"Banjir
adalah salah satu jenis bencana alam yang menyebabkan banyak kerugian. Di mana,
banjir bisa datang kapan saja jika fungsi ekologis sudah rusak dari hulunya."
Oleh: Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
(Dosen dan Pemerhati Sosial)
Narasiliterasi.id-Jum’at, 3 Mei 2024 sekitar pukul 01.17 WITA menjadi hari yang memilukan bagi warga di empat kabupaten yang terdampak banjir dan longsor. Kepiluan warga terus berlanjut keesokan harinya dan hari-hari selanjutnya. Tersebab banjir adalah salah satu jenis bencana alam yang menyebabkan banyak kerugian materi dan nonmateri. Parahnya lagi, banjir bisa datang kapan saja jika fungsi ekologis sudah rusak dari hulunya. Inilah yang menjadi kekhawatiran warga dan membuat ketidaknyamanan sepanjang waktu.
Berdasarkan laporan Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BNPB, sebanyak 3.479 Kepala Keluarga (KK) terdampak dan 115 jiwa mengungsi di beberapa lokasi antara lain; Masjid Pajang 60 orang, Masjid Malela 30 orang, Masjid Cimpu 25 orang, dan sebagian lainnya mengungsi di rumah kerabat. (bnpb.go.id, 5-5-2024)
Adapun kerugian materi terdata kaji cepat antara lain sebanyak 211 unit rumah hanyut dan rusak berat, 3.268 rumah terendam. Beberapa pagar perkantoran rubuh antara lain; pagar kantor KUA Kecamatan Suli, pagar SDN Lindajang di Kecamatan Suli Barat, pagar SDN Kecamatan Suli, dan pagar MTs Suli di Kecamatan Suli. Beberapa jalan dan jembatan ikut terputus akibat tergerus banjir dan longsor. Data kerugian ini disinyalir masih terus bertambah. Ini baru data kerugian satu kabupaten, yakni Kabupaten Luwu.
Akar Masalah Banjir
Menarik untuk dianalisis lebih jauh akar masalah bencana banjir dan longsor di Kab. Luwu dan kabupaten sekitarnya. Terlebih ada statement salah seorang pejabat yang menyatakan bahwa penyebab banjir dan longsor di Bumi Sawerigading akibat cuaca ekstrem. Hal tersebut cukup memancing emosi warga, terlebih warga yang terdampak langsung.
Padahal, publik sangat paham kondisi awal Gunung Latimojong sebelum ditambang. Gunung tertinggi di Sulsel tersebut, menjadi pusat perhatian saat ini. Semua media menyorot dan menyimpulkan bahwa bencana banjir dan longsor di Jum’at dinihari tersebut akibat aktivitas massif di gunung tersebut. Pembukaan lahan yang direncanakan sekitar 14 ribu hektar oleh PT MDA membuat tutupan hutan berkurang secara signifikan.
Hal tersebut juga di-amin-kan oleh Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amien yang menyatakan bahwa bencana banjir dan longsor terjadi karena penurunan tutupan hutan di Gunung Latimojong. Pembukaan lahan di sekitar gunung tersebut akibat aktivitas pertambangan emas. Seperti dikutip dari laman https://betahita.id/news/detail/10203/tambang-emas-latimojong-biang-banjir-sulawesi-selatan
Kondisi ini juga diperjelas dalam banyak foto dan video yang beredar di media sosial dan sumber primer yang bisa dipercaya. Gelontoran material yang ikut hanyut terbawa aliran air yang tingginya sekitar 1-3 meter, juga membawa lumpur dan ranting-ranting pohon. Hal ini mengindikasikan terjadinya erosi pada hulu sungai. Pertanyaannya, mengapa izin penambangan tetap diberikan padahal banyak warga protes? Tidak kurang pula kajian para ahli akan bahaya yang akan menghadang jika Gunung Latimojong digarap secara jorjoran.
Oleh karena itu, urgen memahami problem mendasar dari semua bencana di negeri ini, termasuk bencana banjir dan longsor kali ini. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari sistem apa yang digunakan suatu negeri. Dimana Indonesia mengadopsi sistem Kapitalisme dengan asas sekulerisme, meniscayakan terjadinya kesengsaraan. Kondisi tersebut sudah sangat familiar dirasakan rakyat Indonesia.
https://narasiliterasi.id/opini/09/2023/kegelapan-menyelimuti-dunia-ketiga-demokrasi-biangnya/
Artinya bahwa negeri kita dalam kondisi tidak baik-baik saja, bahkan sangat mengkhawatirkan. Bencana alam menjadi pemandangan yang lumrah, terlebih banjir dan tanah longsor. Rakyat seakan digiring pada opini bahwa bencana yang terjadi disebabkan faktor cuaca ekstrem semata. Akhirnya menjadi permakluman, tanpa melihat lebih jauh akar masalahnya.
Inilah potret Kapitalisme dengan sistem politik demokrasinya telah membawa negeri ini kepada kerusakan akut. Menjadikan kedaulatan di tangan rakyat (manusia), bukan pada aturan Pencipta manusia. Rakyat yang diwakili oleh segelintir orang, membuat aturan sesuai kepentingan partai atau golongannya. Dari sini kongkalikong antara penguasa dan pengusaha/kapitalis tak dapat dielakkan. Tersebab, demokrasi adalah sistem transaksional karena berbiaya sangat mahal.
Jika demikian, lalu apa yang harus dilakukan? Sebagai manusia tentu sangat sedih melihat kondisi saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Bantuan dalam bentuk apa saja yang dibutuhkan, tetap dilakukan. Namun, sampai kapan bencana demi bencana terus mendera? Oleh karena itu, rakyat harus terus diedukasi bahwa sistem hari ini adalah sistem rusak dan merusak. Pengelolaan bumi dan seluruh isinya harus sesuai dengan aturan Sang Pencipta. Aturan yang harus diterapkan di bumi untuk kesejahteraan seluruh manusia.
Solusi Hakiki
Harus dipahami bahwa Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi Islam adalah sebuah ideologi (mabda). Mengurusi seluruh urusan rakyat dengan aturan Sang Khalik al Mudabbir (Pencipta sekaligus Pengatur). Karena Dia-lah Dzat yang paling tahu apa yang terbaik buat makhluknya. Islam yang pernah diterapkan oleh manusia mulia, Rasulullah Muhammad saw. yang dilanjutkan oleh para sahabat sepeninggal Beliau.
Terkait aktivitas penambangan emas, Islam memiliki solusi hakiki. Dalam pandangan Islam, barang tambang yang potensinya besar terkategori kepemilikan umum. Negara secara mandiri dan independen mengatur pengelolaannya sesuai dengan rambu-rambu syariat. Tidak boleh diserahkan kepada asing, apalagi dengan akad/transaksi ribawi. Artinya, tidak boleh ada aktivitas yang menyalahi aturan Allah Swt.
Teknisnya, negara melibatkan para ahli dalam pengelolaannya. Semua manfaat dari aktivitas pembangunan dikembalikan untuk kemaslahatan (kebaikan) seluruh rakyat, tanpa diskriminasi. Penjagaan terhadap lingkungan pun menjadi prioritas. Karena Islam melarang aktivitas pengrusakan termasuk lingkungan. Sebagaimana dalam QS. Ar-Rum ayat 41, yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Wallahua’lam bis Showab.
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
[…] Baca : banjir-bukan-sekadar-fenomena-alam/ […]
[…] https://narasiliterasi.id/opini/05/2024/banjir-bukan-sekadar-fenomena-alam/2bbnn […]
[…] Baca: Banjir Bukan Sekadar Fenomena Alam […]