
Pergub dengan sejumlah persyaratan untuk poligami sesungguhnya tidak sesuai ketentuan syariat. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hal itu merupakan upaya untuk menyimpangkan poligami dari ketetapan syariat Islam.
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Narasiliterasi.Id)
Narasiliterasi.Id-Isu poligami kembali menyeruak usai disahkannya aturan baru. Berbagai tanggapan pun bermunculan.
Peraturan terbaru berkenaan dengan poligami tersebut adalah Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2025 mengenai Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian yang disahkan pada 6 januari 2025 oleh Penjabat (PJ) Gubernur Jakarta, Teguh Setyabudi. Pergub ini mendapat kritikan dari anggota DPRD Provinsi Jakarta dari Fraksi PSI, Elva Farhi Qolbina yang menganggapnya berpotensi memperparah ketidakadilan gender. Sementara itu, Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia mendesak agar ketentuan izin bagi ASN Jakarta yang hendak berpoligami direvisi. Ia juga menilai bahwa pergub tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender dan hak asasi manusia. (tempo.co, 20-1-2025)
Poligami selalu menjadi perbincangan yang hangat di tengah masyarakat. Isu ini sering kali dikaitkan dengan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Munculnya Pergub Nomor 2 Tahun 2025 dianggap membolehkan poligami dan tidak memihak perempuan.
Pergub Nomor 2 Tahun 2025
Pergub yang baru saja disahkan untuk ASN Jakarta tersebut mengatur tentang persyaratan untuk beristri lebih dari satu atau berpoligami. Dilansir dari jdih.jakarta.go.id, Pasal 5 ayat (1) Pergub Nomor 2 Tahun 2025 menyebutkan sejumlah syarat bagi ASN yang hendak memiliki istri lebih dari satu. Syarat tersebut adalah alasan yang mendasari perkawinan, yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah sepuluh tahun perkawinan. Perkawinan juga harus mendapat persetujuan istri atau para istri secara tertulis. Syarat lainnya adalah suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai para istri dan anak-anaknya, sanggup berlaku adil terhadap para istri dan anak-anak, tidak mengganggu tugas kedinasan, dan memiliki putusan pengadilan mengenai izin berpoligami.
Persyaratan tersebut menjadi keharusan bagi ASN yang hendak berpoligami. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa sebelum melangsungkan perkawinan, ASN harus memperoleh izin dari pejabat yang berwenang. Pejabat di sini maksudnya adalah gubernur atau pejabat yang diberikan delegasi dan/atau kuasa untuk memberikan izin atau keterangan perceraian dan izin perkawinan lebih dari seorang istri.
Pergub juga tidak hanya mengatur tentang tata cara pemberian izin perkawinan, tetapi juga perceraian di kalangan ASN Jakarta. Pada Pasal 11 disebutkan bahwa terdapat alasan rinci yang harus dipenuhi ASN untuk mengajukan perceraian. Alasan-alasan tersebut adalah ketika salah satu berbuat zina; salah satu pihak menjadi pemabuk, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan; salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa adanya izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuan/kemauannya; salah satu pihak dihukum penjara lima tahun atau yang lebih berat secara terus-menerus setelah perkawinan berlangsung; salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; dan antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pergub Mendukung Poligami?
Melihat pasal-pasal di dalamnya, pergub tersebut tampaknya ingin memperketat masalah perizinan pernikahan atau perceraian di kalangan ASN Jakarta. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Tito mengatakan bahwa PJ Gubernur Jakarta membuat aturan yang memperketat proses poligami dan mempersulit terjadinya perceraian. Selain itu, pergub ini juga dilatarbelakangi tingginya angka perceraian ASN. Menurut data, Pemprov Jakarta menerima 116 laporan perceraian di kalangan ASN selama tahun 2024. (liputan6.com, 20-1-2025)
Dengan demikian, Pergub Nomor 2 Tahun 2025 tidaklah bersemangatkan demi memudahkan praktik poligami di kalangan ASN Jakarta. Berdasarkan pergub tersebut, ASN tidak difasilitasi, apalagi dianjurkan melakukan poligami. Pergub ini ditujukan dalam rangka menertibkan pelaporan perkawinan dan perceraian di kalangan ASN. Dengan kata lain, aturan baru tersebut supaya proses pelaporan menjadi lebih efektif dan tertib administratif.
Pergub ini tidak mendukung poligami dalam artian mempermudah prosesnya. Namun, poligami justru dibatasi karena harus memenuhi persyaratan tertentu bagi ASN. Jika tidak ada izin dari atasan, maka poligami tidak bisa dilakukan oleh ASN.
