Sistem kapitalisme di bawah komando Amerika Serikat menjadikan utang sebagai alat penjajahan terhadap negara miskin dan berkembang.
Oleh. Nita SavitriÂ
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Semua negara pasti memimpikan bebas berutang. Adanya utang menunjukkan kelemahan negara dalam mengatur kekayaan untuk memenuhi kebutuhan. Terlebih, jeratan pinjaman mampu menjadi senjata sakti untuk mengendalikan negara peminjam.
Utang Indonesia menurun per Agustus 2024 dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini dianggap prestasi oleh pemerintah melalui pelaporan yang diberikan Kemenkeu. Tercatat utang bulan Agustus 2024 mampu ditekan hingga mencapai nominal Rp8.461,93 triliun atau 38,49% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Utang Indonesia menurun sebesar Rp40,76 triliun dibandingkan bulan sebelumnya sejumlah Rp8.502,79 triliun atau 38,68% dari PDB. Walaupun jika dibandingkan tahun sebelumnya, Agustus 2023, terjadi peningkatan. Tercatat utang setahun yang lalu senilai Rp7.870,35 triliun atau 37,84% dari PDB. (Detik.Finance, 28-9-2024)
Utang melonjak tajam dalam dua masa kepemimpinan Jokowi. Pada periode yang pertama (2014-2019), jumlahnya mencapai Rp4.778 triliun, naik dua kali lipat dibandingkan tahun 2014 di angka 2.608,78 triliun. Kemudian pinjaman ribawi ini kembali melonjak dua kali lipat pada periode kedua pemerintahan Jokowi (2019-2024), yang mencapai Rp8.461,93 triliun per Agustus 2024.
Ironis, negeri Indonesia yang kaya akan sumber daya alam (SDA) mesti terjebak pinjaman hingga jumlahnya demikian besar. Meski sudah berganti-ganti pemimpin, kebiasaan berutang tetap dipertahankan demi melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, jumlah pinjaman makin besar dari tahun ke tahun.
Utang, Alat Penjajahan
Utang dianggap sebagai solusi cepat dan saling menguntungkan bagi kreditur dan negara penerimanya. Terlebih sistem kapitalisme di bawah komando Amerika Serikat menjadikan utang sebagai alat penjajahan, bukan bantuan biasa antara negara kaya kepada negara miskin maupun berkembang.
Setelah berakhirnya perang Dunia Kedua (PD II) pada 1945, berakhir pulalah penjajahan fisik di dunia. Amerika pun memegang kendali sistem kapitalisme yang dipaksakan pada dunia. Sistem yang berasas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) ini menjadikan manfaat atau keuntungan materi sebagai tujuannya.
Metode penyebaran sistem ini menggunakan penjajahan, baik secara fisik maupun nonfisik. Negara adikuasa campur tangan dalam urusan politik dan ekonomi negara berkembang. Utang menjadi salah satu alat penjajahan ekonomi yang akan terus dipertahankan demi kepentingan negara adidaya, sedangkan para penguasa harus patuh jika ingin kekuasaannya langgeng.
Utang yang diberikan oleh negara adidaya merupakan bentuk ketundukan terhadap negara adidaya. Akibat adanya pinjaman ini, negara adidaya bisa menyandera negara berkembang agar menyerahkan penguasaan SDA pada asing. Ketika jumlah pinjaman plus bunganya makin besar dan negara tidak mampu membayar, solusi akhirnya bisa dengan menggadaikan bahkan menyerahkan sebagian wilayah negara kepada pemberi pinjaman.
Hapus Utang Ribawi
Bahaya pinjaman ribawi bagi negara sudah sangat jelas. Adapun penurunan utang per Agustus 2024, menjelang pergantian kepemimpinan, patut dievaluasi. Apakah penurunan tersebut terjadi karena upaya penghematan berhasil dilakukan ataukah utang sengaja diturunkan demi pencitraan?
Jika penurunan pinjaman hanya terjadi beberapa bulan menjelang pergantian pemimpin, tentu tiada gunanya. Setelah pemimpin berganti, kebijakan utang tetap berlanjut dan mungkin meningkat untuk menutup kekurangan ketika ada penurunan pinjaman. Bukan rahasia jika utang negeri ini dibayar dengan pinjaman lagi dari pihak yang berbeda. Dalam kapitalisme, semua pinjaman pasti berbunga sehingga nilainya makin besar. Jerat bunga hanya menguntungkan negara kaya/maju, sedangkan negara pengutang hanya mendapatkan kemajuan nan semu.
Baca:Â Kegelapan Menyelimuti Dunia, Demokrasi Biangnya
Kemajuan negara yang berutang bersifat sementara jika tidak ada upaya melepas utang ribawi. Riba merupakan perkara yang diharamkan dalam Islam dan telah nyata mudarat dan dosanya. Dalam TQS. Al-Baqarah: 278, Allah Swt. memerintahkan orang-orang beriman untuk bertakwa dan meninggalkan sisa riba yang belum dipungut, jika ingin disebut orang beriman.
Namun, memang perlu perjuangan keras untuk melepaskan negeri ini dari utang ribawi. Butuh keberanian untuk mengusir neokolonialisme, yaitu penjajahan gaya baru yang telah merampas SDA milik rakyat. Juga untuk mengambil alih pengelolaan SDA dari swasta untuk kemudian negara menjadi pengelolanya. Jika semua kekayaan telah kembali ke pangkuan negara, bisa dipastikan negeri ini mampu mengembalikan pokok pinjaman dan memenuhi kebutuhan rakyatnya secara mandiri.
Khatimah
Keberanian untuk mengenyahkan riba dan neokolonialisme hanya akan terwujud jika ada kesadaran umat untuk kembali berideologi Islam kaffah dalam institusi Khilafah. Hal ini akan membawa negara pada keberkahan. Negara akan menerapkan hukum syarak dalam semua aspek kehidupan, termasuk pengelolaan SDA dan pemenuhan kebutuhan rakyat.
Terbebasnya utang tidak lagi menjadi impian, tetapi bisa menjadi kenyataan. Hal ini bisa terwujud jika ada konsep kemandirian dan kesahihan sistem aturan sebagai pengendalinya. Khilafah sebagai insitusi penerap syarak secara kaffah akan berupaya mengatur kebutuhan rakyatnya secara makruf dan amanah. Kepemimpinan khalifah hanya untuk meraih rida Allah Swt. sebagai tujuan, bukan untuk pencitraan.
Wallahua'lam bishawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com