
Normalisasi perilaku "living together" tanpa ikatan pernikahan yang sah sejatinya menjadi pintu masuk bagi segala macam keburukan.
Oleh. Riani Andriyantih, A.Md.
Kontributor NarasiLiterasi.Id
NarasiLiterasi.Id--Mengerikan melihat perilaku manusia di era sistem sekularisme liberal saat ini.
Nyawa seolah tak lagi bernilai.
Ya, seperti kasus mutilasi yang belum lama ini ramai diberitakan di berbagai media sosial. Seorang pemuda berinisial A (24 tahun) tega menghabisi nyawa kekasihnya T (25 tahun) yang telah tinggal bersama selama lima tahun tanpa ikatan pernikahan.
Peristiwa tragis itu berawal ketika pelaku pulang ke kos dini hari dan mendapati pintu terkunci dari dalam. Setelah menunggu sekitar satu jam, korban akhirnya membuka pintu dan melontarkan kata-kata yang memicu pertengkaran. Emosi memuncak, pelaku gelap mata, dan menusukkan pisau dapur ke leher kanan korban hingga tewas kehabisan darah.
Tak berhenti di situ, pelaku memutilasi tubuh korban secara keji di kamar mandi, memisahkan organ dan tulang menjadi 544 bagian, kemudian menyebarkan potongan tubuh di jalur Pacet–Cangar, Mojokerto. (kumparan.com, 8-9-2025).
Normalisasi Zina Membawa Petaka
Kasus mutilasi di luar nalar ini jelas mengundang pertanyaan publik. Mengapa dan bagaimana kasus tersebut dapat terjadi? Jika ditelisik lebih dalam, kasus pembunuhan dan mutilasi seolah menjadi fenomena gunung es yang terjadi di tengah masyarakat saat ini.
Kasus ini sejatinya berawal dari gaya hidup "living together" yang dilakukan antara korban dan pelaku yang statusnya sepasang kekasih. Mereka sudah tinggal bersama selama lima tahun tanpa ikatan pernikahan. Gaya hidup ini jelas melanggar norma agama, serta mengabaikan nilai-nilai moral yang berlaku di tengah masyarakat. Di sisi lain, normalisasi perilaku "living together" tanpa ikatan pernikahan yang sah sejatinya menjadi pintu masuk bagi segala macam keburukan.
Ironis memang, tren pacaran, tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan (living together), hamil di luar nikah, seolah menjadi hal yang biasa terjadi di tengah masyarakat. Bahkan, masyarakat akan memberikan label tertentu seperti kuper, cupu, dan kampungan kepada orang-orang yang antipacaran dan antiseks bebas.
Ini membuktikan bahwa ada kekeliruan cara berpikir masyarakat. Saat ini masyarakat tampak kehilangan arah hidup yang jelas. Cara pandangnya cenderung bebas tanpa batas. Bahkan, mereka kerap berlindung atas nama HAM sebagai pembenaran perilaku yang keliru dan salah.
Terjangkiti Virus Sekularisme
Masyarakat cenderung bebas tanpa arahan, menormalisasi perbuatan dosa, serta mengkompromikan sesuatu yang jelas-jelas batil. Hal ini membuktikan bahwa kondisi masyarakat kita memiliki cara pandang sekuler, yaitu memisahkan urusan agama dengan kehidupan.
Agama hanya diberi ruang terkait perkara-perkara ibadah mahdhoh seperti salat, zakat, dan puasa. Sementara terkait pengaturan kehidupan sehari-hari manusia menentukan standar baik dan buruk berdasarkan akal dan hawa nafsunya. Tidak heran, jika berakibat munculnya berbagai permasalahan dari segala aspek kehidupan.
Manusia hidup sesuai keinginannya, serta menabrak segala nilai dan norma.
Masyarakat yang seharusnya berperan sebagai kontrol sosial justru tidak mampu menjalankan fungsinya. Terlebih negara terbukti telah gagal memberikan keteladanan dan rasa aman bagi rakyatnya.
Islam Menjaga Fitrah
Keberadaan agama adalah sebagai penjaga manusia dari kesia-siaan. Agama hadir sebagai petunjuk dalam seluruh aspek kehidupan.
Sejatinya, Allah telah menciptakan manusia dengan berbagai potensinya, salah satunya adalah naluri (gharizah). Ada tiga gharizah yang Allah Swt. tanamkan dalam diri manusia.
Pertama, gharizah taddayun atau naluri beragama. Gharizah ini menunjukkan bahwa sejatinya manusia membutuhkan Al-Khalik untuk tempatnya bersandar.
Kedua, gharizah baqa atau naluri mempertahankan diri. Hal ini tampak dari perilaku manusia yang berusaha melindungi dirinya dari berbagai macam ancaman dan bahaya.
Ketiga, gharizah na'u atau naluri berkasih sayang. Gharizah ini tampak dari dorongan manusia untuk berpasang-pasangan, mencintai keluarga, dan melanjutkan keturunan.
Syariat Memberikan Tuntunan
Agar naluri tersebut berjalan sesuai fitrahnya maka Allah Swt. menurunkan seperangkat aturan untuk manusia, yaitu syariat-Nya. Manusia tidak dibiarkan menentukan standar baik dan buruk sesuai keinginan dan hawa nafsunya, karena akan membawa pada jalan yang salah yang akan menjerumuskan pada dosa.
Syariat memberikan tuntunan bagaimana seharusnya manusia berpikir dan bersikap sebagaimana posisinya sebagai hamba yang taat. Misal, Allah Swt. menciptakan gharizah na'u dalam diri manusia maka naluri ini pun harus diekspresikan atau disalurkan dengan cara yang benar sesuai tuntunan syariat.
Islam juga akan menutup segala celah atau pintu-pintu yang akan menimbulkan munculnya rangsangan syahwat seperti konten-konten pornografi dan pornoaksi. Islam juga memerintahkan perempuan untuk menutup aurat, menundukan pandangan, serta melarangan khalwat dan ikhtilat. Sehingga baik laki-laki maupun perempuan bisa saling menjaga kehormatan dan kemuliaannya.
Sanksi Tegas
Islam juga memiliki sanksi yang tegas bagi para pelaku zina. Bagi pelaku zina yang belum menikah akan dikenai hukum cambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Swt. dalam surah An-Nur ayat 2, "Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin."
Bagi pelaku zina yang sudah menikah, dikenai hukuman rajam hingga mati. Hukuman ini disebutkan dalam banyak hadis sahih di antaranya hadis tentang Ma'iz bin Malik yang dirajam setelah mengaku berzina (HR Bukhari dan Muslim), serta hadis tentang al-Ghamidiyyah, seorang wanita yang hamil karena zina, kemudian dirajam setelah melahirkan dan menyapih anaknya (HR Bukhari dan Muslim).
Kedua sanksi tersebut dilaksanakan di tempat terbuka untuk mencegah dan menimbulkan efek jera. Sebab, dalam Islam sanksi berfungsi sebagai pembalas dan penebus (jawabir) bagi pelakunya, sekaligus sebagai pencegah dan penimbul efek jera (zawajir) bagi masyarakat yang menyaksikannya. Sehingga akan berpikir ribuan kali sebelum melakukannya.
Baca juga: Kohabitasi Mengikis Generasi
Zina Mendatangkan Keburukan dan Dosa Besar
Allah Swt. berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra [17]: 32)
Ada banyak kerugian yang didapat dari perzinaan. Pertama, dari segi kesehatan, dapat terjangkit penyakit kelamin seperti HIV dan AIDS. Kedua, dari aspek sosial, merusak tatanan sosial di tengah masyarakat, serta menimbulkan kejahatan dan kriminalitas. Ketiga, rusak nasab, anak yang lahir dari hasil hubungan di luar pernikahan maka nasabnya pada ibunya. Tidak boleh kepada ayah biologisnya. Hukumnya haram. Keempat, melakukan dosa lain seperti aborsi hingga bunuh diri.
Islam hadir sebagai jalan kemuliaan. Syariah hadir bukan untuk mengekang, melainkan untuk memberikan keselamatan. Sebab, sesungguhnya hanya Allah Swt. yang lebih mengetahui setiap apa-apa yang terbaik bagi hambanya. Islam niscaya menjaga kemuliaan jiwa, akal, keturunan, harta dan agama. Inilah yang akan mengantarkan manusia pada keridaan-Nya. Wallahualam bissawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