Pergub Baru Sejalan dengan Aturan Lama
Pergub Nomor 2 Tahun 2025 nyatanya bukanlah sesuatu yang baru sekali. Peraturan gubernur ini sejatinya merupakan turunan dari aturan lama yang sudah ada. Pergub tersebut lebih merinci terkait persyaratan perkawinan dan perceraian dibandingkan PP Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990. Berdasarkan PP yang lama, izin beristri lebih dari seorang dapat diberikan kepada pegawai negeri pria bila sang istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak bisa melahirkan keturunan setelah sepuluh tahun perkawinan. (bpkd.jakarta.go.id, 22-1-2025)
Secara garis besar, pergub yang baru tersebut sama dengan aturan tentang perkawinan yang sudah ada. Pergub ini lebih merinci aturan-aturan dalam mengajukan perkawinan dan perceraian, termasuk dalam berpoligami.
Aturan yang lebih rinci dan ketat tersebut dimaksudkan untuk melindungi keluarga ASN. Dengan aturan baru tersebut, ASN tidak akan mudah melakukan kawin-cerai dan dapat mencegah nikah siri tanpa persetujuan dari istri sah maupun dari pejabat yang berwenang. Pemberlakuan pergub juga dalam rangka memperketat proses poligami di kalangan ASN.
Menolak Poligami
Meskipun pergub tersebut dikatakan untuk melindungi keluarga ASN, tetapi muncul penolakan karena dianggap membolehkan poligami, utamanya dari pegiat kesetaraan gender. Mereka menolak poligami karena dianggap sebagai keburukan bagi kaum perempuan. Menurut mereka, adanya pergub baru dinilai malah makin memperburuk keadaan kaum perempuan.
Pergub dituding mendiskriminasi perempuan karena istri dapat dipoligami dengan alasan memiliki kondisi cacat atau tidak dapat melahirkan keturunan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 5 ayat (1). Hal ini dianggap mendudukkan kaum perempuan pada posisi subordinat yang mana ia hanya dihargai bila mampu melahirkan keturunan. Terlebih lagi dengan kecacatannya, perempuan seolah ‘berhak’ mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Inilah yang menjadi dalih mereka untuk makin menolak poligami dan mempropagandakannya ke tengah masyarakat. Mereka mengatakan bahwa poligami harus ditolak karena menciptakan ketidakadilan kepada kaum perempuan dan juga merugikan anak-anak.
Secara terang-terangan, poligami ditolak dengan berbagai dalihnya, padahal poligami sendiri hukumnya boleh dalam syariat Islam. Penolakan tidak hanya dari luar, malahan banyak dari kalangan umat Islam yang menolak poligami.
Menolak poligami sama artinya menolak sebagian ajaran Islam dan ini tidaklah dibenarkan. Syariat Islam harus diambil seluruhnya. Tidak diperbolehkan mengambil sebagian syariat Islam dan menolak sebagian yang lainnya. Hal ini bertentangan dengan perintah Allah untuk memeluk Islam secara kaffah sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan …” (TQS. Al-Baqarah: 208)
Poligami dalam Sekularisme
Bila melihat praktik poligami saat ini, maka akan ditemukan banyak penyimpangan yang berujung kegagalan. Tidak dimungkiri bahwa dalam pelaksanaannya, poligami kerap kali bercitra buruk seperti diawali dengan perselingkuhan. Poligami juga dianggap memicu pengabaian hak istri dan anak-anak, memberikan ketidakadilan bagi kaum perempuan, dan menyebabkan KDRT.
Penyimpangan tersebut sesungguhnya karena pelakunya yang tidak benar dalam menerapkan, bukan dari poligaminya. Poligami hukumnya boleh. Yang membuatnya terlihat buruk dan jahat adalah manusia yang melakukannya.
Hal ini berkaitan dengan pola pikir yang dimiliki manusia. Dalam sistem yang sekuler seperti saat ini, pemikiran dan perbuatan manusia tidak dilandaskan pada agama. Agama dipisahkan dari kehidupan manusia sehingga sama sekali tidak menjadi pedoman dalam berpikir maupun bertindak. Manfaat menjadi asasnya sehingga manusia berbuat ketika ada manfaat yang didapatkan.
Akibatnya, manusia bebas melakukan apa saja sesuai keinginan, termasuk dalam urusan perkawinan dan perceraian. Poligami pun dilakukan bukan dalam rangka beribadah, tetapi lebih karena untuk memuaskan hawa nafsu. Tak heran bila poligami dijalankan sesuka hati dan jauh dari ketentuan syariat.
Selain itu, berbagai persoalan yang kerap kali dianggap berkaitan dengan poligami seperti KDRT, perselingkuhan, dan penelantaran anak faktanya juga dipengaruhi oleh banyak faktor lainnya. Sebagai contoh faktor ekonomi yang sering menjadi sumber perselisihan dalam keluarga dan berujung tindak kekerasan. Adapun masalah perselingkuhan sesungguhnya diakibatkan tata pergaulan sosial yang serba bebas.
Itu semua merupakan imbas dari penerapan sistem sekularisme. Sistem ini bertentangan dengan Islam. Keduanya tidak cocok. Syariat Islam tidak dapat bersanding dengan sistem buatan manusia. Karena itu, syariat Islam juga tidak akan dapat dijalankan secara sempurna dalam sistem yang sekuler seperti sekarang.
Poligami dalam Pandangan Islam
Pergub dengan sejumlah persyaratan untuk poligami sesungguhnya tidak sesuai ketentuan syariat. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hal itu merupakan upaya untuk menyimpangkan poligami dari ketetapan syariat Islam.
Adapun dalam Islam, poligami hukumnya adalah mubah, bukan sunah, apalagi wajib. Allah membolehkan poligami secara mutlak tanpa disertai syarat atau batasan apa pun. Kebolehan poligami ini berdasarkan ketetapan Allah: “Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (TQS. An-Nisa: 3)
Ketika telah jelas hukum poligami seperti itu, maka tidak seharusnya kita menolak. Kita harus menempatkan poligami sesuai dengan ketentuan syariat. Jangan menambahi, mengurangi, atau membuat pandangan sendiri berdasarkan keinginan atau perasaan pribadi.
Tentang Adil dalam Poligami
Adil dalam ayat ini bukanlah sebuah syarat poligami, melainkan sebuah kewajiban. Berbicara syarat berarti sifat atau keadaan yang harus ada sebelum adanya sesuatu yang disyaratkan. Adil dalam poligami berarti kondisi yang harus diwujudkan setelah poligami dilaksanakan. Orang yang melakukan poligami, maka ia wajib untuk bersikap adil.
Adapun adil di sini adalah dalam perkara nafkah dan mabit (giliran bermalam). Nafkah ini bertujuan untuk mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan para istri beserta anak-anaknya. Sementara itu, mabit atau bermalam bukanlah semata untuk jimak, tetapi juga untuk menemani dan berkasih sayang, baik terjadi jimak atau tidak.
Adil juga tidak bisa disamaratakan. Adil di sini bukan menurut kuantitas, melainkan memberikan hak istri sesuai dengan keadaannya. Nafkah untuk istri yang beranak sedikit dengan istri yang beranak banyak tentu saja tidak sama jumlahnya.
Adapun perkara mabit, maka suami harus memberikan giliran yang sama kuantitasnya. Namun ketika ada istri yang sedang sakit atau mengalami kondisi tidak mengenakkan, suami bisa menambah waktu mabitnya selama istri yang lain rida.
Bersikap adil dalam urusan nafkah dan mabit merupakan hal yang dapat dilakukan dan wajib ditunaikan. Sementara itu, adil dalam perkara hati dan perasaan merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil dilakukan oleh suami yang berpoligami. Meskipun suami berusaha untuk adil, ia pasti memiliki kecenderungan perasaan pada salah satu dari istri-istrinya. Inilah yang dimaksudkan dalam surah An-Nisa ayat 129: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.”
Baca Juga: https://narasiliterasi.id/family/09/2023/poligami-bukti-keadilan-islam/
Khatimah
Penerapan poligami harus dikembalikan kepada ketentuan syariat. Ketika poligami dijalankan sebagaimana syarak menetapkan, maka kemaslahatan akan terwujud. Hubungan suami dan istri akan berlangsung dengan makruf. Keridaan satu sama lain dilandasi tujuan untuk menggapai rida Allah. Keluarga pun dibalut dengan kebahagiaan.
Agar poligami dapat dijalankan dengan baik sesuai ketentuan syarak, maka dibutuhkan adanya institusi negara. Negara inilah yang dapat menerapkan syariat Islam secara kaffah, termasuk perkara poligami.
Wallahu a’lam bishshawwab []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Sayangnya banyak yg menyelewengkan syari'at dan berpoligami karena nafsu semata