisme. Kesehatan yang menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat setelah pangan, sandang, dan papan itu begitu sulit didapatkan. Penguasa yang seharusnya memberikan pelayanan kesehatan dengan baik kepada seluruh warga negara, masih hitung-hitungan dalam memberikan pelayanan.

Rakyat diwajibkan membayar iuran tiap bulan, tetapi pas giliran sakit mereka dipersulit prosedur rumah sakit yang berbelit-belit. Akhirnya tak jarang pasien yang akhirnya tidak tertolong atau kadang karena malas ribet atau sudah tidak kuat menahan sakit. Banyak pasien yang memilih bayar cash supaya cepat mendapat pelayanan kesehatan. Lantas ke mana larinya iuran yang selama ini dibayarkan?

Dalam sistem kapitalis, masalah kesehatan tak ubahnya ladang bisnis yang menggiurkan dan tak pernah habis. Meskipun BPJS termasuk ke dalam Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang langsung di bawah presiden, tetapi dalam praktiknya tetap menjalankan prinsip bisnis kapitalis. Sistem ini telah menjadikan asas manfaat sebagai pijakan dalam setiap kebijakannya. Para penguasa layaknya pedagang, sementara rakyat sebagai pembelinya. Tak heran banyak kasus kematian pasien karena terlambat atau tidak ditangani dengan alasan biaya. Bahkan, pemegang kartu BPJS pun ketika masih ada tunggakan jangan harap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan.

Baca juga: Kesehatan Rakyat Tanggung Jawab BPJS, Benarkah?

Pelayanan Kesehatan dalam Islam

Sangat berbeda sekali dengan sistem Islam. Penguasa atau kepala negara dalam Islam adalah pengayom, Ia laksana penggembala yang mengawasi, menjaga, serta melindungi gembalaannya dari marabahaya. Masalah kesehatan termasuk ke dalam kebutuhan pokok masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara dan menjadi hak seluruh rakyat. Maka dalam pemberian layanan kesehatan, tidak akan ada pembagian kelas seperti dalam sistem kapitalis saat ini. Semua rakyat akan diperlakukan sama, mendapatkan pelayanan yang sama. Rakyat tidak akan dibebani berbagai iuran yang memberatkan mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Rakyat pun tidak harus menunjukkan surat keterangan tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Hal itu bisa dilihat dari tindakan Rasulullah yang menjadikan tabib (dokter) yang dihadiahkan kepada beliau sebagai dokter bagi seluruh kaum muslimin. Siapa saja boleh memakai jasanya untuk pengobatan.

Begitu pula pada masa kekhilafahan Islam selanjutnya. W. Durant, seorang sejarawan berkebangsaan Amerika pernah menulis dalam bukunya ‘The Story of Civilization’ tentang pelayanan di RS Al-Manshuri (683 H/1284 M) Kairo. “Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka; dan sejumlah uang diberikan kepada tiap pasien yang sudah bisa pulang agar tidak perlu segera bekerja.”

Sumber Pembiayaan Kesehatan dalam Islam

Dalam sistem Kekhilafahan, ada lembaga keuangan yang disebut sebagai baitulmal. Lembaga kas negara ini memiliki pemasukan tetap yang berasal dari harta fai dan kharaj, zakat/sedekah dan harta kepemilikan umum. Sementara itu, untuk pengeluarannya pun ada yang bersifat tetap dan ada yang tidak tetap/ insidental.

Untuk masalah pelayanan kesehatan, maka akan diambil dananya dari sumber pendapatan tetap yag berasal dari harta kepemilikan umum. Misalnya dari pengelolaan sumber daya alam seperti pertambangan. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, padang rumput, air, dan api,” (HR. Abu Dawud)

Sejatinya SDA adalah milik seluruh rakyat, harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Haram hukumnya memonopoli SDA apalagi menyerahkannya kepada asing.

Khatimah

Dengan seperangkat aturan yang telah Allah tetapkan ini, niscaya rakyat tidak akan kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima. Meraih kesejahteraan hidup bukan lagi sebuah ilusi. Wallahualam.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Ni'matul Afiah Ummu Fatiya Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Pergaulan Rusak Buah Liberalisme
Next
Australia Dilanda Inflasi, Pekerja Kelimpungan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram